BAB 17

347 50 9
                                    

"Hani, dari mana kau dapatkan rekaman itu?" tanya Tuan Kim dengan nada penuh kewaspadaan, matanya tajam menatap istrinya. Hani tidak sedikit pun terkejut, malah tersenyum tipis. "Aku memasukkan penyusup ke rumah keluarga Lee dan memasang CCTV di kamar Ni-ki. Kenapa?" jawabnya santai. Tuan Kim mendengus kesal, wajahnya menunjukkan campuran kekecewaan dan kemarahan. "Aku ingatkan kau untuk tidak menyakiti anak itu. Perjanjian kita hanya membalas dendam pada Lee saja," ucapnya tegas, menahan emosinya yang sudah memuncak.


Hani mendadak tampak lebih dingin, tatapan matanya menusuk. "Itu kau, bukan aku. Aku tidak peduli dengan batasan itu. Akan kuhancurkan mereka semua tanpa sisa, mereka harus merasakan sakit yang sama," katanya dengan nada yang semakin tajam. "Anakku harus mendapatkan haknya yang tak ia terima selama ini, dan aku tidak akan berhenti sampai itu terjadi!"


"Kau adalah ibu yang buruk, Hani! Kau sangat memperalat anak itu bahkan sedari kecil!" Suara Tuan Kim meledak, tak lagi mampu menahan amarahnya. Wajahnya memerah, tangannya mengepal keras. Hani, yang hanya duduk tenang di seberangnya, mendengus kesal. "Bukankah perjanjian kita sebelum menikah seperti itu?" jawabnya sambil tertawa mengejek, seolah tak terpengaruh oleh amarah suaminya. Tuan Kim mengerang frustasi, teringat betul bahwa semua ini memang bagian dari rencana awal mereka, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang berubah.


"Memang benar, tapi seiring berjalannya waktu, aku sedikit berubah pikiran," ucapnya dengan suara lebih tenang namun tetap tegas. Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. "Berhenti gunakan anak itu sebagai alat untuk menuntaskan hasrat gilamu, Hani. Jika kau benar-benar ingin balas dendam, pergi temui Lee dan balaskan semuanya. Tapi jika anak itu sampai terluka—kau akan menyesalinya seumur hidup!" Suaranya penuh peringatan, namun Hani hanya menatapnya dengan senyum dingin yang membuat suasana semakin mencekam.


"Kau sudah terlambat, aku sudah mulai menjalankan rencanaku tanpa kau ketahui, Tuan Kim." Hani tertawa dengan suara yang menggelegar, memenuhi ruangan dengan cengkeraman dingin yang menyelimuti atmosfer. Tatapan matanya penuh kemenangan, sementara Tuan Kim hanya bisa menatapnya dengan kekecewaan yang mendalam. Tawa Hani menggema seolah menandai bahwa tidak ada lagi yang bisa menghentikannya sekarang, dan ancaman yang dia buat tak bisa diabaikan.

____________________________________________________________

Hari ini, Jay berencana mengajak Ni-ki jalan-jalan berdua. Hanya berdua. Namun, Heeseung yang selalu saja ingin ikut, tanpa rasa malu merengek meminta untuk bergabung. Jay merasa pusing dibuatnya; semua rencananya terganggu. Di sisi lain, Ni-ki hanya bisa tertawa melihat kekonyolan Heeseung yang terus berusaha membujuk. "Memangnya Ni-ki sudah boleh jalan-jalan? Dia kan masih sakit," kata Heeseung dengan mata yang memicing, seolah-olah ingin membuktikan bahwa semua ini adalah ide yang buruk. Jay hanya mendengus kesal, merasa frustrasi dengan situasi ini.


Heeseung tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. "Jay bisa jaga Ni-ki, pasti dia bosan di rumah terus," ucapnya, mencoba mengalihkan perhatian dengan argumen yang tampak logis. Namun, bukannya membuat Heeseung luluh, itu justru membuatnya semakin bersikeras. "Kalau Ni-ki kenapa-kenapa gimana, Jay?" tantangnya, suaranya semakin tegas. Jay merasa terjebak di antara keinginan untuk bersenang-senang dengan Ni-ki dan tanggung jawab untuk menjaga keselamatannya, sementara Heeseung terus menambah tekanan dengan kekhawatirannya yang berlebihan.


Jay menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Heeseung hyung, aku tahu Ni-ki masih sedikit sakit, tapi dia butuh udara segar dan waktu bersenang-senang. Tidak ada salahnya kita berdua pergi sebentar," jawabnya dengan nada sabar, meskipun di dalam hatinya, ia merasa semakin kesal. Ia berbalik melihat Ni-ki yang tersenyum, matanya berkilau penuh harap. Itu adalah senyuman yang selalu bisa membuat Jay merasa hangat di dalam. "Kami hanya akan pergi ke kafe dan berjalan-jalan di taman. Aku akan menjaganya," tambahnya dengan keyakinan, berharap bisa meyakinkan Heeseung.


Namun, Heeseung tidak mau kalah. "Tapi, bagaimana kalau dia merasa pusing di luar? Atau jika hujan tiba-tiba?" pertanyaannya tak kunjung berhenti, dan Jay merasakan tekanan semakin berat. "Aku janji, Hyung, aku akan memantau Ni-ki setiap saat. Lagipula, aku kan kakaknya! Apa kau tidak percaya padaku?" Jay bertanya dengan nada mendesak, matanya mencari pengertian di wajah Heeseung. Di sisi lain, Ni-ki merangkul tangan Jay dengan penuh antusias, seolah memberi semangat tambahan. Akhirnya, Heeseung terdiam sejenak, berpikir keras, sebelum mengeluarkan kata-kata terakhirnya, "Baiklah, tapi jika ada apa-apa, kau akan menyesal!" Jay merasa seolah baru saja memenangkan sebuah pertarungan, meskipun ia tahu bahwa ini baru permulaan dari segala kemungkinan yang akan mereka hadapi.


Ni-ki dan Jay tiba di kafe yang cukup ramai namun tetap tenang, dengan suasana hangat di mana orang-orang menikmati hidangan dan pertunjukan musik yang mengalun lembut. Jay, sambil menggenggam tangan Ni-ki, segera mengajaknya menuju meja paling ujung agar mereka bisa duduk lebih leluasa. "Pesan saja yang Ni-ki suka, tapi tidak ada alkohol, oke?" kata Jay dengan nada mengingatkan. Ni-ki hanya mengangguk, meski pikirannya sejenak melayang, membayangkan rasa alkohol yang dingin mengalir di tenggorokannya. Sebelum beranjak, Jay menatap Ni-ki dengan serius. "Hyung ke toilet sebentar, jangan kemana-mana," pesannya, meninggalkan Ni-ki yang duduk sendirian dengan menu di tangan.


Sambil menunggu Jay dan pesanannya datang, tiba-tiba seorang laki-laki seumuran dengan Ni-ki duduk tanpa permisi di mejanya. "Ni-ki, kan?" tanya pria asing itu dengan nada santai. Ni-ki, yang selalu diajarkan untuk berhati-hati dengan orang asing, tak langsung menjawab dan hanya menatapnya penuh waspada. "Nama gue K, just K. Gue disuruh Jay Hyung buat kesini karena dia ada urusan sebentar," ucapnya sambil tersenyum tipis. Mendengar nama Jay disebut, Ni-ki sedikit melunak, meski tetap menyimpan rasa penasaran. "Kenal Jay Hyung? Dari mana?" tanyanya dengan nada sangsi, matanya menyelidik pria di depannya, yang tampak seperti tahu banyak tentang Jay. "Hyung sering ke sini setidaknya sebulan sekali buat bernyanyi," jawab K dengan percaya diri.


Ni-ki tersentak kaget mendengar pengakuan yang tak ia sangka-sangka. Selama ini, ia tahu Jay suka memainkan gitar di rumah, tapi ia pikir itu hanya sekadar hobi untuk mengisi waktu luang. "Bernyanyi?" gumam Ni-ki pelan, mencoba mencerna informasi baru tersebut. Pikiran Ni-ki melayang, membayangkan Jay di atas panggung kecil, bernyanyi di depan orang-orang. Sebuah sisi dari kakaknya yang selama ini ia tak pernah ketahui. Rasa penasaran semakin membuncah dalam dirinya, tetapi di sisi lain, ia masih merasa ada sesuatu yang aneh dari pria bernama K ini.


"Ni-ki, lihat ke atas panggung, ada Jay Hyung," kata K sambil menunjuk ke arah panggung. Ni-ki sontak menoleh, dan benar saja, Jay sedang berdiri di sana dengan gitar di tangannya, tersenyum kecil ke arahnya. Perasaan terkejut dan kagum bercampur jadi satu di dalam diri Ni-ki. Jay mulai bernyanyi, suaranya lembut dan merdu, diiringi petikan gitar yang membuat suasana kafe terasa lebih hangat. Setiap nada yang keluar dari mulut Jay membuat Ni-ki terdiam, seolah kakaknya adalah orang yang benar-benar berbeda dari yang selama ini ia kenal.


"Ni-ki benar-benar tak tahu Jay Hyung pandai bernyanyi dan sering manggung di beberapa kafe?" tanya K dengan nada heran. Ni-ki hanya mengangguk pelan, masih terpesona oleh suara Jay yang mengalun indah di panggung. K tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Ni-ki, mengucapkan sesuatu yang membuat hati Ni-ki mencelos seketika. "Adik macam apa kau Ni-ki? Kau bahkan tak tahu kalau Jay Hyung sering manggung di sela-sela kegiatannya," kata K sambil menyeringai. Senyum sinisnya jelas terlihat, sementara wajah Ni-ki berubah, perasaan bersalah dan kebingungan mulai menyelimuti dirinya.


"Gue bahkan yang orang asing tahu hal semacam itu, Ni-ki," ucap K dengan nada mengejek, matanya menatap tajam ke arah Ni-ki. Kata-katanya menusuk, membuat Ni-ki merasa semakin kecil di hadapannya. Dia menggigit bibirnya, merasa campuran antara malu dan bingung. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja ia temui tahu lebih banyak tentang Jay daripada dirinya, adik kandungnya sendiri? Suara Jay yang biasanya menenangkan kini terasa jauh, tenggelam oleh pikiran yang bercampur aduk di kepala Ni-ki.



to be continue
28 September 2024

terima kasih atas votenya 🫶

The Innocent Heir | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang