Pekerjaan merepotkan, tapi perlu kulakukan. Bila dugaanku benar, maka selesailah urusan mengirim kesatria ke sejumlah titik rawan. Demi menunaikan tugas, aku rela berjalan kaki menempuh bahaya. Aku cukup berpengalaman diserang monster. Barangkali di kehidupan ini pengetahuan dari pengalaman mati hidup mati mati hidup berguna.
“Ayolah,” bujukku seraya mengatur napas, “Duke Res tidak ikut. Tolong berikan senyum manis, ya?”
Duke Joa yang mengekor di belakangku masih saja memamerkan ekspresi cemberut. “Kenapa tadi kau halangi aku menghukum Duke Res, Ivy?” Dia makin mirip petasan, siap meledak. “Ayahmu ini sanggup menghadapi siapa pun. Nak, kau tidak perlu takut aku akan kalah!”
Rombongan kami hanya terdiri dari kesatria Joa. Tepatnya, kesatria yang dibawa Duke Joa. Igor dan yang lain telah berangkat ke sisi lain. Mereka akan melawan monster. Aku hanya akan jadi beban. Kemampuan bertarungku sebatas membunuh di saat terdesak. Dengan kata lain, insting yang bicara. Sama sekali tidak ada keahlian apa pun.
Jalan yang mengarah ke hutan liar milik kami terbilang jinak bila dibandingkan dengan rute menuju hutan milik Imene. Sesekali aku terantuk batu atau kena duri. Duke Joa berinisiatif memangkas semua tanaman sampai ke akar, tapi aku menolak. Mataku menangkap seekor ular hijau yang tengah bersembunyi di antara ranting. Andai aku tidak mengintervensi Duke Joa, sudah pasti ular itu akan tewas terpenggal.
“Duke, kita punya agenda,” aku mencoba memberi penjelasan. “Kita tidak perlu berkelahi dengan Res.”
“Katakan itu kepada Res!” sindir Duke Joa. “Dia ingin mengajakmu ke Res, seolah Joa bukan rumahmu saja!”
“Dia hanya merasa perlu bertanggung jawab terhadap diriku,” ucapku dengan nada getir. “Nanti juga bosan.”
Kami melewati jalan berbatu yang astaga licin. Aku perlu bertumpu kepada Duke Joa agar tidak terpeleset.
“Ivy, apa rencanamu?”
“Memastikan sesuatu,” ucapku dengan nada sok misterius. “Bila dugaanku tepat, mungkin kita tidak perlu membunuh monster.”
Pohon dihiasi oleh lumut maupun benalu dengan buah mungil seukuran kacang tanah. Dibanding dengan hutan angker, sesungguhnya area yang aku kunjungi termasuk indah. Bermacam tanaman tumbuh subur dan bebas. Ada yang saling belit, ada yang perlu menempel di pohon, adapula yang tumbuh bersaing dengan semak gatal. Semua tanaman bisa aku gunakan sebagai bahan. Semuanya! Berkat peri benar-benar berguna. Rencana awalku ialah, mendirikan pabrik jamu. Namun, Igor mengubah semua rencana kabur ke kerajaan asing. Aku yakin dia bisa memberiku suaka-hah?
Mataku membelalak. Pohon yang kucari akhirnya muncul!
Ada puluhan pohon apel. Bukan apel biasa, melainkan apel yang memang hanya bisa dikonsumsi oleh monster. Apel tersebut memiliki kulit berwarna ungu gelap. Buah yang muda akan berwarna ungu cerah. Sebagian buah yang telah matang berjatuhan dan kini tengah dinikmati oleh monster-monster mungil. Para monster ini mirip kelinci dan tupai. Saat melihat rombongan manusia, mereka kabur.
“Monster?”
Duke Joa dan yang lain pun tidak kalah takjub. Tidak jauh dari kelompok monster menggemaskan, ada monster berukuran sebesar sapi dan kuda. Mereka memiliki taring, adapula yang berwujud persis makhluk penghuni neraka milik Hades, ataupun yang berupa ular bertanduk.
Akan tetapi, monster-monster ini tidak kabur. Mereka pun tidak memperlihatkan tanda-tanda agresif. Adapun yang mereka lakukan ialah, memakan apel-apel dan mengabaikan manusia.
“Jalur yang tidak pernah dilewati manusia,” kataku menjelaskan. “Kerajaan Azul pernah memperingatkan kepada Enua agar tidak menebang pohon mana pun yang ada di area perbatasan. Apel yang satu ini dulu diburu oleh manusia. Buahnya tidak enak bila manusia yang makan, tapi beda cerita dengan para monster. Tanaman ini merupakan salah satu sumber energi bagi monster jenis apa pun.”
“Apa kau sedang membahas alasan pembukaan lahan yang pernah dilakukan oleh kakek Raja Eza?”
Aku mengangguk, membenarkan dugaan Duke Joa. “Raja Enua, tepatnya kakek Raja Eza, membuka lahan secara sembarangan. Beberapa lahan yang seharusnya dibiarkan hijau pun beralih fungsi. Saat itu Enua mengalami krisis pangan hingga perlu membuka lahan baru. Ladang gandum, kentang, dan entah tanaman pangan yang ramai ditanam di beberapa kawasan pun menggusur tanaman asal. Sama saja, bukan, dengan menjajah?”
Semua rombongan diam, mengamati monster. Mereka menatap takjub kepada monster yang seharusnya gila dan haus darah. Berdasar buku yang pernah kubaca, buku pemberian Madam Nana, disebutkan bahwa monster biasanya tidak agresif. Hanya jenis yang terkontaminasi oleh sihir jahat maupun pengaruh luar saja yang liar.
Kemudian aku pun mulai melebarkan pencarianku pada area di sekitar hutan peri. Aneh mengingat peri berani jalan-jalan ke mana pun tanpa ancaman, sementara manusia perlu berhati-hati di beberapa kawasan.
Bila dugaanku benar....
“Ayo,” aku mengajak Duke Joa melanjutkan perjalanan, “kita perlu melihat sampai ujung.”
Perjalanan berlanjut. Aku memberanikan diri menarik Duke Joa melintasi kerumunan. Begitu mendekat, monster memilih menyingkir dan mencari tempat lain untuk makan. Mereka, para monster, hanya peduli dengan makanan.
“Apel juga membuat mereka tenang,” aku menanmbahkan. Jemari Duke Joa penuh dengan kapalan. “Tidak menggigit asal tidak diusik.”
“Raja Eza mungkin perlu mengubah peraturan.”
“Iya,” aku menyetujui pendapat Duke Joa, “beberapa kawasan sejauh sekian meter dari hutan milik peri perlu disehatkan. Manusia tidak boleh berladang dan sejumlah desa mungkin perlu dipindahkan agar tanahnya kembali kepada alam.”
Sebagian monster mulai memberanikan diri mendekati manusia. Ada monster kelinci yang secara terang-terangan melompat, hinggap di bahu salah satu kesatria. Monster besar pun mengendus Duke Joa, lalu....
“Kenapa monster beruang menjilat kepalaku?”
Rambut Duke Joa berantakan. Monster beruang berbulu putih itu tampak penasaran dan dia bahkan berani meletakkan kedua kaki depannya ke bahu Duke Joa. Tindakan yang membuat Duke Joa perlu menyeret beban tambahan di belakangnya.
“Emmm daripada itu,” kataku sembari menggaruk leher. “Kenapa kalian percaya saja dan langsung mengamini permintaanku melintasi hutan yang dihuni monster?”
“Nak, kesatria Joa sangat kuat. Monster mengamuk pun bukan masalah.” Duke Joa mulai sesumbar. “Lihat saja, kesatria Joa yang bersama Igor sehat! Mereka tidak sakit, hanya lecet.”
Aku melirik para kesatria. Ekspresi mereka asam sekali! Jangan-jangan metode latihan yang mereka jalani sungguh berat sehingga hasilnya letal.
“Berhenti menjilatiku,” kata Duke Joa, mendorong si beruang yang kini kembali bersama kawanannya. “Dia tidak bisa dipelihara. Sayang sekali.”
“Sebaiknya tidak usah memelihara hewan liar. Mereka bukan hewan peliharaan dan biarkan alam menjadi ibu bagi mereka.”
Semakin jauh kami berjalan, makin minim pohon apel. Sampai di ujung, hanya bukit dan jurang yang ada. Lalu, tepat di bawah perbukitan, kami bisa menyaksikan dengan jelas sejumlah manusia bertempur melawan monster.
“Tidak ada pohon apel,” aku menunjuk. “Monster di sana liar dan ... hmmm.” Aku berbalik, tersenyum kepada para kesatria. “Ada yang tertarik main lempar apel?”
Ide konyol. Namun, perlu kucoba. Aku tidak bisa masuk ke area di seberang sana karena monster yang ada di sana terlampau liar. Tugasku hanya mengecek, survei, dan melihat seberapa parah dampak pembukaan hutan yang pernah dilakukan oleh raja Enua terdahulu.
Sebelum ayah Raja Eza memiliki ide membuka lahan, leluhur raja yang terdahulu pun pernah membuka kawasan tambang di area hutan yang seharusnya dimiliki monster sebagai hunian. Kerusakan kecil mulai melebar ke mana-mana. Dampak dari satu keputusan manusia bisa menghancurkan seluruh ekosistem dalam semalam.
“Ayo,” aku mengusulkan perintah, “kita panen apel.”
Pekerjaan sulit, tapi perlu kulakukan.
***
Selesai ditulis pada 3 November 2024.***
:”) Malam ini dingin banget astagaaaaaaaaaa! Saya takut kena demam lagi hahahahaha!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...