"Hal menyesakkannya adalah ketika aku tahu itu dari orang lain dan menjadi orang terakhir."
-Raina Renata-
☔️Happy Reading☔️
"Bangun, Rain."
Wanita dengan rambut diikat satu menggoyangkan tubuh Raina. Anak gadisnya memang sedikit sulit untuk dibangunkan untuk pergi ke sekolah.
Raina mengusap wajahnya, mencoba menyadarkan diri karena terusik akan kedatangan bundanya. "Ihh, baru jam berapa, sih, Bun?"
"Udah jam 7," jawab bundanya sembari menarik selimut yang terikat erat pada tubuh Raina.
"HA?" Gadis itu segera mencari ponsel di bawah bantal untuk memastikan kata-kata itu.
"Ish, Bun! Baru jam 6," rutuknya sebal.
Wajah kantuk seketika hilang. Raina cepat sadar jika ditipu seperti ini.
***
Mawar melambaikan tangan dari luar kelas. "Pagi, Rain," ujarnya.
"Pagi," balas Raina ketika menatap balik teman sebangkunya.
"Rain?" Mawar menatap lekat-lekat gadis di depannya, Raina terlihat biasa saja.
"Kenapa, sih, War?"
"Kamu ga tahu kabar terbaru, ya?" selidik Mawar karena Raina terlihat santai. Tidak mungkin gadis itu santai kalau tahu kabar terbaru tentang crush-nya.
Raina mengalihkan pandangan ke arah Mawar, seakan ada magnet yang menarik sorot matanya. "Hm? Kabar terbaru apa?"
"Ayah Awan meninggal kemaren, Rain!" Mawar bicara penuh penekanan.
Diam. Raina benar-benar bungkam mendengar kabar terbaru tersebut. "Kamu ga becanda, kan?"
"Ngapain aku becanda soal ginian, Rain."
Sorot mata Raina kini lepas dari Mawar. Semua terasa kosong, yang ada di pikirannya sekarang adalah keadaan Awan. Pasti laki-laki itu sangat terpukul."
Air mata perlahan terjun dari mata cantik milik Raina. Tiba-tiba perasaannya sangat sakit. Entah mengapa perasaan itu membawanya untuk mencari Awan, ia ingin memeluk erat raga laki-laki itu.
"Mau ke mana, Rain?!" Mawar yang melontarkan pertanyaan itu sudah tahu pasti apa jawabannya.
Raina mencari Awan. Gadis dengan rambut terurainya itu berjalan cepat menyusuri setiap sudut sekolah.
Bel masuk berbunyi, Raina tidak juga mendapati keberadaan Awan. Pikirnya, mustahil jika Awan tetap sekolah jika keadaannya seperti sekarang.
Nihil, tidak ada hasil dari pencarian Raina pagi ini. Raina memasuki kelas untuk mengikuti mata pelajaran pertama. Pulang sekolah nanti ia akan ke rumah Awan, setidaknya untuk melihat keadaan Awan saja.
Mawar menyikut lengan kanan Raina. "Jangan ngelamun terus, Rain."
Sahabatnya itu terus saja diam sepanjang jam pelajaran dimulai. Mawar tahu betul pikiran Raina pasti sangat rumit sekarang.
"Awan?" Suara kecil Raina mampu didengar Mawar yang berada di sampingnya.
"Awan? Mana?" tanyanya penasaran.
Raina memegang erat lengan Mawar. "War, aku izin keluar, ya."
"Ke mana?" Mawar sontak bingung.
Suara kursi bergeser.
"Ibu, maaf Raina izin ke UKS sebentar, ya? Kepala Raina pusing," alibinya menipu guru yang sedang mengajar di kelas.
"Pusing kenapa?" Bu Ratri bertanya.
"Tiba-tiba aja, Bu. Rania ke UKS, ya, Bu?" Sekali lagi gadis itu meminta perizinan.
"Yasudah, kamu istirahat saja di UKS," jawab Bu Ratri memperbolehkan.
Mawar yang menyaksikan kejadian itu hanya diam. Melihat Raina berani berbohong kepada guru untuk menemui Awan. Mawar tahu, perasaan Raina kepada Awan bukan sekedar perasaan biasa. Raina jatuh cinta.
"Terima kasih, Bu."
Setelah mendapat persetujuan dari gurunya, Raina bergegas keluar dari kelas dan berlari menuju lantai bawah. Anak tangga yang berada tidak jauh kelasnya hampir membuat gadis itu jatuh tersungkur. Ia benar-benar mengkhawatirkan Awan sekarang.
Keberadaan Awan yang duduk di dekat pohon belakang sekolah mampu ditemukan Raina. Pohon itu juga yang pernah menjadi saksi Awan meninggalkan Raina. Ketidakjelasan Awan saat itu masih menyisakan sakit yang melekat pada hati kecil Raina.
"Aku boleh duduk di sini?" tanyanya.
Awan menoleh tanpa mengucapkan satu kata pun. Terserah apa yang akan dilakukan Raina kali ini.
Raina duduk di samping Awan. Angin di jam sembilan pagi ini mulai terasa hangat. Beruntung daun-daun dari pohon besar yang mereka jadikan sandaran dapat melindungi keduanya dari terik matahari.
"Aku di sini, ya, Wan?"
Raina kembali membuka obrolan. Ia tahu Awan tidak akan merespon, tetapi hanya ini yang bisa dilakukan Raina sekarang. Ia tidak ingin Awan merasa sendiri di masa terpuruknya.
Satu jam tidak terasa, keduanya saling diam. Raina tetap pada posisi duduknya, ia hanya ingin berada di sana tanpa mengganggu.
Suara isak tangis kemudian keluar dari laki-laki kuat dan sangar itu. Kepalanya jatuh tersandar pada bahu Raina. Semua rasa sakit seakan ikut mengalir pada tubuh Raina.
Sakit, setiap suara isak tangis yang keluar hati Raina terasa sangat sakit. Tergerak hati Raina untuk mengulurkan tangan ke beberapa helai rambut hitam Awan. Mengelusnya dengan penuh kasih sayang mungkin bisa membuat Awan merasa lebih tenang dan aman.
Jari-jari besarnya mencengkeram rok abu-abu Raina. Semakin erat cengkeraman itu, semakin terasa sesak rasanya hati Awan.
Laki-laki itu masih belum usai dengan rasa sedihnya. Sedih kehilangan, penyesalan, dan kenangan tentang ayahnya terus berputar di kepala. Sakit karena semasa hidup ayahnya mereka selalu bermasalah.
"Sekaliii aja, sekali aja gue mau peluk ayah gue."
Mukanya merah padam dihiasi keringat dan air mata yang bercampur jadi satu. Semua tenaganya terkuras untuk melampiaskan rasa sakit.
Menangis bagi Awan adalah hal lemah yang tidak pantas dilakukan laki-laki. Namun, tidak untuk dirinya kali ini. Manusia yang sangat jarang menangis itu berusaha mengeluarkan semua air mata yang selama ini dipendamnya.
"Kamu yang kuat, ya, Wan. Aku di sini buat kamu." Air mata Raina ikut luruh.
Kedua tangan mereka tertaut untuk menguatkan. Mata yang biasanya saling melihat saja enggan, kini bisa dengan puas menatap. Tubuh yang tidak pernah tersentuh, kini mencengkeram dengan erat setiap jari-jarinya.
"Gue boleh peluk lo, Rain?" ucap Awan lirih.
"Tentu, aku di sini buat kamu." Kalimat itu diucapkan Raina sekali lagi. Ia ingin meyakinkan Awan bahwa ia benar-benar tidak akan pergi, bahkan di masa terpuruk Awan.
Kedekatan ini memang impian Raina. Namun, bukan karena kesedihan yang menimpa Awan semuanya terjadi. Suatu saat, pelukan ini akan terulang dengan suasana berbeda.
Raina mendekap tubuh kekar Awan dengan lembut dan hangat. "Ikhlas, ya, Wan."
Aku, sih, ngeharapnya Raina sama Awan jadi deket beneran.
Jangan lupa follow, vote, dan comment, yaa!!
🦢🎀✨️
Next Chapter<//3
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN (ON-GOING)
RomansaBagaimana rasanya menyukai seseorang yang tidak menyukai balik dirimu? Bagaimana rasanya ketika kamu dicintai dengan hebat oleh orang lain, tetapi kamu sudah tidak memiliki energi lagi untuk mencintai dirinya? Ini cerita seorang gadis bernama Raina...
