27

1.2K 282 4
                                    

"Harus dihajar!"

"Tidak ada ampun!"

"Hukum!"

"Kita buat dia tidak bisa mengambil apa pun dari hutan yang dihuni peri!"

"Buat ramuannya tidak manjur!"

Oh manisnya mereka. Peri tersulut amarah demi diriku. Sungguh suatu kehormatan.

"Hei dengarkan aku!" seruku berusaha menenangkan para peri yang mulai berdengung seperti tawon. "Kalian tidak perlu turun tangan. Percuma."

"Apa karena kau takut kami kalah?" tanya peri yang tengah menarik sejumput rambutku. "Anak Manis, kami tidak akan kalah. Meskipun tubuh kami kecil, tapi jangan remehkan akal yang kami miliki."

"Iya, benar sekali," sahut rekan si peri, sosok yang tengah mengitari vas bunga. "Kami kuat!"

Mendadak kepalaku terserang migren. Sakit sekali. "Kawanku yang baik hati," ucapku berusaha menenangkan diri sendiri yang mulai tersulut panik, "sungguh itu tidak perlu. Sebab ibuku telah masuk penjara dan mungkin tinggal nama belaka."

Aku tidak berani menuturkan kebenaran secara detail. Mereka tidak perlu tahu betapa buruk kondisi Belinda sesungguhnya. Bila mengikuti novel, pastilah Belinda mati mengenaskan. Namun, pertemuan kembali antara Belinda dan Duke Res telah melenceng dari jalan cerita. Barangkali kematian Belinda sedikit lebih tidak menyakitkan. Mungkin.

"Anak Manis, kau tidak butuh ibu durhaka," hibur peri yang duduk di kepalaku. "Jangan berkecil hati."

"Aku baik-baik saja," ucapku mengakui perasaanku mengenai Belinda, "tidak rindu ibuku. Dia bahkan tidak ada dalam hatiku. Teman-teman, aku akan sangat berterima kasih andai kalian bisa memberiku pencerahan."

"Katakan! Katakan! Katakan!" seru mereka secara serempak.

"Mengenai topik keabadaian yang dihadiahkan oleh peri," aku memulai, "sungguh mengagumkan. Apa peri yang bisa memberkati manusia hanyalah peri bangsawan?"

"Hihihi tentu tidak," jelas peri yang duduk di lututku. "Kami bisa memberimu hadiah. Tidak sehebat hadiah dari bangsawan, tapi kau akan menyukainya."

Peri mulai mengecup kening, pipi, dan pelipisku. Rasanya hangat saat bibir mereka menyentuh kulit. Seperti sinar matahari. Mendadak aku merasa seperti Putri Tidur yang tengah diberkati peri-tidaaaak! Aku menolak bagian kena kutuk tidur sekian tahun!

"Kawan-kawan, apa kalian yakin harus mencium keningku?" tanyaku, waswas. "Lagi pula, apa yang kalian hadiahkan kepadaku?"

"Kami mewakili banyak tanaman," jelas peri yang mulai bermain-main di pangkuanku. "Dengan begitu, kau akan mudah mengenali manfaat suatu tanaman. Ramuan apa pun yang kau buat akan sangat kuat dan manjur."

Fiuuuuh lega. Ternyata bakat berguna. Dengan begitu rencana jadi tukang jamu kelas kakap akan berjalan lancar.

"Boleh aku tahu alasan kalian akhirnya bersedia menemuiku? Mengapa kalian tidak langsung menegurku saat aku pertama kali menjejakkan kaki di taman?"

Aku ingin tahu! Aku butuh jawaban! Tidak boleh ada rahasia!

Salah satu peri yang melayang di depan wajahku pun bersiul. Nada siulan yang ia perdengarkan mirip dengan suara burung yang amat merdu. "Kau tidak mengenalinya? Nyanyianku?"

Mana kutahu! "Emmm maaf."

"Kami akan menemuimu saat waktunya tepat," ucap peri yang tengah menari di atas meja. "Hihihi bercanda. Kami ingin menemuimu secepatnya, tapi Raja Musim Panas tidak mengizinkan peri muncul sembarangan. Akhir-akhir ini saja kami diperbolehkan mendekatimu. Terus terang aromamu sangat menyenangkan. Hati-hati saat berdekatan dengan Pangeran Enua."

"Pangeran? Maksudmu Pangeran Ray? Ada apa dengannya?"

"Dia mirip iblis," sahut peri yang memutuskan menarik rambutku bukan ide keren, alias dia kini mengepang rambutku. "Hihihi semua iblis memang menawan, maka dari itu kami harap kau tidak jatuh hati kepada iblis."

Kuputar bola mata. "Ternyata karena dia tampan. Tenang saja, Igor jauh lebih tampan daripada Pangeran Ray."

"TENTU SAJA!" serempak para peri mengutarakan kesepahaman ide denganku. "Dulu adik Raja Musim Panas sempat berusaha meminang putri Joa. Sayangnya dia gagal."

"Coba lamar aku," kataku menawarkan, "mungkin aku tertarik pindah domisili."

"Akan kami sampaikan begitu kau berusia tujuh belas tahun, Sayang!"

Aku tidak serius. Astaga! Bercanda! "Tidak tidak tidak tidak! Aku bercanda," lekas kukoreksi. "Tolong jangan sampaikan ucapanku yang melantur. Hei aku masih penasaran. Benarkah tidak ada kasus hadiah dari peri yang membuat seseorang hidup berkali-kali pada waktu berbeda?"

Semoga ada yang memakan umpanku!

"Pasti itu berat sekali," kata peri yang mulai terbang menuju bahuku. "Hidup setelah mati, mengulang semuanya dari awal, dan hanya orang itu yang ingat. Berat. Sejauh ini kami belum pernah mendengar hal semacam itu. Saat peri jatuh hati, ia ingin orang yang ia kasihi hidup dalam masa yang sama dengannya. Pertanyaanmu tadi lebih mirip perbuatan iblis."

"Benar," sahut peri yang mencolek hidungku, "iblis suka mencelakai dan mempermainkan manusia. Aku berani taruhan pastilah manusia yang terjebak siklus kelahiran dan kematian telah lama diincar iblis."

Oh terima kasih. Kini aku memiliki pencerahan. TIDAK! AKU TIDAK SUKA PERKEMBANGAN CERITA INI!

"Anak Manis, sebaiknya lekas tidur. Kau bisa menemukan kami di hutan."

Kemudian mereka pun terbang melesat melalui jendela. Tinggal aku seorang yang merasa tengah dicekik seseorang. Lebih baik menghadapi peri daripada iblis. Aku tidak suka berhadapan dengan iblis. Hei aku bukan tokoh utama! Mungkin aku ini hanya NPC! Mengapa tidak serahkan tugas menghadapi iblis kepada Lilia atau Putra Mahkota? Mereka, kan, tokoh penting.

Kugaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Berkali-kali aku menyumpah dan mulai mempertanyakan kewarasanku selama ini.

"Iblis? Mereka bilang iblis? Bagaimana caraku mencari tahu alasanku bisa seperti ini?!"

Sudahlah. Aku mau tidur. Capek!

***

"Sayang, apa semalam tidurmu tidak nyenyak?"

Anne membantuku berganti baju. Pagi ini seluruh tubuhku terasa lemas. Semalam suntuk kepalaku dijejali oleh beban pikiran. Mati. Hidup. Iblis. Kutukan. Aku tidak tahu banyak mengenai iblis selain dari sedikit pengetahuan dari dunia asalku. Iblis dalam bentuk manusia berkepala kambing. Iblis bertubuh kerbau berkepala manusia. Iblis wanita cantik dengan kaki mirip cakar elang dan memiliki sayap hitam berjumlah tiga pasang. Sungguh tidak membantu!

"Aku banyak pikiran," kilahku mencoba berbohong. "Igor. Kapan dia pulang, ya?"

"Mungkin setelah Nona berusia tujuh belas?" Anne mulai merapikan rambutku. Dengan telaten ia mengurai kepangan rambut yang dibuat peri dan meluruskannya. "Apa Nona semalam mengepang rambut?"

"Iseng," lagi-lagi kuucapkan kebohongan.

"Duke bisa sangat keras terhadap Tuan Igor," jelas Anne. "Sepertinya semua Joa memang begitu. Mereka keras di luar, tetapi lembut di dalam."

"Ha ha Anne, lucu."

"Sayang sekali Tuan Igor tidak bisa pulang secepat keinginanmu, Nona. Dia harus terjebak di medan perang. Kudengar Duke berencana mengirim Tuan Igor. Tentu bukan sekarang, tapi nanti saat ia cukup umur. Monster terus saja muncul dan mengganggu manusia. Semoga Tuan Igor bisa menghadapi mereka."

Monster. Di kehidupan terakhirku aku mati diterkam monster. Seharusnya mereka tidak muncul. Namun, tidak. Mereka datang tidak diundang dan memburu siapa pun.

Ini aneh.

Ada sesuatu yang tidak beres.

***
Duke Res: "Suratku."
Duke Joa: "Aku buang."
Duke Res: "Itu surat untuk putriku."
Duke Joa: "Tidak peduli!"

***
Selesai ditulis pada 9 Oktober 2024.

***
:) Ini menyebalkan. Iri deh dengan lingkungan yang anak kecilnya diajarin bertanggung jawab atas perbuatannya. Misal ada salah tuh diajarin minta maaf dan tanggung jawab. Sumpah saya iri. Iri!

P.S: Salam sayang untuk kalian semua teman-temaaaaaan!

Dear Lady IvyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang