"Setiap kejadian selalu ada hikmahnya"
☔️Happy Reading☔️
Seorang gadis dari kejauhan mengepalkan kedua tangannya. "Harusnya aku yang nemenin kamu di masa terpuruk sekarang, Wan," ujarnya.
Matahari semakin terik. Hari sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Awan dan Raina masih di tempatnya, belum beranjak sejak tadi.
"Kamu mau makan apa?" Raina membuka suara.
Beberapa detik gadis itu menunggu, tetapi tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Awan sama sekali tidak tertarik dengan pertanyaan Raina kali ini. Rasa sedih menghilangkan rasa laparnya.
"Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Aku ke kantin dulu cari makanan, kamu pasti ga sarapan juga tadi pagi."
Raina tahu tidak akan ada jawaban juga untuk pernyataannya. Setelah mengatakan itu ia langsung beranjak membeli nasi dari kantin sekolah.
Bel istirahat telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Cacing-cacing di dalam perut sudah ramai meminta jatahnya.
"Rain!"
Lengan kiri Raina ditarik begitu saja dari arah belakang. "Heh, apaan, sih?" ujarnya sedikit terkejut.
"Kamu cari perhatian banget, ya?" ucap Kayla tiba-tiba.
Raina terdiam sejenak. "Cari perhatian sama siapa? Awan?" balasnya. "Kamu tuh di saat Awan hancur aja masih bersikap kayak gini, ya? Ini bukan waktunya buat cari perhatian, Kay."
Kay tidak bisa berkutik, ia tahu ini sangat tidak tepat. Harusnya ia bisa memberi perhatian juga ke Awan tanpa memarahi Raina seperti ini.
"Aku udah berapa kali kasih peringatan ke kamu, jangan deketin Awan!"
"Hak kamu apa? Aku diem terus Kay setiap kamu kayak gini."
Hak? Gadis itu menanyakan hak? Raina benar, Kayla tidak memiliki hak apapun untuk melarang orang lain mendekati gebetannya.
Ya, sebatas gebetan. Hanya Kayla yang cinta tanpa balasan rasa dari sosok laki-laki yang menjadi temannya sejak SMP.
"Ga usah ngomongin hak, kamu juga ga ada hak buat deket sama Awan! HTS-an ga jelas."
Raina menatap lawan bicaranya lekat-lekat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Kayla saja. Energi Raina benar-benar terkuras jika harus berurusan lebih panjang dengan Kayla.
Kayla memang sangat mengesalkan, apalagi jika menyangkut Awan. Gadis itu selalu iri dan tidak pernah suka setiap gerak-gerik Raina. Kayla selalu terlihat haus kasih sayang teman SMP-nya.
Setelah kurang lebih sepuluh menit kepergian Raina dari pandangan Awan. Sekarang gadis itu sudah berada di samping Awan, lagi.
Dengan sangat perhatian, Raina membuka kotak nasi dan air mineralnya. Nasi dan lauknya sudah di dalam sendok, siap menyuapi Awan.
Raina harus benar-benar sabar. Awan mungkin sedang merasa tidak punya siapa-siapa kali ini. Raina tidak ingin menjadi salah satu orang yang meninggalkan Awan, bahkan di masa terpuruknya sekali pun.
Sendok itu masih pada tempatnya, menunggu Awan mengizinkannya masuk. "Dimakan, ya, Wan?"
Hampa. Awan benar-benar tidak ada energi, bahkan membuka mulut saja tidak bisa.
Tangan Raina menurunkan makanan yang sejak tadi ia ingin suapkan ke Awan. Perlahan gadis mendekatkan diri kepada laki-laki di sampingnya.
"Wan, kamu boleh merasa sedih sama aku, boleh merasa tidak baik-baik saja sama aku, aku di sini selalu buat kamu." Tangannya dengan lembut membelai rambut Awan.
Pemilik sorot mata tajam itu tertegun, tersadarkan bahwa Raina memang tidak pernah meninggalkannya. Mata Awan berkaca-kaca, tidak tertahan menahan sesak yang ia coba simpan sendiri setelah kehilangan ayahnya.
Apakah benar aku boleh merasa tidak baik-baik saja?
Perasaan Awan berbeda kali ini. Kasih sayang Raina terhadapnya benar-benar membuat Awan merasa aman, bahkan untuk menangis pun.
***
Awan melihat ke pintu kamarnya. Suara ketukan cukup mengganggu lamunan laki-laki itu.
"Masuk aja," katanya.
"Awan, ayo makan malam," ajak Sarah, ibu tirinya.
"Ga laper."
Hembusan napas Sarah terdengar. Wanita itu tidak tahu, harus kasihan pada Awan karena kehilangan ayahnya atau kasihan pada diri sendiri karena kehilangan suaminya."
Semua orang dengan masalahnya, semua orang dengan kesedihannya. Namun, Sarah harus bisa memosisikan dirinya sebagai ibu Awan kali ini. Sakit yang ia rasa tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang Awan rasakan karena kehilangan orang tuanya.
"Ibu boleh ke sana?" Sarah meminta persetujuan.
Lama tidak ada jawaban dari Awan, Sarah memberanikan diri duduk di atas kasur tempat laki-laki itu sedang terbaring.
"Wan," panggilnya lirih.
Tangan Sarah tergerak untuk mengelus pelan rambut Awan. Dengan lembut wanita itu memberikan kasih sayangnya.
"Maafin ibu, ya?" pintanya. "Maaf dengan lancang masuk ke kehidupan kamu. Ibu tidak seperti ibu tiri di bayangan kamu. Sungguh, ibu sangat ingin menyayangi kamu seperti anak ibu sendiri."
Awan masih diam.
"Ibu ga mungkin bisa jadi seperti ibu kandung kamu, karena memang bukan ibu kandung kamu. Tapi, izinin ibu belajar untuk menyayangi kamu selayaknya ibu dan anak, ya."
"Kita sama-sama kehilangan, sayang. Ibu cuma punya kamu sekarang. Sungguh, ibu tidak berniat apapun, hanya ingin menyayangi kamu sebagai anak ibu."
Lagi. Awan menangis lagi. Entah karena keadaan atau apa, Awan jadi lebih mudah mengeluarkan air mata akhir-akhir ini.
"Maaf," Awan berkata pelan. "Maaf atas sikap kurang ajarku, maaf tidak menghargai kalian, maaf aku bukan anak yang baik," ucapnya samar karena menenggelamkan wajahnya di balik bantal yang ia peluk.
"Engga sayang. Kamu anak baik, kamu melindungi diri kamu sendiri, ga ada yang salah."
"Tapi aku tidak memperlakukan kalian selayaknya orang tua."
"Kita hanya belum mengenal Awan."
Tangan Sarah kembali mengusap puncak kepala Awan. Rasa sayang sebagai seorang ibu mulai mengalir di setiap sentuhan Sarah pada Awan.
"Maaf, Bu."
Sedihhh🥺🥺🥺
Jangan lupa follow, vote, dan comment, yaa!!
🦢🎀✨️
Next Chapter<//3
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN (ON-GOING)
RomanceBagaimana rasanya menyukai seseorang yang tidak menyukai balik dirimu? Bagaimana rasanya ketika kamu dicintai dengan hebat oleh orang lain, tetapi kamu sudah tidak memiliki energi lagi untuk mencintai dirinya? Ini cerita seorang gadis bernama Raina...
