BAB 16

366 55 10
                                    

Setelah berhasil menenangkan istrinya yang sangat khawatir, sang kepala keluarga menghela napas panjang dan memutuskan untuk pergi menemui putra bungsunya, Ni-ki. Rasa cemas masih menggelayut di hatinya, meski dia berusaha menutupi dengan senyum tipis saat melangkah menuju kamar anaknya. Saat pintu terbuka, pemandangan yang dia lihat membuat jantungnya berdegup kencang. Di sana, Ni-ki duduk di atas ranjang, menahan sakit sambil memegangi kepalanya. Tanpa berpikir dua kali, dia segera mendekat, matanya penuh kekhawatiran. "Ni-ki! Kamu kenapa, nak? Apa yang sakit?" tanyanya dengan nada tegas namun panik.


Ni-ki menatap ayahnya dengan senyum lemah, berusaha menenangkan pria yang tampak sangat cemas di hadapannya. "Hanya pusing doang, Daddy," jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar tapi tetap tenang. "Daddy berlebihan sekali, nggak perlu khawatir," tambahnya, meskipun rasa sakit di kepalanya masih terasa kuat. Ayahnya tak yakin dengan jawaban itu, matanya tetap memperhatikan setiap gerak-gerik Ni-ki, mencoba mencari tanda-tanda lain bahwa putra kecilnya menyembunyikan sesuatu yang lebih serius.


Lagi dan lagi, suara pintu yang terbanting keras menggema di ruangan itu, kali ini berasal dari Heeseung yang menerobos masuk dengan napas terengah-engah. Matanya memindai seluruh kamar dengan cepat, penuh kekhawatiran. "Ada apa! Ni-ki kenapa lagi?!" serunya dengan nada panik, seolah sesuatu yang buruk baru saja terjadi. Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, Jay segera menenangkannya dengan merangkul bahunya. "Santai, Heeseung. Ni-ki cuma pusing sedikit. Daddy aja yang berlebihan, sampai teriak segala," jelas Jay, sambil memberikan senyuman kecil. Ni-ki sendiri yang merasa bersalah karena sudah membuat heboh, ikut mengangguk lemah, mencoba meyakinkan Heeseung dan yang lainnya bahwa semuanya baik-baik saja.


Mendengar itu, Heeseung akhirnya mengembuskan napas lega. Ketegangan di wajahnya perlahan memudar, dan tanpa pikir panjang, dia langsung duduk di lantai kamar, seakan semua energi terkuras begitu saja. "Astaga, jantungku nyaris copot," gumamnya pelan, sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mungkin setelah ini, Heeseung perlu diingatkan untuk mengecek kesehatan jantungnya, mengingat betapa seringnya ia terpancing panik setiap kali sesuatu terjadi pada adik kecil mereka.


"Apa sekarang masih pusing?" tanya Jake dengan suara lembut sambil mengelus kepala Ni-ki dengan hati-hati. Ni-ki menggeleng pelan, kemudian berkata, "Sudah mendingan, jangan paksa Ni-ki minum obat lagi. Nanti juga hilang sakitnya," ucapnya dengan nada mewanti-wanti, jelas sekali ia sudah lelah harus terus-terusan minum obat. Jake hanya tersenyum tipis, paham betul bahwa adik bungsunya itu memang paling enggan berurusan dengan obat-obatan.


"Lain kali, apapun itu jangan diam saja, nak. Ngomong sama Hyung atau yang lainnya, jangan seperti tadi lagi, oke?" kata sang ayah lembut, tapi tegas. Ni-ki hanya mengangguk setuju, malas untuk berdebat lebih jauh. Sang ayah tersenyum senang dan tanpa ragu memeluk Ni-ki dengan penuh kasih sayang. Namun, tak lama kemudian, semuanya ikut-ikutan, saling berpelukan hingga menghimpit Ni-ki yang berada di tengah. "Yak! Ni-ki susah bernapas!" teriaknya kesal, tapi senyum kecil tetap terlukis di wajahnya.

____________________________________________________________

Sang ibu tersenyum tipis, seolah puas melihat kegelisahan yang mulai merayap di wajah anaknya setalah melihat rekaman yang ia perlihatkan barusan. "Lihatlah mereka, tertawa bersama, seakan dunia ini hanya milik mereka," lanjutnya, suaranya seperti bisikan racun yang terus menembus pertahanan anaknya. Sang anak mencoba mengalihkan pandangannya, namun bayangan kebahagiaan yang tampak begitu nyata di sana sulit untuk diabaikan. "Ibu, berhenti..." gumamnya pelan, tapi sang ibu hanya menggeleng perlahan, senyumnya semakin melebar.


"Kau tahu, sayang, di balik semua ini, ada ruang kosong dalam hatimu. Ruang yang seharusnya diisi oleh cinta dan pelukan dari mereka, tapi mereka justru memilih meninggalkanmu." Sang ibu mendekat, tangannya menyentuh bahu anaknya dengan lembut, tapi dingin. "Apa kau tak ingin, sekali saja, merasakan hangatnya pelukan itu? Ayahmu, yang seharusnya berada di sisimu, memelukmu dengan penuh kasih sayang seperti Ni-ki?" Sang anak terdiam, tak mampu menjawab. Kata-kata ibunya menyusup jauh ke dalam, membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.


"Tak masalah, toh sudah ada Ayah Kim," sang anak berusaha mengelak, meski hatinya terasa sedikit goyah. Jawabannya justru mengundang tawa kecil dari wanita paruh baya di depannya. "Ayah Kim? Sayang, kalian tak ada hubungan darah. Tetap saja, itu berbeda dengan orang tua kandung," jelas sang ibu dengan nada lembut, namun penuh tekanan. Senyum tipis di wajahnya menegaskan bahwa ia tahu betul kelemahan anaknya, dan ia tak akan berhenti sampai mendapatkan reaksi yang diinginkan.

____________________________________________________________

Di tengah perseteruan yang sudah berlangsung lama antara keluarga Lee dan Kim, seorang wanita bernama Hani, yang dulunya adalah selingkuhan Tuan Lee, berhasil menyusup ke dalam keluarga Kim dengan cara yang licik. Setelah diusir oleh Nyonya Lee yang marah, Hani merasakan kemarahan dan kebencian mendalam. Tidak ingin terpuruk dalam kehampaan, ia mulai merencanakan balas dendam yang matang, mengincar titik lemah dari kedua keluarga yang berseteru. Ia melihat peluang untuk memanfaatkan konflik itu demi kepentingan pribadinya.


Hani kemudian mendekati Tuan Kim, mengajukan tawaran kerja sama yang tampaknya saling menguntungkan. Dengan berbicara tentang dendamnya terhadap keluarga Lee, ia berhasil menarik perhatian Tuan Kim yang juga memiliki kepentingan tersendiri dalam perseteruan itu. Mereka berdua sepakat untuk bersatu demi mencapai tujuan masing-masing. Dengan rencana yang telah disusun, Hani mempersiapkan segalanya untuk memastikan bahwa ketika anaknya lahir, dia akan menjadi alat untuk mengeksekusi rencana balas dendam mereka.


Setelah anak itu lahir, Hani mendidik putranya dengan doktrin yang penuh kebencian terhadap keluarga Lee. Sejak usia dini, anak itu telah diajari untuk memusuhi dan mencemooh keluarga yang mengabaikan keberadaannya. Hani mengisahkan padanya bahwa ia adalah anak dari keluarga Lee yang sengaja dibuang, membangkitkan rasa benci yang mendalam terhadap orang-orang yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya. Dengan cara ini, Hani bertekad untuk menggunakan anaknya sebagai senjata untuk membalas dendam dan mengakhiri perseteruan yang telah mengoyak dua keluarga selama bertahun-tahun.


Meskipun awalnya merencanakan penggunaan anak tirinya sebagai alat untuk membalas dendam terhadap keluarga Lee, Tuan Kim tidak dapat menahan perasaannya yang tulus dan mendalam terhadap anak tersebut. Ia menganggap anak itu seperti anak kandungnya sendiri, memberikan kasih sayang yang tanpa syarat dan memanjakan dengan perhatian yang penuh. Dalam kesehariannya, Tuan Kim berusaha memenuhi peran sebagai ayah yang baik, mencurahkan waktu dan usaha untuk membangun ikatan yang kuat, bahkan di tengah rencana yang kelam. Keduanya menjadi bagian dari kehidupan satu sama lain, dan meskipun latar belakang anak itu diliputi oleh kebencian, kasih sayang Tuan Kim mulai mengubah perspektifnya, menciptakan momen-momen kebahagiaan yang tulus di antara mereka berdua.






to be continue
27 September 2024


terima kasih atas vote dan komentarnya 🫶

The Innocent Heir | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang