14

29 2 0
                                    

"Kalian?" tanya nenek Shafa dengan raut wajah bertanya tanya, menatap Linda dan Erlanda bergantian.

"Niat kedatangan kami kesini mau nenek jujur soal Rika sama Riko." ujar Erlanda.

Tiba tiba anak nenek Shafa datang dari belakang nenek Shafa. Marah. 

"Kalian lagi? Sudah berapa kali saya bilang, jangan terlalu memaksa nenek... Nenek sedang sakit... Apa kalian mau tanggung jawab kalau nenek kenapa napa?" tandas Hani.

Rika memegang tangan Hani. "Tante... Om ini kesini cuma mau nanya soal papa sama mama..." ujar Rika.

Hani mengusap pundak Rika.

"Rika.... Kamu enggak semestinya berhubungan sama mereka.... Ini masalah orang dewasa... Kamu enggak boleh ikut mikirin..." ujar Hani.

"Tapi Rika cuma mau papa sama mama kembali..." ucap rika.

"Iya, tante ngerti... Tapi enggak semua masalah bisa selesai dengan cepat... Tante ngerti perasaan kamu..." ujar Hani.

"Saya boleh tanya? Kenapa seolah Rika tahu, apa mungkin... Kalian semua sedang menyembunyikan sesuatu dibelakang kami?" tanya Linda curiga.
Mau tak mau Hani pun mulai menerima beberapa hal.

Ia menghela nafasnya dan mulai mengajak mereka untuk masuk dan duduk. "Mari... Enggak enak diluar..."
Linda dan Erlanda sedikit lebih lega, ia mengikuti ajakannya, masuk ke dalam dan duduk di sofa.

Nenek Shafa mengusap tangan Hani. Dan tersenyum padanya. "Mungkin memang sudah waktunya...." ujar nenek Shafa.

"Tapi bagaimana dengan nasib Rika dan Riko nanti...."

"Kita serahkan semuanya ke gusti Allah... Barangkali ada jalan terbaik yang akan menjadi solusi..." ujar nenek Shafa.

Dari sana, pembicaraan diantara mereka pun dimulai.

"Sebetulnya bukan keinginan kami menyembunyikan ini semua." ujar Hani memulai.

"Ini untuk kebaikan pak Rana dan bu Giska juga, Rika maupun Riko.... Demi keluarga mereka..."

"Jadi apa itu benar kalau mereka merupakan satu keluarga?" tanya Erlanda.

Hani mulai berkaca kaca dan mengangguk. "Rika, Riko... Kalian bisa keluar dulu nak sekarang?" titah Hani, Rika dan Riko mengangguk lantas pergi keluar.

"Ini semua dikarenakan pak Rana menukar waktunya untuk bu Giska..."

"Menukar waktu? Maksudnya apa itu bu?" tanya Erlanda makin bingung.

"Alasan kenapa pak Rana enggak bisa mengingat ini semua dikarenakan perjanjiannya dengan kakek tua."

"Masih kakek tua itu? Apa ibu pernah bertemu sama kakek tua itu di masa ini?" tanya Linda.

"Susah, kami belum pernah bertemu sama kakek tua itu di masa ini... Pak Rana yang lagi sakit itu sempet datang kesini satu bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit, dan nanyain soal cermin..."

"Pak Rana yang sakit itu??? Jadi.... Pak Rana yang itu juga sadar sebenarnya tentang ini semua?" tanya Linda.

"Iya, beliau menanyakan cermin itu kepada kami.. Tapi sayangnya setelah pak Rana yang dari masa lalu muncul, cermin itu menghilang... Dicuri, saat kami menyadari semua pintu sudah terbuka, padahal kami tidur ditengah rumah tapi pencurinya kelihatan cukup pandai melakukan aksinya." ujar Hani.

"Jadi gimana caranya supaya kita temuin lagi cermin itu...." ujar Erlanda.

"Bukannya sama aja ya... Tanpa cermin juga pak Rana akan menghilang juga?" tanya Linda.

"Seenggaknya kita harus temuin cerminnya dulu, bahaya kalo disalahgunain orang jahat... Barangkali juga darisana masih keburu waktu buat ketemu lagi sama kakek tua lewat cermin itu." ujar Erlanda.

"Iya sih.. Tapi kemana kita harus nyari?" tanya Linda.

Bu Hani angkat suara. "Saya lihat di cctv, dia memakai penutup wajah, jaket jeans, dan sepatu. Kayak anak muda sekitaran 20 30an. Tapi seingat saya disini, didaerah sini enggak ada cowok yang usianya segitu... "

"Berarti bukan orang sini pelakunya... Siapa ya..." ucap Erlanda seraya berpikir.

"Ngomong ngomong, maksud perkataan ibu barusan tentang menukar waktu itu apa ya? Bisa tolong dijelaskan?" tanya Linda.

Disaat yang sama bus sudah sampai di Ciwidey, tempat tujuan mereka. Saling berebut keluar entah dari pintu depan maupun belakang.

Giska yang baru ingin mengikuti jejak mereka untuk keluar berdesak desakan langsung ditarik tangannya oleh seseorang.

Tidak lain itu adalah Ilham.

"Jangan dulu Gis... Tunggu yang lain keluar dulu aja... Baru kamu keluar. Nanti kegencet kamunya." ujar Ilham.

"I-iya." Giska pun menunggu bersama Ilham dijalur itu, tidak keluar terlebih dahulu, menunggu di kursi dekat sana.

Rana sudah keluar terlebih dahulu, ia keheranan saat melihat dibelakangnya tidak ada Giska, ia bahkan langsung bertanya pada bu Jihan maupun bu Manda. "Kalian lihat bu Giska?" tanya Rana.

"Enggak pak, loh bukannya tadi bareng sama bapak?" tanya bu Jihan.

Rana tak menjawab lagi, ia langsung melirik ke arah banyak orang dijalur belakang, dimana salah satunya ada orang yang ia cari yaitu Giska.

Tapi dia bersama dengan Ilham, mereka terlihat cukup akrab disana, saling berbalas kata. Rana mengabaikan dan pergi.

Bu Jihan baru menyadari kalau Giska baru keluar dari bus. "Loh itu pak! Bu Giska."  tunjuk Jihan. Namun keburu Rana sudah pergi.

Mereka ditugaskan untuk saling berbaris, bu Jihan memberi instruksi kepada mereka untuk membentuk banjar lima baris.

"Pertama kita akan pergi ke situ patenggang, disana ada danau ya ibu ibu... Diharapkan ketertibannya selama perjalanan, boleh foto foto asal jangan foto pantat saya.... Terlalu bahenol soalnya..." ujar bu Jihan.

"Huuu... Palingan nanti disundul..."

"Banteng kali ah.."

"Hahaha kerajinan buk..."

"Sebelum kita memulai perjalanan ada baiknya kita saling berdoa terlebih dahulu demi kelancaran nanti ke depannya.... Berdoa menurut kepercayaan masing masing... Mulai..." ujar Jihan memimpin doa.

Selepas berdoa, perjalanan langsung dimulai. Yang memandu perjalanan saat itu bu Manda, pak Eko, Bu Jihan dan lainnya. Sepanjang perjalanan ada yang saling berpose duluan didepan kamera, selfie, swafoto atau bercanda ria.

Meski mereka tetap berjalan rapih sesuai instruksi tadi. Ilham menghampiri Rana, setelah sebelumnya mencari teman ngobrol.

Sayangnya Rana seolah mengabaikan kehadiran Ilham saat itu. Ia langsung berlalu pergi mendahuluinya. Ikut bergabung dengan pemandu Bu Manda dkk.

Mereka akhirnya sampai di situ patenggang, disana mereka berjalan menyusuri jembatan yang cukup panjang, jembatan yang membelah situ tersebut.

Giska berjalan dipaling belakang, ia cukup menikmati pemandangan dihadapannya yang jarang ia temukan, ia segera foto dirinya bebe pa kali, hingga ia bertubrukan dengan Ilham tanpa disadari. Hapenya jatuh ke tanah. Ilham meminta maaf.

"Sori, enggak sengaja." ujarnya langsung memungut hapenya, tidak tahu jika Giska sudah sigap memungut hapenya, jadinya tangan Giska terpegang oleh Ilham.

Ilham dan Giska tersentak sebentar dan saling tertawa kecil.

"Sori, enggak bermaksud..." ujar Ilham langsung memberikan hapenya pada Giska. "Iya..."

"Hey yang dibelakang! Jangan sampai terpisah ya, awas nanti hilang!!" pekik bu Jihan.

"Baik bu..." ujar Giska menyahut. Ia mengajak Ilham jalan terus menyusuri jembatan. "Ayo Ham..."

"Iya bu..."

Tiba tiba Giska merasa ada yang memperhatikan dari depan sebelah kiri, tidak lain itu seorang kakek berjubah putih dengan tongkat yang menumpu tubuhnya. Giska merasa heran, kenapa seolah dia tersenyum kepadanya....

Suami Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang