84. Semuanya hanya titipan

178 33 3
                                    


.
.
.
.
.
Usia kandungan Odie sudah menginjak tujuh bulan saat ada masalah terjadi, saat sedang memeriksakan kandungannya dokter mengatakan jika ada masalah dengan kandungan Odie, detak jantung nya tidak lagi terdengar, bayi yang biasanya aktif menendang itu tampak sangat tenang.

Setelah di lakukan pemeriksaan lebih lanjut, dokter yang menangani Odie mengatakan jika bayi di kandungan Odie tidak bisa diselamatkan.

Bati perempuan itu meninggal dalam kandungan karena terlilit tali pusat nya sendiri.

Odie tidak berhenti menangis sejak dokter meminta persetujuan operasi caesar untuk mengeluarkan sang bayi agar tidak membahayakan sang ibu, ibu muda itu merasa bersalah, seharusnya dia segera memeriksakan kandungannya saat merasakan kram pada perutnya beberapa hari terakhir, juga tidak ada nya gerakan yang dia rasakan dari bayi nya.

"Sayang." Odie memeluk Wildhan yang baru saja menemuinya di ruang rawat nya, operasi akan dilakukan satu jam lagi, dan Wildhan sudah mengabari semua sepupunya.

"Maaf mas, maaf, maaf harusnya aku bisa lebih peka." Wildhan menggelengkan kepalanya dan mengelus kepala Odie lembut.

"Jangan merasa bersalah yang, mungkin ini yang terbaik buat adek, Allah lebih sayang dia." Odie masih terisak di pelukan Wildhan.

"Satu jam lagi kita ketemu adek, nanti setelah nya aku yang akan anter adek lebih dulu ya, kamu pulih dulu disini." Odie menggeleng.

"Aku gak bisa mas, aku gak siap buat ngelepas adek, aku gak bisa mas!" Wildhan ikut menangis saat Odie mengatakan itu.

"Gak apa yang, aku ada disini kok, aku akan terus ada disisi kamu sampai kamu sembuh."
.
.
.
.
.
Tangis Wildhan pecah saat seorang perawat memberikan bayi perempuan nya yang sudah di bersihkan, bayi itu sangat mungil namun sangat cantik, wajah nya terlihat lebih mirip Wildhan di banding Odie.

Rambutnya hitam lebat dan sangat cantik, seandainya bayi itu masih hidup pasti tangis nya mampu membuat semua yang mendengarnya bahagia.

Namun sepertinya Allah lebih menyayangi bayi mungil itu, Allah mengambil kembali titipannya bahkan sebelum sempat Wildhan dan Odie rawat hingga dewasa.

Saga yang melihat sepupu nya menangis hanya bisa mengelus pundak Wildhan, menenangkan tanpa harus mengucap kata.

"Ayo le, eyang tau kamu sedih, tapi kasian anak kamu kalau kamu tangisi terus kayak gini." Wildhan menatap nanar pada sang eyang, namun tetap mengangguk.

Semua sepupunya menunggu di rumah, hanya Saga dan Harsa yang ikut eyang Juna ke rumah sakit untuk menemani Wildhan, sedangkan Freya dan Mala memilih menemani Odie yang belum sadar pasca operasi caesar yang dijalaninya.

Suasana duka terasa kental di rumah eyang Juna, keluarga besar Bratadikara juga sudah berkumpul disana, begitu juga keluarga Odie.

Wildhan menahan air matanya saat menggendong putri kecilnya dari rumah hingga ke pemakaman keluarga, lelaki itu mengantar sendiri sang putri hingga ke bawah, memastikan putrinya diantar sendiri oleh nya.

Saga merangkul Wildhan saat makam kecil itu sudah tertutup rapat, tanah basah bertabur bunga itu akan selalu menjadi pengingat Wildhan dan Odie jika kebahagiaan yang dia nantikan telah pergi lebih dulu.

"Aku gak pernah nyangka kalau aku bakal nganter anak ku sendiri ke sini mas, bahkan sebelum dia sempat mengenal dunia." Saga kembali mengelus pundak Wildhan.

"Ayo pulang, kamu butuh istirahat, atau mau balik ke rumah sakit?" Wildhan hanya mengangguk saat Saga mengatakan itu.

"Ke rumah sakit aja mas, aku takut Odie nangis lagi kayak tadi." Saga mengiyakan hal itu.

GRHYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang