"Dalam sepi gue bertanya, apa yang harus gue selamatin dulu, hati atau diri gue sendiri?"
-Awan Hafidz Bagaskara-
☔️Happy Reading☔️
Pagi itu, Awan melangkah masuk ke halaman sekolah dengan wajah lesu. Dia baru saja kembali dari rumah sakit, tempat ayahnya dirawat. Beberapa hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap langkahnya terasa berat, seolah beban dunia mengikatnya. Awan berusaha memfokuskan pikirannya pada sekolah, namun bayangan peristiwa di rumah sakit dan kekhawatiran tentang kesehatan ayahnya terus menghantuinya.
Di sisi lain, Raina sudah berada di sekolah lebih awal. Hari ini, dia merasa bersemangat sekaligus cemas. Setelah kejadian kemarin, dia bertekad untuk membahas semuanya dengan Awan. Rasa marah yang terpendam dalam dirinya semakin membara, dan kali ini, dia ingin suarakan.
Saat melihat Awan melintas di koridor kelas XI, Raina merasa jantungnya berdegup kencang. Dia mengambil napas dalam-dalam dan bergegas menyusul langkah Awan yang terlihat tenggelam dalam pikirannya. Raina menyentuh lengan Awan, menghentikan langkahnya.
"Awan!" panggil Raina dengan nada penuh emosi.
Awan berhenti dan menatap Raina, matanya tampak kosong. "Kenapa lagi?" tanyanya, suaranya datar dan sedikit ketus.
"Kemarin, kamu pergi gitu aja. Kenapa? Kita belum selesai bahas masalah itu," Raina menjawab dengan sedikit amarah.
Awan mengerutkan dahi. "Lagian, kita mau ngomong apa? Bukannya gue udah bilang kalau semuanya kecelakaan?"
Raina merasa darahnya mendidih. "Tapi kamu ga peduli untuk ngedengerin penjelasan aku! Aku berusaha ngejelasin kenapa semua itu terjadi, dan kamu pergi gitu aja!"
Awan menatapnya, lalu mengalihkan pandangannya, terlihat lelah. "Lo ga ngerti, Rain. Sekarang pikiran gue lagi banyak banget. Capek tau ga bahas hal ga penting kayak gini!"
Raina terdiam, hatinya bergetar mendengar alasan Awan. Namun, marahnya lebih besar daripada rasa empati yang ingin ia tunjukkan. "Jadi, kamu ngerasa aku ga penting? Kamu ninggalin aku gitu aja tapi ga ngejelasin apa-apa. Belum selesai masalah satu, ini ada masalah lagi."
Awan membalikkan tubuhnya, membuang pandangannya ke samping. "Emang kita punya hubungan apa sampai lo banyak nuntut gue?!" serunya, suaranya mulai meninggi.
Kata-kata itu seperti petir menyambar di telinga Raina. Dia tidak menyangka Awan akan berkata seperti itu. Matanya mulai berkaca-kaca, namun dia berusaha menahan air matanya. "Aku ga nuntut apa-apa! Aku cuma mau kamu ngerti," jawabnya dengan suara bergetar.
"Jadi, lo mau gue duduk dan ngedengerin semua keluh kesah lo? Seolah gue ga punya masalah sendiri?" Awan menjawab sinis, nada suaranya semakin keras.
Raina merasa hatinya hancur. Kecewa melanda, membuatnya ingin menjauh dari Awan secepat mungkin. "Kamu emang egois," ucapnya, seraya memutar tubuhnya menjauh.
"Egois? Lo ngerasa ga egois? Cuma karena lo mau gue ngertiin masalah lo?!" Awan membalas dengan suara penuh kemarahan.
Raina tidak menjawab, langkahnya cepat meninggalkan Awan yang terdiam, terkejut dengan reaksi gadis itu. Dalam perjalanan pulang, semua kata-kata Awan terngiang di kepalanya. Setiap ucapan terasa seperti luka yang menganga, menambah rasa sakit yang sudah ada.
***
Di rumah, Raina duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menggigit bibir bawahnya. Dia berusaha memahami perasaan Awan, namun hatinya tetap merasakan sakit akibat perlakuan Awan yang dingin dan ketus. Seharusnya, Awan bisa lebih peka, lebih mau mengerti bahwa Raina peduli padanya. Namun, kali ini, dia terlalu lelah untuk meladeni gadis itu.
Raina mengambil buku hariannya dan mulai menulis. Raina merasa ada sesuatu yang hilang saat menuliskan kalimat demi kalimat di dalam sana, seolah ia mengubur harapannya dalam-dalam. Seharusnya, mengagumi Awan tidak seharusnya menyakiti dirinya sendiri. Raina ingin melindungi hatinya, melindungi rasa sakit yang terus-menerus mengintainya.
Sore itu, Raina berbaring di ranjangnya, menatap langit yang mulai gelap. Dia tahu, setiap kali bertemu Awan di sekolah, rasa sakit itu akan kembali menghantuinya. Mungkin, cara terbaik adalah menjaga jarak, meskipun sulit. Raina ingin sekali menghilangkan rasa ingin tahunya terhadap Awan, dan melupakan rasa kagum yang kadang menyakitkan.
***
Sementara itu, Awan kembali ke rumah setelah hari yang melelahkan. Masih terngiang di telinganya suara Raina yang marah, dan perasaannya yang campur aduk. Dia tidak ingin melukai Raina, tetapi situasi hidupnya membuatnya sulit untuk membuka diri. Rasa bersalah menyelinap ke dalam pikirannya, namun dia terlalu bangga untuk mengakuinya.
"Kenapa aku harus berurusan sama hal kayak gininian, sih?" gumamnya pada diri sendiri. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini tidak penting, bahwa dia tidak seharusnya peduli. Namun, semakin dia berkata seperti itu, semakin sakit di dalam hatinya.
Di dalam benaknya, Raina tetap menghantui. Raina yang selalu ada di sampingnya, Raina yang selalu peduli, meski kadang dia bersikap keras kepala. Keterasingan itu mulai mengganggu Awan. Tanpa dia sadari, Raina sudah menjadi bagian dari hidupnya, meskipun dia enggan mengakui.
Sampai larut malam, Awan tidak bisa tidur. Semua pikirannya tertuju pada Raina dan pertikaian yang baru saja terjadi. Dia ingin berlari menghampiri Raina dan meminta maaf, namun ada sesuatu yang menahannya. Dia takut, jika dia membuka diri, semua masalahnya akan tumpah dan semakin menyakiti gadis cantik itu.
Kedua remaja ini, terjebak dalam perasaan masing-masing, tidak menyadari bahwa mereka hanya butuh satu langkah kecil untuk saling mengerti. Namun, langkah itu terasa semakin jauh dengan setiap kata yang terucap. Di antara keduanya, harapan kini berubah menjadi keraguan, dan mereka terpisah oleh ketidakpastian yang membuat jantung mereka berdegup dengan rasa sakit.
Awan duduk di tepi ranjang, menatap lantai kamar yang terasa dingin dan sepi. Pikirannya berkecamuk, memikirkan pertengkarannya dengan Raina tadi. Namun, di tengah-tengah kegelisahannya, bayangan ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit muncul tiba-tiba, seolah menariknya kembali ke kenyataan yang lebih berat.
Namun, entah kenapa, di balik semua ketakutan itu, bayangan Raina tetap hadir, bercampur dengan kekhawatirannya. Bagaimana dia bisa menyelesaikan semuanya? Bagaimana dia bisa menjelaskan perasaannya, baik pada Raina maupun pada dirinya sendiri?
Awan terdiam dalam kesendiriannya, terjebak di antara cinta yang tak terucapkan dan rasa takut yang semakin menghantuinya.
Awan tuh ternyata ada perasaan guys, tapi mau gimana lagi. Tubuhnya cuma satu, tapi pikirannya bercabang ke mana-mana. Semoga happy ending aja sama Raina🤯🪄
Jangan lupa follow, vote, dan comment, yaa!!
🎀🦢🪄Next Chapter<//3
![](https://img.wattpad.com/cover/354301329-288-k441307.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN (ON-GOING)
RomanceBagaimana rasanya menyukai seseorang yang tidak menyukai balik dirimu? Bagaimana rasanya ketika kamu dicintai dengan hebat oleh orang lain, tetapi kamu sudah tidak memiliki energi lagi untuk mencintai dirinya? Ini cerita seorang gadis bernama Raina...