BAB 9

438 52 8
                                    

Teriakan gembira siswa-siswi menggema di halaman sekolah, merayakan selesainya ujian akhir. Ni-ki berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan dari Nicholas. Tangannya bermain-main dengan ponsel, mencoba mengusir rasa bosan ketika tiba-tiba terdengar suara yang familiar, "Ni-ki!" Panggilan itu berasal dari Taki, teman sekelas yang jarang diajaknya bicara. "Oh, Taki. Kamu juga sedang menunggu jemputan?" tanya Ni-ki dengan sedikit canggung. Meski satu kelas, interaksi mereka terbilang minim. Taki hanya mengangguk sambil menjawab singkat, "Iya, Ki."

Awalnya, keheningan menyelimuti mereka, namun lambat laun percakapan ringan pun terjalin. Mereka berbicara tentang ujian, guru-guru, dan rencana setelah liburan. Ni-ki, yang tadinya merasa kikuk, mulai lebih rileks saat mendengar Taki bercerita dengan antusias tentang hobinya bermain bola. Sambil menunggu jemputan masing-masing, obrolan panjang mereka terasa begitu menyenangkan, seolah-olah semua jarak yang selama ini ada di antara mereka perlahan memudar.

“Tuan muda,” panggil Nicholas begitu sampai di depan sekolah, senyum tipisnya tampak dari balik kaca mobil yang terbuka. Ni-ki menoleh dan memberi isyarat agar Nicholas menunggu sebentar. Ia kembali memandang Taki yang masih berdiri di sampingnya. “Taki, Nicholas sudah datang. Mau barengan?” tawar Ni-ki dengan ramah. Namun, Taki hanya tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. “Terima kasih, tapi sepertinya supirku sebentar lagi sampai,” tolaknya dengan sopan.

Ni-ki mengangguk mengerti, meski sedikit kecewa karena mereka harus berpisah lebih cepat. “Baiklah, sampai jumpa lagi, ya,” ucapnya sebelum beranjak pergi. Ia melangkah menuju mobil dan masuk ke dalam, menutup pintu dengan suara lembut. Nicholas meliriknya dari kursi pengemudi, "Tuan muda terlihat lebih santai daripada biasanya," komentar Nicholas sambil menyalakan mesin, dan Ni-ki hanya tersenyum kecil, memandangi Taki dari kejauhan.



____________________________________________________________

"Bagaimana?" suara seorang wanita paruh baya terdengar dingin saat ia menatap anaknya dengan tajam. Sang anak, yang tubuhnya sedikit gemetar, tak berani mengangkat kepala. "Aku baru saja memulainya, tolong sabarlah dulu," jawabnya dengan suara pelan, menunduk memandangi lantai, terlihat jelas rasa takut yang merayap di wajahnya. Wanita itu mendengus kesal, matanya membara. "Kau itu sangat lelet sekali! Tiga tahun kau dekat dengannya tapi tak melakukan apapun untukku!" Gebrakan meja yang ia lakukan memekakkan telinga, membuat sang anak semakin ciut di tempatnya.

"Maafkan aku, Ibu. Aku akan berusaha lebih baik lagi," bisiknya dengan nada putus asa, berharap kata-katanya bisa meredakan amarah sang ibu. Namun, wanita cantik itu hanya mencibir, seakan meremehkan semua upaya sang anak. "Awas saja jika kau gagal lagi. Kau akan sangat menyesal!" teriaknya penuh ancaman sebelum berbalik pergi, meninggalkan anaknya sendirian, terpuruk dalam ketakutannya yang semakin mendalam.

"Ibu benar, aku tak boleh gagal lagi kali ini," gumam pemuda itu dengan suara bergetar penuh emosi, matanya menatap tajam ke depan seolah melihat musuhnya di kejauhan. "Apa yang menjadi hak milikku, akan aku ambil." Genggamannya di tepi meja menguat, tubuhnya gemetar karena amarah yang selama ini terpendam. "Mereka semua sudah berbahagia sejak lama, sedangkan aku? Aku menderita selama ini bersama ibu." Hatinya berkecamuk, perasaan dendam yang selama ini ia tekan mulai meledak. Ia merasa sudah cukup lama hidup dalam bayang-bayang orang lain.

"Mereka harus membayar semuanya, ya... keluarga Lee... kalian akan hancur!" desisnya dengan penuh kebencian, matanya bersinar tajam. Tekadnya telah bulat. Tak ada lagi rasa ragu yang mengganggunya. Ia tak akan mengalah lebih lama lagi—ini adalah saatnya untuk membalas semua penderitaan yang ia alami.


____________________________________________________________

“Tuan muda, apa kita langsung pulang ke rumah?” tanya Nicholas sambil melirik Ni-ki di kursi belakang melalui kaca spion. Ni-ki menoleh dari ponselnya dan berpikir sejenak sebelum menjawab, “Bisa kita singgah ke kantor Sunoo Hyung?” Tanpa banyak bicara, Nicholas mengangguk patuh dan segera memutar arah mobil, mengikuti permintaan Ni-ki.

Setelah tiba di kantor Sunoo, Ni-ki berjalan santai menuju ruangan kakaknya sambil sesekali membalas sapaan para karyawan yang sudah mengenalnya dengan baik. Ia selalu merasa nyaman di sini, di tempat Sunoo bekerja. Saat sampai di depan pintu, tanpa ragu ia langsung membukanya. "Sunoo Hyung!" teriak Ni-ki penuh semangat sambil masuk ke dalam ruangan. Sunoo yang sedang fokus pada dokumennya langsung mengernyit kesal. "Heh, bocah! Bisa diam tidak!" gerutunya, merasa sedikit terganggu dengan kedatangan mendadak adik bungsunya.

Bukannya merasa bersalah, Ni-ki justru berkeliling, mengarahkan pandangannya ke arah kulkas kecil di ruang istirahat Sunoo. "Hyung, ada cemilan tidak?" tanyanya sambil celingak-celinguk mencari sesuatu untuk dimakan. Sunoo menghela napas panjang, merasa kesal namun tak bisa menahan senyum tipis. "Apa matamu sudah mulai buram, Ki?" tanyanya dengan nada sarkastik, melihat Ni-ki yang tak kunjung menemukan apapun. Ni-ki hanya tertawa terbahak-bahak, membuat Sunoo menggelengkan kepala, menyerah pada tingkah lucu adiknya.

"Nicholas, antar Ni-ki membeli cemilan," ujar Sunoo sambil menyerahkan sebuah kartu kepada Nicholas. Mendapat perintah itu, Nicholas segera menanggapi dengan tegas, "Baik, Tuan Sunoo. Ayo Tuan Muda, saya antar Anda." Dengan ramah, ia menuntun Ni-ki keluar dari ruangan, sambil mengarahkan langkah mereka menuju toko terdekat yang menjual berbagai camilan yang terlihat sangat menggiurkan.

Saat Ni-ki sedang asyik memilih snack, matanya tiba-tiba tertuju pada sosok yang tampak familiar di kejauhan. "Taki?" sapa Ni-ki dengan hati-hati, merasa ragu apakah itu benar teman sekelasnya. Namun, saat sosok itu menoleh, senyum cerah menghiasi wajah Taki. "Oh, Ni-ki! Kau ada di sini?" tanya Taki dengan nada gembira, membuat Ni-ki merasa lega karena ternyata ia tidak salah orang.

"Ya, sedang membeli cemilan," jawab Ni-ki sambil melangkah mendekat, rasa senangnya tak bisa disembunyikan. Mereka berdua mulai mengobrol santai, berbagi cerita tentang pilihan snack favorit masing-masing. Momen kecil ini membuat Ni-ki merasa lebih nyaman.

Tanpa mereka sadari, di sudut toko, seseorang tersenyum menyeringai menyaksikan interaksi antara Ni-ki dan Taki. Wajahnya menyiratkan kepuasan, seolah-olah ia menyimpan rencana di balik senyumnya yang penuh misteri. Ia mengamati dengan seksama, menikmati momen kecil itu, seolah melihat potongan puzzle yang mulai menyatu dalam rencananya.




to be continue
21 September 2024



Thank you for your vote 🫶

The Innocent Heir | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang