21

1.2K 278 9
                                    

Igor menggandeng tanganku. Padahal tidak perlu. Jadilah kami bergandeng tangan dikawal kesatria baik dari Joa maupun istana dan beberapa pelayan yang entah dari mana jumlahnya semakin bertambah.

Hanya ada satu rencana, menemukan Duke Joa dan mengajaknya pulang!

Akan tetapi, wajahku rasanya kena tampar. Keras. Di sebuah ruang santai, kulihat dengan jelas sosok mematikan tengah berdiri di samping Raja Eza. Ray! Aku bahkan sampai, koreksi, sempat lupa bahwa di sana ada Duke Joa yang masih berjibaku dengan sejumlah bidak catur.

Raja Eza yang pertama menyadari kehadiranku. Dia melengkungkan senyum, membuatku merasa sedikit bersalah sempat menghina anaknya. Oke, aku tidak merasa bersalah! Lagi pula, Ray memang bajing-eh pokoknya berengsek sekali!

“Halo, Nona Manis,” sapa Raja Eza. Dia memberi intruksi kepada pelayan agar menambah kursi. “Igor, kau mirip sekali dengan ayahmu.”

Tiga anak kecil duduk manis. Berhubung aku tidak mau mati konyol, maka lekas aku memilih kursi di samping Duke Joa dan kupaksa Igor duduk di sebelahku. Dengan begitu, aku diapit oleh dua sosok penting di masa depan. Aman.

“Putri Ayah sudah kembali,” Duke Joa meraihku, seperti biasa, dan menempatkanku di pangkuannya. Dia bahkan mengistirahatkan dagu di kepalaku seolah butuh obat dari beban hidup. “Ayah merasa kekurangan semangat hidup.”

“Kau berutang catur kepadaku.”

“Aku tidak suka main catur!” serang Duke Joa. “Kau suruh putramu saja yang main melawan keponakanku.”

Mendadak dua orang, eh seorang tidak bersalah, pun terseret masalah. Maksudku, Igor. Dia bahkan tak merencanakan kegiatan tambahan seperti menjaga martabat Duke Joa. Namun, itulah yang terjadi pada akhirnya.

Igor lawan Ray.

Raja Eza memberiku cengiran aneh yang membuatku memikirkan siasat licik. Dia ini di luar terlihat tidak berbahaya, tetapi di dalam mungkin saja ada sejumlah siasat. Lagi pula, dia raja. Pasti ada banyak trik yang ia sembunyikan di balik jubahnya. Persis pesulap.

Igor maupun Ray mulai menggerakkan bidak. Berbeda ketika melawanku, Ray kini justru terlihat seperti ingin langsung membunuh Igor. Untung Igor pun tidak kalah sengit. Dia bisa melindungi dan menyerang di saat bersamaan.

Mengapa udara di sekitarku jadi turun suhunya, sih?

“Bukankah Igor dan Ray sepantaran?” Raja Eza memberi topik pembicaraan. “Kalian berdua akan jadi teman di akademi. Seperti aku dan Duke Joa, bukan?”

“Aku tidak merasa tersanjung,” keluh Duke Joa. Dia masih menjadikanku sebagai boneka penghilang stres. “Sama sekali.”

Berbeda dengan kedua orang dewasa, Igor dan Ray tidak bertukar satu pun salam. Mereka fokus saling menyerang seolah itulah yang terpenting saat ini.

“Ivy, bagaimana bila kau menggelar debutmu di istana?”

“Tidak,” aku menolak tawaran Raja Eza, “terima kasih, tapi rasanya tidak perlu.”

Kecuali debut ramai. Dalam artian bukan hanya aku seorang yang disambut nanti. Alias, aku akan diperkenalkan bersama sederet lady. Dengan begitu, aku tidak akan menarik terlalu banyak perhatian.

“Sayang sekali,” Raja Eza mengeluh, “padahal aku ingin diangkat sebagai ayah-kenapa, Duke?”

“Mimpi,” dengus Duke Joa.

Kedua pria ini tidak sadar bahwa masalah terbesar mungkin saja pecah gara-gara catur! Lihatlah! Igor dan Ray jelas ingin membunuh satu sama lain!

***

Ray. Aku tidak memiliki pengalaman menyenangkan terkait pangeran yang satu ini. Di kehidupan pertamaku sebagai Ivy, dia langsung membunuhku menggunakan panah beracun. Lantas pada kehidupan lainnya, aku mati gara-gara alasan konyol.

Ada seorang lady yang begitu tergila-gila kepada Ray. Dia iri dengan Lilia. Lantas ia memanfaatkan serangan monster saat perburuan. Dia menggunakan belati untuk membunuh Lilia. Tebak akhir cerita? Iya, aku yang kena. Gara-gara tersandung batu! Tubuhku limbung dan di mata orang luar pastilah terlihat seolah hendak melindungi Lilia.

Pada kehidupan lain, aku mati karena Ray terkontaminasi sihir jahat yang bahkan tidak kuketahui asalnya. Dia menggila. Ada begitu banyak orang yang ia bunuh. Namun, meski begitu dia tetap tidak mampu melenyapkan Lilia. Justru ketika dia memilih mengincarku! Mati kena tikam. Bukan pengalaman menyenangkan.

Lalu, pengalaman lain. Saat istana menggelar pertunangan antara Lilia dan Putra Mahkota Iza, aku tidak sengaja menangkap basah Ray di taman.

Kenapa aku ada di sana alih-alih bersama undangan lainnya?

Karena aku tidak tertarik menjadi topik pembicaraan kalangan atas. Mereka melabeliku sebagai si tukang iri. Padahal aku tidak tahu soal apa pun terkait hubungan Lilia dan Iza pada saat itu. Sama sekali!

Jadilah aku melarikan diri dari kerumunan. Menyepi.

Sial. Ternyata di tempat yang kupikir sepi, aku justru menangkap basah Ray baru saja membunuh seorang count. Aku hanya tahu bahwa count itu lajang dan juga termasuk dari mereka yang memiliki perasaan kepada Lilia.

Di bawah siraman sinar rembulan, Ray tampak seperti jelmaan malaikat pencabut nyawa. Di tangan tergenggam sebuah pedang bermandikan darah segar. Count malang tergeletak tidak jauh dari kaki Ray. Mungkin bila aku memanggil bantuan, maka count bisa terselamatkan. Namun, itu mustahil. Tubuhku kaku. Tidak bisa bergerak.

“Lady Res, aku tidak menyangka kau akan menyaksikan pemandangan tidak pantas semacam ini.”

Suara yang Ray perdengarkan terlalu tenang. Dia bahkan tidak mau repot-repot menyembunyikan bukti. Justru senyum gila yang ia tampilkan padaku. Senyum yang sampai kapan pun tidak mampu aku lupakan.

Tenggorokkanku tercekik. Seakan ada tangan yang mencegah diriku bersuara. Seiring dengan semakin dekatnya Ray, energi dalam diriku tersedot habis. Begitu hanya tinggal beberapa jengkal, aku baru bisa bergerak.

“Salahkan nasibmu.”

Pedang terayun dan segalanya menjadi gelap.

***

Gigilan dingin pun menjalari tubuh. Aku gemetar tanpa bisa kukendalikan begitu teringat pengalaman mati di tangan Ray.

“Ivy?” Duke Joa lekas menyentuh keningku.

Kupikir Duke Joa akan bertanya dulu mengenai ini dan itu kepadaku. Ternyata dia justru bangkit, tidak minta salam apa pun, menyeret Igor, dan kabur.

Sungguh mengesankan!

Begitulah. Kami berakhir di kuil. Duke Joa memelototi pendeta seolah jiwa pendeta itu akan lenyap meninggalkan raga.

“Duke, tidak ada yang salah,” ucap si pendeta sembari berusaha menahan tangis. “Saya sudah cek semuanya. Tidak ada yang salah!”

“Lantas kenapa putriku gemetar?” tuntut Duke Joa. “Pasti ada yang salah!”

Igor diam. Dia duduk tidak jauh dariku. Tatapan matanya seperti pisau yang ingin menguliti pendeta.

Aku tidak bisa jujur. Bagaimana cara memberitahu mereka bahwa aku ketakutan?

“Duke, saya mohon berhenti memelototi saya,” pendeta meratap. Dia pemuda dengan wajah berbintik. “Ini sudah yang kesepuluh!”

“Lagi!” Duke Joa memaksa.

Si pendeta hanya bisa menelan air mata pedih. Dia mengamini perintah Duke Joa dan baru bisa bebas saat aku ikut campur.

Apa jadinya dunia bila Duke Joa tidak punya pawang?

***
Selesai ditulis pada 1 Oktober 2024.

***
Maaf. Kemarin saya capeeeeek banget. :”( Maaf banget. Maklum. Tubuh ini udah nggak bisa diajak ayo hadapi dunia dengan hahahahahahaha. Tanda-tanda kejompoaan dini. Hiks.

Terima kasih atas pengertiannya.

Love.

Dear Lady IvyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang