19. Kematian🌦🌦

18 12 21
                                        

"Ketika kematian selalu terasa sangat menyakitkan"

-Awan Hafidz Bagaskara-

☔️Happy Reading☔️

Dering telepon memenuhi layar ponsel Awan sejak jam 04.00 WIB. Di saat ayam saja belum berkokok untuk membangunkan tuannya.

"Wan, Wan, BANGUN WOI!" Gery berusaha membangunkan sahabat karibnya yang sedang tertidur pulas.

"Hemm ...." Laki-laki itu hanya mengulet.

"Ayah lo, Wan!" ucap Gery sekali lagi.

"Apaan, sih," balas Awan merasa terusik, padahal hari belum pagi.

"Ayah lo meninggal, tadi jam empat!" kata Gery cemas takut sahabatnya tiba-tiba jantungan mendengar kabar buruk ini.

"Apa, sih, lo Ger."

Awan yang semalam menginap di rumah Gery karena terlalu kelelahan jika harus balik ke rumah sakit. Baru semalam ayahnya ia tinggalkan, tidak mungkin meninggal, pikir Awan.

"Gue serius, Wan. BANGUN!"

Awan membuka matanya lebar-lebar. Laki-laki itu mendengarkan informasi dari sahabatnya meskipun dengan setengah kesadaran.

"Lo udah dari jam empat subuh ditelponin ga diangkat. Tante Sarah kira lo di rumah dan minta gue buat nyamperin lo ke rumah. Lo cek handphone lo kalo ga percaya."

Buru-buru Awan mencari benda pipihnya yang tertindih bantal. Dirinya masih menolak jika ini kenyataan, ini pasti mimpi buruk karena tidak membaca doa tidur semalam.

Awan terdiam. Menatap ponselnya lama. Badannya pelan-pelan terkulai tak berdaya. Semua mendadak mati rasa.

"Ger ...." lirihnya seperti hilang kewarasan.

"GERRR!" teriaknya. "GER, GER, GER ... GERRR!! BOKAP GUE? BOKAP GUE?!" teriaknya histeris.

"Ga mungkin, Ger. Ga mungkin!" Awan membanting ponselnya yang memberi kabar buruk pagi ini.

"Lo tenang, Wan, tenang!"

Gery memeluk erat sahabatnya yang sedang terpukul itu. Dapat ia rasakan bagaimana remuknya tulang-tulang laki-laki itu, seperti ikut tidak bernyawa.

Awan menatap ke arah depan, tidak mendengarkan kata-kata Gery. Ia kehilangan fokus, Awan kini hanya bisa terdiam lemah.

Tidak ada air mata. Laki-laki yang masih muka bantal itu sedang tersayat hatinya sampai menangis pun sudah tidak bisa. Ia mencoba mencerna ulang apa yang barusan terjadi. Rasanya masih tidak mungkin laki-laki paruhbaya yang sering memarahinya kini meninggalkannya.

"Wan?" Gery menepuk pelan pipi Awan, mengembalikan kesadarannya.

"Wan? Ayo ke rumah sakit," ajaknya dengan nada lembut.

"Lo serius? Lo ga bohong ke gue soal ginian, kan? Ga lucu, Ger." Suara isak tangis menyakitkan mulai sedikit terdengar dari raga yang lemah itu.

"Gue ga akan becandain lo, Wan." Kembali Gery memeluk raga sahabatnya.

"Lo tunggu di sini, gua keluarin mobil. Kita ke rumah sakit."

Gery bergegas mengambil kunci mobil yang tergantung di dekat topinya. Laki-laki itu menggunakan mobil yang jarang dirinya pakai. Biasanya ia lebih nyaman menggunakan motor untuk keluar. Namun, kali ini ia tidak menggunakan motor. Takut tiba-tiba Awan hilang kesadaran saat di jalan. Ia lebih memilih antisipasi keselamatan temannya daripada kenyamanannya sendiri.

***

"Wan, jangan banyak ngelamun, gue takut lo kenapa-kenapa," ujarnya.

Awan melihat ke sumber suara yang menyadarkannya. "Gue harus gimana coba, Ger. Gue harus ngapain kalo udah kayak gini?"

Suara laki-laki terdengar sangat lemah. Seisi dunianya seakan runtuh seketika karena kabar buruk pagi ini.

Awan masih berharap bisa bertemu ayahnya untuk yang terakhir kali. Kali ini ia benar-benar tidak akan menerima teriakan laki-laki itu lagi.

Sejenak Awan melupakan semua rasa sakit yang pernah diberikan ayahnya. Semua rasa sakit itu terganti dengan rasa yang lebih menyakitkan lagi karena ayahnya tiada. Yatim piatu, inilah sebutan yang didapat Awan saat ini. Tidak ada lagi tempat pulang ketika ayah dan ibunya sudah tidak ada di bumi.

Kurang lebih satu jam perjalanan, Awan dan Gery bergegas turun dari mobil saat sampai di parkiran rumah sakit. Segera keduanya berlarian mencari ruang tempat ayahnya dirawat.

Brakk!

Pintu terbuka menampakan tubuh panjang tertutupi kain. Di sampingnya ada Sarah, ibu tiri Awan. Wanita dengan mata sembab itu masih terbalut pakaian yang ia gunakan semalam.

Awan yang melihat itu segera berlari berhambur ke tubuh ayahnya. "Yah? Ayah?" Laki-laki itu menggoyangkan tubuh yang sudah tidak bernyawa.

Sarah menjauhkan sedikit tubuhnya dari mayat, memberi ruang kepada Awan untuk memeluk lebih erat suaminya. Ia sadar, hal ini tidak akan bisa terulang lagi, memberi kepuasan untuk Awan memeluk ayahnya.

Luruh air mata membanjiri ruangan. Gery dan Sarah hanya memperhatikan kejadian menyesakkan di depan mereka.

"Liat Awan, Yah. Sekali aja, Awan mohon." Wajah merah padam dan sembab milik Awan membuat siapapun yang melihatnya menjadi terenyuh.

Tentu sangat menyakitkan untuk laki-laki itu menerima kenyataan bahwa sekarang ia sudah yatim piatu. Luka saat kehilangan ibunya dulu belum sembuh, sekarang bertambah parah karena ayahnya kini menyusul.

"Ayah ...." Peluk erat laki-laki itu tidak terlepas dari tubuh lemas ayahnya.

***

"Yang sabar, Wan. Kita di sini buat kamu." Coki menepuk pundak Awan yang selalu kekar itu.

Ketiga sahabat Awan dan ibu tirinya masih mengelilingi Awan yang bersimpuh pada batu nisan ayahnya. Orang-orang yang selalu melihat Awan kuat kini runtuh.

Langit gelap dan angin sedikit kencang menambah syahdu suasana di pemakaman. Seolah ia ikut bersedih atas kehilangan sosok berharga di hidup Awan.

Awan melihat ke atas ketika langit semakin kelabu. "Kalian duluan aja, gue masih mau di sini."

"Udah mau ujan, Wan. Pulang bareng, yuk," ajak Alvin.

"Gue mau sendiri."

Satu kalimat singkat, membuat pendengarnya mengerti maksud Awan sekarang. Laki-laki itu tentu sangat sulit untuk meninggalkan makam saat ini.

Keempat orang di sekitar Awan saling bertatapan, memberi isyarat bahwa mereka akan meninggalkan tempat. "Yaudah, kita duluan kalo lo mau sendiri dulu, kabarin gue kalo mau pulang," ucap Gery.

Gery, Alvin, dan Coki sesungguhnya tidak benar-benar pergi. Ketiga sahabat karib Awan hanya menjauh untuk memberi ruang kepada Awan agar lebih leluasa melepaskan kesedihannya. Sedangkan Sarah, ia harus pulang mau tidak mau. Perempuan paruhbaya itu akan mempersiapkan kebutuhan untuk pembacaan yasin di rumah. Ia tetap harus menyambut orang-orang yang berdatangan untuk mendoakan alhamrhum suaminya.

***

Setengah sembilan malam. Mata sembab kini sudah membengkak. Awan belum berhenti menangisi semua yang pernah terjadi. Penyesalan dan kenangan bercampur tidak beraturan lagi, semuanya menjadi satu kesedihan yang teramat menyakitkan.

"Maafin Awan, Yah ...."











Ikut nyesek bacanya:" ga bisa ngebayangin di posisi Awan. Semasa ayahnya hidup dia ga punya banyak memori indah, sekarang sedikit kepingan kenangan indah dan penyesalan bercampur memorakporandakan dirinya, hancur.

Jangan lupa follow, vote, dan comment, yaa!!
🦢🎀✨️






Next Chapter<//3

RAIN (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang