15. Silent Treatment🌦🌦

19 7 2
                                    

"Silent treatment adalah bentuk komunikasi yang paling menyakitkan; ketika kata-kata tak terucap, tetapi rasa sakitnya dapat menggema dalam hati yang sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Silent treatment adalah bentuk komunikasi yang paling menyakitkan; ketika kata-kata tak terucap, tetapi rasa sakitnya dapat menggema dalam hati yang sepi."

-Mia Bela-





☔️Happy Reading☔️


Raina terdiam sejenak mendengar penuturan adiknya. Ia merasa Marco benar-benar ingin membuat Alfi mengesankan di matanya. Namun, tetap saja jatuh cinta tidak semudah mengucapkannya bagi Raina.

"Tertarik dalam hal apa?" Raina mengernyit.

"Tapi, kalau harus memilih, Teteh mau ga kenal Alfi lebih dekat?" Marco memberi penawaran menarik. "Kalian cocok tau, Teh. Biar Marco punya AA geng motor," ujarnya diselingi senyum menawan.

Raina menghela napas. "Ga tau, ah, Marco. Rasanya seperti ada yang lebih rumit di dalam diri aku sendiri. Mungkin cuma terpesona dengan karisma dan kepemimpinan Alfi."

"Teh Raina punya cowok?" ucapnya secara tiba-tiba.

Gadis itu tediam. "Ga mikirin cowok," ucapnya berbohong. Padahal jelas-jelas Awan selalu mengelilingi pemikiran gadis itu.

Raina terjebak dalam labirin perasaan yang rumit, mencintai seseorang yang hatinya sulit ditebak. Setiap senyuman dan tatapan Awan membangkitkan harapan, namun di balik itu, selalu ada keraguan yang menghantuinya. Ia berjalan sendirian dalam perjalanan emosional ini, mengumpulkan serpihan harapan dan ketidakpastian yang berkelindan.

Raina yang sebenarnya menyimpan rasa cintanya dalam diam, tak tahu apakah perasaannya akan terbalas atau hanya akan menguap tanpa jejak. Untuk mencoba jatuh cinta pada orang lain begitu saja, tidak mudah bagi Raina.

Mencintai Awan membuatnya merasakan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Ia menyadari bahwa kadang cinta harus dijalani seorang diri, tanpa jaminan bahwa cinta itu akan saling mengisi.

***

Di kantin sekolah, Raina melihat Kayla yang masih tetap bersama Awan dan teman-temannya. Suasana riang mengelilingi mereka, tawa dan obrolan ringan menggema di udara.

Kayla tampak asik berbincang, beradaptasi dengan mudah di tengah gerombolan itu, sementara Awan duduk di sana, terlihat diam dan hanya sesekali melontarkan senyuman pada sekitarnya. Raina mengamati dari kejauhan, merasakan betapa Kayla diterima baik oleh teman dekat Awan, sementara ia sendiri merasa terasing sekarang.

Namun, bukankah ia sudah asing dari awal? Dekat saja tidak pernah.

Raina tidak bisa menahan perasaan cemburu yang menjalar dalam hatinya, menyadari betapa dekatnya Kayla dengan Awan, sedangkan ia hanya menjadi pengamat di sudut yang sepi. Rasanya seperti ada batasan yang tak terucapkan antara mereka, membuatnya bertanya-tanya apakah ia akan pernah dapat menemukan tempat di dunia Awan.

"Kenapa, sih, Rain, diliatin terus." Mawar bersuara. "Lagian dia sendiri cuek sama kamu."

Di sudut kantin yang ramai, Mawar duduk berseberangan dengan Raina, memperhatikan sahabatnya yang terdiam dan hanya menyimpan tatapan jauh ke arah Awan dan Kayla. Raina tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, menatap dengan intens, seolah-olah ingin menerobos jarak yang memisahkan mereka. Mawar merasakan keheningan yang menyelimuti Raina, lalu memutuskan untuk membuka percakapan.

"Rain, kamu baik-baik aja? Kayaknya kamu lagi ngelamun jauh banget di sana. Diajak ngobrol ga ngejawab."

Raina hanya mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada Awan.

"Kamu tahu, mengamati dari jauh tidak akan mengubah apa pun. Kenapa ga coba bicara aja sama Awan?"

Sebenarnya saran Mawar sudah beberapa kali hendak dicoba Raina. Namun, itu tidak akan menghasilkan apapun, Awan lebih tenang jika jauh dari Raina.

Raina mengalihkan pandangannya ke Mawar. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi mata Raina tetap penuh keraguan.

"Aku ga tau, War. Rasanya semua terlalu rumit. Awan lebih dekat dengan Kayla, dan aku ... aku hanya ngerasa terasingkan sekarang."

Mawar menghela napas, berusaha memahami perasaan Raina. Dia tahu betapa dalamnya perasaan sahabatnya itu, meski Raina jarang berbagi tentang apa yang sebenarnya dirasakannya.

"Kamu berhak untuk merasa dekat dengan Awan, Rain. Jangan biarin perasaan kamu terkurung di dalam hati kayak gini. Kalau kamu sendiri ga memaksa masuk untuk memperbaiki semuanya, sampai kapan Awan bisa ngerti kamu?"

Raina menatap Mawar, melihat ketulusan dalam mata sahabatnya. Dia ingin sekali berteriak, ingin mengungkapkan semua rasa yang terpendam, tetapi kata-kata itu seakan terhenti di tenggorokan. Mawar melanjutkan, "Tapi ingat, apa pun yang terjadi nanti, aku tetep di sini, kamu cerita ke aku, Rain. Jangan pendam semuanya sendiri."

Dengan sepenuh hati, Raina berusaha mencerna kata-kata Mawar. Namun, pandangannya kembali terfokus pada Awan dan Kayla, dan rasa sakitnya perlahan muncul kembali, seolah mengingatkan bahwa menunggu bukanlah pilihan yang mudah.

Setelah mendengar saran Mawar, Raina mulai merumuskan rencana dalam pikirannya. Ia merasa tidak tahan lagi dengan keheningan yang mengganjal antara dirinya dan Awan. Sudah cukup lama ia membiarkan jarak itu membentang tanpa tindakan. Meskipun Awan pernah tidak berbicara dengannya, Raina tahu bahwa kini adalah saatnya untuk mendahului langkahnya.

Dia menarik napas dalam-dalam, membayangkan momen saat ia bisa mendekati Awan dan berbicara dari hati ke hati. Raina menyadari bahwa cinta bukanlah tentang menunggu, tetapi tentang berani mengambil langkah, meski ada rasa sakit yang mengikutinya. Ada perjuangan yang harus dilalui, dan tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus, tetapi Raina percaya bahwa cinta layak diperjuangkan.

Dengan tekad baru, Raina berjanji pada dirinya sendiri untuk mengubah kesunyian menjadi suara, berharap bisa membangun kembali jembatan yang sempat runtuh di antara mereka. Dia tahu, meskipun ada risiko Awan tetap tidak memercayainya, rasa sakit itu hanyalah bagian dari perjalanan cinta yang sebenarnya. Sekarang, lebih dari sebelumnya, Raina bertekad untuk melangkah maju, menantang ketidakpastian dan menjemput harapan.

"Aku coba sekali lagi buat jelasin ke Awan, War. Semoga dia ngerti."

"Mau aku temenin?" Mawar menawarkan diri.

Mawar merasa hatinya terjepit. Sebagai sahabat, ia tak suka melihat Raina terus-menerus dikecewakan. Rasanya ingin sekali ia berkata, "Sudahlah, Rain, berhenti berharap pada seseorang yang tak menghargaimu." Tapi setiap kali Raina mulai bercerita dengan senyum tipis dan sorot mata penuh cinta, Mawar selalu merasa kalah oleh perasaan sendiri.

Dia ingin mendukung Raina. Jika Raina percaya bahwa Awan masih layak diperjuangkan, siapa dia untuk meragukan itu? Tetapi jauh di dalam hatinya, Mawar tahu ini tak semudah yang terlihat. Haruskah ia mendukung Raina mencoba lagi? Atau lebih baik menghentikan harapan yang mungkin hanya akan membuat sahabatnya semakin terluka?

"Kalau kamu ingin bicara lagi sama Awan, Rain," Mawar kembali membuka suara dengan nada lembut, "Aku di sini. Tapi, jangan biarin diri kamu terus terluka, atau aku yang bakal bikin makhluk itu menderita nantinya."












Kalau Raina ajak Awan bicara lagi, kira-kira Awan gimana yaa?☠️☠️

Jangan lupa follow, vote, dan comment, yaa!!
🎀🦢🪄








Next Chapter<//3

RAIN (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang