16. Pertemuan🌦🌦

35 18 42
                                        

"Dalam diam, aku mengagumimu. Namun, dalam kekosongan, aku mulai bertanya, seberapa lama aku bisa bertahan di bayang-bayangmu?"

-Raina Renata-




☔️Happy Reading☔️


Raina berdiri di depan pintu kelas, menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Di dalam, suara langkah sepatu Awan mulai terdengar. Murid-murid lain sudah lama meninggalkan ruang kelas, hanya menyisakan beberapa siswa yang masih sibuk merapikan barang-barang mereka sebelum pulang ke rumah.

Raina menggenggam erat tali tasnya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat, tetapi ia harus berbicara dengan laki-laki itu.

Pintu kelas terbuka, dan Awan melangkah keluar. Langkahnya tegas, pandangannya lurus ke depan, seolah tidak peduli dengan sekitarnya. Namun, begitu matanya menangkap sosok Raina yang berdiri di depannya, alisnya sedikit mengernyit, terkejut dengan keberadaan gadis itu.

"Ada apa?" Awan bertanya tanpa basa-basi, suaranya terdengar dingin seperti biasa. Tatapannya tajam, namun datar—seolah keberadaan Raina di depannya hanya gangguan kecil.

Raina menelan ludah. Meski sudah berkali-kali bertemu dengan Awan, ketegangan selalu ada di dadanya. Awan selalu seperti ini—keras kepala, tak mudah didekati. Namun, itu tidak pernah mengurangi rasa kagum Raina.

"Aku mau ngomong," ujar Raina pelan, berusaha terdengar tenang meski hatinya bergejolak.

"Apa?" Awan menjawab singkat, jelas tak ingin berlama-lama.

Raina menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Soal bekal kemarin. Tentang udang itu ..."

Mendengar kata 'udang' wajah Awan berubah sekilas. Ekspresinya yang dingin semakin mengeras. "Gue udah tahu," potongnya. "Udang itu yang buat gue masuk rumah sakit. Kalo lo mau minta maaf, nggak perlu. Udah lewat."

Raina merasa seperti tertampar. Kalimat Awan yang ketus seolah membuat upayanya untuk menjelaskan menjadi sia-sia. Tapi dia tidak bisa mundur sekarang. Ada hal yang harus diluruskan.

"Bukan aku yang masukkin udang itu, Wan. Aku juga ga tahu kamu alergi. Bekal itu memang aku yang buat, tapi bukan aku yang kasih udang. Itu orang lain ...." Raina memaksa dirinya untuk berbicara meski dadanya terasa sesak, hampir luruh air matanya.

Awan mendadak berhenti. Pandangannya tertuju ke Raina, namun matanya tetap dingin. "Jadi sekarang lo nyalahin orang lain?"

Raina menggeleng cepat. "Bukan itu maksud aku. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku nggak akan pernah ngelakuin itu. Aku nggak mungkin nyakitin kamu."

Awan tidak segera menjawab. Dia hanya menghela napas panjang, tatapannya berpindah ke arah lain, seperti sedang menimbang apakah semua ini sepadan dengan waktunya.

"Udahlah, Rain," katanya akhirnya. "Lo nggak perlu repot-repot ngejelasin hal ga penting itu lagi. Itu cuma kecelakaan buat gue. Lagian, gue juga udah sembuh."

Tapi Raina tidak bisa melepaskannya begitu saja. Ada hal yang harus dia luruskan—bahwa dia tidak bersalah. Bahwa ada orang lain yang sengaja memasukkan udang ke dalam bekal itu tanpa sepengetahuan Raina.

"Aku tahu ini cuma kecelakaan, tapi aku nggak mau kamu salah paham soal aku, Wan." ucap Raina, nadanya lebih memohon daripada sebelumnya. "Bisa nggak kita bicara lebih lanjut di tempat lain? Aku nggak nyaman ngomong di sini."

Awan tampak ragu sejenak. Namun akhirnya dia mengangguk, meskipun wajahnya tidak menunjukkan ketertarikan. "Di mana?"

"Di belakang sekolah. Ada pohon besar di sana, lebih tenang ngobrol di bawah pohon itu," kata Raina, berusaha tetap tenang meski hatinya sudah lega karena Awan bersedia mendengarkan.

Awan mengangkat bahu tanpa banyak bicara. Mereka berdua kemudian berjalan bersama menuju halaman belakang sekolah, tempat di mana sebuah pohon besar berdiri kokoh, memberikan sedikit keteduhan di area yang sepi dari keramaian murid-murid.

Raina berjalan di samping Awan, namun suasana di antara mereka masih terasa dingin. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara satu sama lain. Hanya langkah kaki mereka yang terdengar di jalanan sekolah yang mulai lengang.

Setibanya di pohon besar, Raina berdiri menghadap Awan, mencoba merangkai kata-kata dalam benaknya. Ia ingin menjelaskan segalanya dengan jelas tanpa terdengar terlalu defensif.

"Aku nggak mau kamu salah paham, Wan," Raina memulai. "Pasti ada orang lain yang emang sengaja naruh udang di bekal kamu waktu itu."

Awan menatapnya dengan ekspresi yang masih sulit dibaca. "Jadi sekarang lo mau bilang gue harus marah ke orang lain yang gue sendiri ga tau orang itu siapa, bukan ke lo?"

Raina menggeleng lagi, lebih tegas kali ini. "Bukan, bukan gitu. Aku cuma nggak mau kamu salah paham tentang aku. Aku nggak mungkin ngelakuin hal itu. Aku peduli sama kamu."

"Peduli?" Awan mengulang kata itu dengan nada yang membuat Raina merasa terpojok.

Raina menunduk sejenak, mengumpulkan keberaniannya untuk melanjutkan. "Iya. Aku peduli sama kamu, lebih dari yang kamu kira."

Awan hanya menghela napas panjang. Matanya menatap Raina, namun tatapan itu tetap tidak berubah—masih sedingin es.

Sebelum Raina bisa mengatakan lebih banyak, ponsel Awan tiba-tiba bergetar di sakunya. Ia mengeluarkannya, melihat layarnya sekilas, dan wajahnya sedikit berubah.

Awan mengangkat ponsel ke telinganya. Raina hanya bisa melihat dari jauh, sementara Awan berbicara singkat dengan suara rendah. Ada sedikit kekhawatiran di wajahnya, tetapi seperti biasa, dia menyembunyikannya dengan baik.

Begitu panggilan itu berakhir, Awan menatap Raina lagi. "Gue harus ke rumah sakit sekarang. Sorry. Pembicaraan kita sampai sini aja."

Tanpa menunggu jawaban, Awan segera berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Raina, meninggalkan rasa bingung dan kecewa yang menyelimuti hati gadis itu.

Raina hanya bisa menatap punggung Awan yang semakin menjauh. Kakinya seperti tertanam di tanah, tak mampu bergerak. Rasanya baru saja ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya, namun kesempatan itu hilang begitu saja. Awan kembali ke rumah sakit, meninggalkan Raina tanpa jawaban.

Raina menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. Angin berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun pohon di atasnya. Entah mengapa, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa pembicaraan ini mungkin tak akan pernah selesai. Dan seperti sebelumnya, ia masih harus menunggu-menunggu Awan membuka dirinya sedikit lebih lebar, atau mungkin ... tak pernah sama sekali.

Rasanya semua energi di tubuhnya mendadak lenyap, tersedot oleh kekhawatiran dan ketidakpastian yang terus menghantui pikirannya. Matanya memejam sejenak, mencoba menenangkan dirinya, namun bayangan Awan yang berjalan menjauh terus terbayang di kepalanya. Setiap kata yang ingin dia ucapkan tadi berputar-putar tanpa henti, membuat dadanya terasa semakin sesak.

"Kenapa semua harus kayak gini, sih?" gumam Raina pelan, nyaris tanpa suara.

Angin sore berhembus lembut, menyapu rambutnya yang terurai. Raina menatap langit di atasnya, matanya yang mulai berkaca-kaca kini terasa berat. Selama ini, dia hanya bisa mengagumi Awan dari jauh, berharap suatu hari Awan akan menyadari perasaan yang ia simpan dalam diam. Tapi kini, dengan segala kesalahpahaman yang terjadi, rasanya harapan itu semakin jauh dari genggaman.

"Aku benar-benar peduli sama kamu, Wan," bisiknya pada diri sendiri, seolah kata-kata itu bisa menguatkannya.

Namun, di balik setiap perasaan yang dia coba yakini, ada kekosongan yang perlahan merayap. Di bawah pohon besar itu, Raina merasa sendirian. Dia tahu Awan bukan orang yang mudah membuka diri, tapi apakah dia harus terus menunggu? Atau mungkin, inilah pertanda bahwa dia harus mulai berhenti berharap?

Lama dia diam di sana, melamun dengan pandangan yang tidak fokus. Rasanya dunia di sekelilingnya berhenti, menyisakan hanya dirinya dan bayangan Awan yang semakin tak terjangkau.







Berhenti aja ga sih, Rain? Cari yang setara. Kita jatuh cinta lagi nantinya, kalau udah siap👰🏻‍♀️🥋

Jangan lupa follow, vote, dan comment, yaa!!
🎀🦢🪄






Next Chapter<//3

RAIN (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang