Semua catatan yang ditinggalkan peri untukku lebih mendekati legenda daripada fakta. Mereka tidak menyebut nama raja ataupun bangsawan yang dimaksud dalam cerita. Rintangan yang sungguh sulit kulewati mengingat Enua berusia tua. Aku sempat memikirkan menemui Imene, tetapi medan ke sana membuat nyaliku ciut. Suatu keberuntungan tidak perlu berhadapan dengan monster. Pengalamanku melawan monster, terutama yang sinting, tidak bagus. Buktinya, aku mati. Itu artinya kemampuanku di bawah rata-rata batas nilai keahlian bertahan hidup.
Berkat sumbangan ide, cerita, dan beban ... ya, beban. Aku pun sulit tidur. Sepanjang malam hanya berbaring, melihat langit-langit, dan semua hal menjadi sangat membuatku terusik. Aku ingin mengeluh kepada siapa pun. Namun, niat berkesah pun kuabaikan.
Musuh utamaku ialah, Ray. Dia mengidap kegilaan. Barangkali kutukan yang diwariskan secara turun-temurun. Bila mengingat pengalaman di masa lalu, kegilaan Ray dimulai ketika aku dewasa. Itu artinya sekitar ... saat ini! Lantas mengapa dia belum menunjukkan tanda-tanda kegilaan sebagaimana yang ia lakukan di kehidupanku yang lalu?
Coba kuingat secara terperinci.
Satu, hubungan. Ray mengenalku sebagai putri dari Res. Tepatnya, putri yang terbuang. Pada kala itu dia sudah memiliki obesesi kepada Lilia. Apa pun pasti akan ia lakukan demi Lilia sekalipun turun ke neraka. Parahnya, aku berada pada posisi telah merugikan Lilia. Ada banyak kerusakan yang tidak bisa kuperbaiki. Telanjur hidup pada rentang waktu Ivy sebagai pendengki.
Pada masa ini aku belum terjerat utang. Aku tidak dilabeli sebagai lady hobi cemburu. Bahkan aku pun berhasil menjaring hubungan sehat dengan Raja Eza sebagai tunangan Igor. Seharusnya tidak ada alasan bagi Ray mengincarku.
Dua, ramuan. Dulu aku tidak memiliki bakat khusus selain usaha bertahan hidup. Berada di kediaman Res amat menyiksa batin. Aku tidak menikmati kegiatan apa pun dan hanya fokus mencari cara agar Res bisa menerimaku sebagai manusia seutuhnya. Berbeda dengan masa kini. Bersama Joa aku menemukan bakat terpendam, yang berkaitan dengan garis keturunan Belinda, sebagai peramu. Aku bahkan tahu diriku berkerabat dengan peri walau darah peri yang mengalir dalam diriku amat tipis.
Ya! Benar! Ramuan! Raja Eza meminta ramuanku. Di kehidupan lalu tidak ada transaksi semacam ini.
“Apa mungkin Ray meminum ramuanku demi meredam kegilaan?”
Ide yang kucetuskan sungguh gila. Bagaimana tidak sinting bila sosok “itu” memperingatkanku bahwa aku merupakan target Ray. Dia mengincar nyawaku. Mungkin ramuanku bisa mengurai kutukan dalam diri Ray.
Kubatalkan niat tidur. Aku bergegas mendekati rak yang ada di dekat nakas. Kucari jurnal, catatanku, yang berisi sejumlah ide mengenai sebab kutukan. Catatan peri sungguh bermanfaat. Kupikir hanya dongeng belaka.
“Ketemu!”
Kegilaan. Ada tanaman yang bisa meredam kegilaan. Salah satu bahan yang dikirim Raja Eza kepadaku memiliki efek setara obat penenang. Hanya saja tanaman itu tidak terlalu efektif. Bila aku ingin menuntaskan kegilaan yang menjalari Ray....
“Jantung peri?!”
Buntu! Mana tega aku menikam peri mana pun demi menolong Ray? Lagi pula, mengapa peri-peri mungil itu membocorkan rahasia sebesar ini?! Bila sampai jatuh ke tangan orang jahat, pasti akan muncul perburuan baru. Manusia akan mengincar peri dan memanfaatkan setiap tetes darah mereka demi obat aneh!
Seluruh bulu halus di tubuhku pun tegak. Tengkuk terasa dingin, jantung berdetak cepat, dan kakiku lemas. Dengan tangan gemetar, lekas kurobek kertas yang memiliki catatan perihal jantung peri. Tanpa ragu kurobek kertas tersebut hingga menjadi serpihan kecil, amat kecil, hingga tidak bisa disatukan oleh siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasíaHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...