Bab 36 [ Ni-ki ]

270 50 18
                                    

Ni-ki jatuh berlutut di lantai yang dingin, seolah tak ada kekuatan tersisa untuk menopang tubuhnya. Teriakannya tertahan di tenggorokan, tersedak oleh rasa takut dan kehilangan yang menyesakkan. Bayangan darah yang mengalir dan wajah orang tuanya yang terbujur kaku tak akan pernah lepas dari benaknya. Semua memori masa kecil, tawa, dan hangatnya pelukan kini terasa seperti lelucon kejam dari takdir. Ayahnya bukan pria sempurna—kesalahan dan dosa besarnya telah menghancurkan keluarga ini. Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa bagi Ni-ki, ayahnya adalah sosok yang selalu ia cintai, bahkan lebih dari dirinya sendiri. 

Sekuat tenaga, ia memaksa pikirannya untuk kembali tenang, tapi kenangan buruk terus menghantui setiap sudut pikirannya. Rasa kecewa dan cinta yang saling bertabrakan membuat emosinya semakin kacau. Dalam hatinya, ada amarah yang membara pada kesalahan ayahnya di masa lalu, tapi di sisi lain, ia merasakan kerinduan yang dalam untuk kembali memeluk sosok itu—meskipun hanya untuk sesaat. Kini, ia sendirian, terjebak dalam kesedihan yang begitu pekat, sementara keheningan seakan mempertegas bahwa dunia yang ia kenal telah runtuh, dan tak ada jalan kembali.

Dengan tangan gemetar, Ni-ki mencoba berdiri, meski kedua lututnya terasa lemas. Tatapan kosongnya menatap sekeliling ruangan yang kini sunyi, hanya dipenuhi aroma kematian. Ia tahu, tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mengubah masa lalu. Tapi di saat bersamaan, sebuah pertanyaan menghantui benaknya: apakah ia harus melanjutkan hidup seperti ini? Sendiri, dengan dendam dan penyesalan sebagai teman setia? Atau ia harus mencari cara untuk menebus dosa yang bukan sepenuhnya miliknya? Dalam keputusasaan yang mencekam, hanya satu hal yang jelas—ia tak akan pernah lagi menjadi anak kecil yang naif. Dunia telah mengubahnya, dan ia harus menemukan caranya sendiri untuk bertahan.

Ni-ki menyeret langkahnya dengan berat, meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh lagi. Setiap langkah seolah mengantarkannya semakin jauh dari kenangan manis masa kecilnya, memasuki kegelapan yang semakin pekat. Ketika ia tiba di luar, angin malam yang dingin menerpa wajahnya, membawa serta bisikan samar yang terdengar seperti ejekan atas kelemahannya. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya—sebuah tekad yang mulai muncul di antara serpihan hatinya yang hancur. Meskipun rasa sakitnya belum hilang, ia sadar bahwa ada sesuatu yang harus ia lakukan, sebuah keputusan yang menuntutnya untuk tidak hanya duduk meratapi nasib.

Setelah kembali ke kamarnya, Ni-ki menatap foto keluarga yang tergantung di dinding dengan hati yang berat. Dalam gambar itu, ia dan saudara-saudaranya tersenyum lebar, wajah-wajah mereka dipenuhi kebahagiaan yang begitu tulus. Kedua orang tua mereka juga tampak tersenyum lembut, seolah-olah dunia mereka sempurna tanpa cela. Namun, saat ini, foto itu hanyalah sebuah kenangan pahit yang mengingatkannya pada kehidupan yang tak akan pernah kembali. Air mata perlahan mengalir di pipinya, menggambarkan betapa besar penyesalan yang menghimpit dadanya.

Ni-ki merasakan rasa bersalah yang menusuk hatinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri, mengingat bagaimana selama ini ia selalu merasa seperti beban bagi saudara-saudaranya. Andai saja ia lebih berusaha untuk membantu Hyung-nya, andai saja ia tidak terlalu manja dan egois, mungkin keadaan tidak akan seburuk ini. Tapi penyesalan terbesarnya adalah pada ayahnya. Andaikan saja ayahnya tidak terjebak dalam perselingkuhan yang menghancurkan segalanya, mungkin mereka masih bisa berkumpul bersama, menikmati tawa dan kebahagiaan yang tulus seperti dulu. Sekarang, ia hanya bisa berdiri di tengah kehancuran ini, menatap bayangan masa lalu yang perlahan memudar, sambil menyadari bahwa ia telah kehilangan lebih dari yang pernah ia sadari.

Ni-ki berusaha menghapus air matanya dengan lengan bajunya, namun setiap kali ia melakukannya, kenangan indah itu seakan semakin menguatkan rasa sakitnya. Foto itu adalah pengingat bahwa kebahagiaan bisa direnggut dalam sekejap, dan betapa rapuhnya hubungan antar anggota keluarga. Dengan mengingat tawa ceria dan momen-momen bahagia yang kini hanya menjadi kenangan, ia merasakan betapa hancurnya hidupnya setelah semua yang terjadi. Ia ingin meneriakkan rasa sakitnya, membagikan beban itu kepada seseorang, tapi siapa yang bisa mengerti kesedihannya jika tidak ada lagi yang tersisa dari kebahagiaan itu?

The Innocent Heir | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang