"Biarkan aku tenang, setidaknya sehari saja."
-Awan Hafidz Ramadhan-
☔️Happy Reading☔️
Hari di sekolah tampak seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam suasana hati Kayla. Di tengah keramaian, ia menggandeng tangan Awan dengan penuh percaya diri. Sentuhan tangan Awan, yang terasa dingin dan tenang, memberi Kayla semangat. Meskipun Awan terkenal dengan sikapnya yang cool dan acuh, Kayla merasa ada yang istimewa di balik ketidakpeduliannya.
"Wan?" panggil Kayla.
"Hm." Awan menjawab tanpa menoleh pada lawan bicaranya.
Kayla mencoba membuka pembicaraan sambil tersenyum, merasakan kebanggaan saat menggenggam tangan Awan. Dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka lebih dari sekadar teman.
Awan tidak berminat menanggapi. Matanya tetap fokus pada jalan. Meskipun hatinya berdebar-debar, Kayla tidak ingin kehilangan momentum ini. Namun, di belakang mereka, Raina, yang biasanya bersikap ramah, kini hanya terdiam. Ia merasa cemburu melihat Kayla menggandeng Awan, lelaki yang beberapa waktu lalu sempat membuatnya merasa istimewa, meskipun kini hubungan mereka renggang setelah Awan membentaknya kemarin.
Raina menggenggam erat tangannya, jari-jari yang saling bertaut seakan menyalurkan kekuatan yang tak terlihat. Napasnya berat, setiap hirupan terasa seperti usaha yang tiada henti. Di tengah keramaian, dia merasa terasing, seolah berada di dalam gelembung transparan yang menghalangi dunia di sekitarnya. Suara tawa dan percakapan tidak lebih dari gemuruh samar yang menghantam gendang telinganya, membuatnya merasa semakin terasing.
Pikirannya melayang, memikirkan Awan. Kenangan-kenangan indah nan singkat bersamanya tiba-tiba menyerbu, menghangatkan hati Raina namun juga membuatnya terpuruk. Raina berusaha menahan air mata yang menggenang, menciptakan lapisan bening di pelupuk matanya. Rasa berat di dadanya menuntut untuk dikeluarkan, namun dia memilih untuk menahan, seolah menginginkan semua itu tetap tersembunyi jauh di dalam. Dia tidak ingin orang-orang di sekelilingnya tahu bahwa hatinya terombang-ambing, terperangkap dalam badai perasaan yang tak kunjung reda.
Dalam diam, Raina meneguk ludah, berusaha menenangkan diri. Meski dunia di luar berputar dengan penuh warna, di dalam dirinya, semuanya terasa kelabu, samar, dan penuh tekanan. Dia merindukan kelegaan, tetapi saat ini, hanya genggaman tangannya yang menjadi pegangan.
***
Saat bel berbunyi, menandakan akhir dari jam sekolah, Kayla dan Awan melangkah keluar dari gerbang. "Wan, ikut pulang, ya?" kata Kayla, matanya berbinar penuh harap.
Awan hanya mengangguk dan berjalan di samping Kayla, tidak berkata sepatah pun. Suasana antara mereka terasa canggung, tetapi Kayla bertekad untuk membuat Awan berbicara.
Selama perjalanan, Kayla menggenggam tangan Awan erat-erat, berharap agar dia merasakan ketulusan perasaannya. "Kamu tau ga? Aku seneng bisa pulang sama kamu," Kayla memulai percakapan.
"Hm," Awan menjawab singkat, tetap tidak mengalihkan pandangannya.
Ketika mereka sampai di depan rumah Kayla, tampak ibu tirinya berdiri di luar, matanya menyala saat melihat mereka. "Kayla!" teriaknya, suaranya membentak. "Ngapain kamu? Ngapain gandeng tangan laki-laki kayak gini?"
Kayla tertegun, hatinya bergetar. "Ibu? Apaan, sih."
"Ngapain kamu gandeng cowok ke rumah? Ga ada kerjaan lain?! Bukannya sekolah yang benar!" Ibu tirinya membentak, wajahnya menunjukkan kemarahan. Awan yang berdiri di belakang Kayla merasakan ketegangan yang tidak nyaman.
"Kenapa, sih, riweh banget," Kayla mencoba bertahan, tetapi suaranya tidak cukup kuat untuk melawan kemarahan ibu tirinya, takut tangan renta itu kembali menamparnya.
"Ibu sudah bilang, jangan sekali lagi! Kamu seperti tidak punya masa depan! Contoh Rosa, ga pernah cowok-cowokan kalau sekolah!" Ibu tirinya terus menyalahkan, tidak peduli dengan perasaan Kayla.
Kayla merasakan air mata mulai menggenang di matanya. "Kayla juga belajar, Bu. Tapi apa Ibu pernah sadar hal itu?"
"Ibu ga mau dengar alasan! Pergi masuk sekarang!" teriak ibunya, semakin membuat suasana semakin panas.
Awan, yang sudah bersiap untuk pergi, hanya berdiri di samping Kayla dengan ekspresi datar, tidak ingin terlibat dalam drama ini. Saat Kayla melangkah masuk ke dalam rumah, dia merasakan betapa beratnya beban di dadanya.
"Eh, Awan. Makasi, ya, udah nganterin," ucap Kayla pelan, mencoba tersenyum meski hatinya terasa hancur.
"Iya," Awan menjawab tanpa emosi, dan kemudian berbalik pergi, meninggalkan Kayla sendirian dengan kebisingan ibunya.
Di dalam rumah, saat Kayla berusaha menenangkan dirinya, ayahnya yang baru pulang dari kantor muncul dengan wajah kusut dan lelah. Dia mendengar suara bentakan dari istrinya dan langsung merasakan bahwa suasana di rumah tidak baik.
"Kenapa rumah ini selalu gaduh setiap kali Ayah pulang?" tanyanya dengan nada tegas, melihat ibu Kayla masih berdiri dengan marah. "Kamu lagi marah sama siapa?"
"Kayla! Anak kamu, tuh, lagi-lagi cuma mikirin cowok aja, bukan sekolah!" Ibu tirinya menjelaskan, nada suaranya masih tinggi.
"Apa ini yang kamu lakuin setiap hari? Teriak-teriak dan membuat suasana semakin gerah? Udah cukup!" Ayah Kayla menggeram, merasakan sakit kepala akibat kebisingan itu.
Ibu Kayla terlihat terkejut, tetapi tidak mundur. "Dia harus tahu bahwa ada tanggung jawab yang harus diutamakan, sekolah! Dia tidak pernah bisa seperti Rosa!"
"Jangan pernah membandingkan dia dengan Rosa! Capek aku dengarnya!" Ayah Kayla membentak, suaranya menggelegar di dalam rumah, menciptakan keheningan sejenak.
Kayla berdiri di tangga, mendengarkan semua pertengkaran itu, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Rasa sakit di hatinya semakin dalam. Ia merasa terjebak di antara kedua orang tuanya yang selalu berkonflik, dan tidak ada tempat yang aman untuknya.
"Kalau dia tidak mau belajar, biarkan saja! Suatu saat, dia akan menyesal!" Ibu tirinya berkata, suaranya masih penuh kebencian, seolah yang ia katakan sebuah kutukan.
"Cukup! Cukup!" Suaranya membuat telinga pecah, ayah Kayla hampir berteriak, menahan rasa sakit kepalanya. "Sekarang, aku pulang mau istirahat bukan mau debat sama kamu!"
Kayla berbalik dan masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan keras. Dalam gelapnya ruangan, ia merasakan kesedihan yang mendalam. Kenangan saat menggandeng Awan masih terbayang di benaknya, tetapi itu semua terasa hancur oleh realitas yang menyakitkan.
***
Di luar, Awan berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Dia tahu teman SMP-nya itu menginginkannya lebih dari sekadar teman, tetapi Awan tidak ingin terjebak dalam drama emosional. Dia lebih suka menjaga jarak dan merenungi situasi tersebut.
Setiap langkah Awan terasa berat meninggalkan rumah itu. Dirinya takut akan terjadi hal buruk kepada Kayla karena ibu tirinya sedang murka. Nasib Awan dan Kayla hampir sama, dikelilingi wanita baru di sekitar ayah mereka.
Semoga dia baik-baik aja, batin Awan.
Rumit rumit, mari tunggu endingnya kisah percintaan ini
Jangan lupa follow, vote, dan comment yaa!!
🎀🦢🪄
Next Chapter<//3
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN (ON-GOING)
RomanceBagaimana rasanya menyukai seseorang yang tidak menyukai balik dirimu? Bagaimana rasanya ketika kamu dicintai dengan hebat oleh orang lain, tetapi kamu sudah tidak memiliki energi lagi untuk mencintai dirinya? Ini cerita seorang gadis bernama Raina...
