Bab 1. Memilih Mundur

819 66 5
                                    

Semenjak kejadian yang membuat kecewa di depan restoran waktu itu, Rila tak bersikap profesional dengan tak datang untuk bekerja bahkan tak menonaktifkan ponselnya.

Dia hanya berdiam diri di kediaman kakeknya, menyiapkan kata perkata untuk di jadikan alasan berhenti dari pekerjaan, menutupi fakta dirinya kecewa.

Cukup lama bergelut dengan perasaannya, bahkan alasan untuk mengundurkan diri pun telah rampung dalam pikiran, kembali Rila mengaktifkan ponsel miliknya.

Tin!
Tin!
Tin!
Tin!
Tin!

[Kamu di mana Ri? Kok nggak ke rumah juga nggak ke perusahaan?]

[Kamu baik-baik saja kan Ri?]

[Ri, kenapa ponsel mu nggak pernah aktif? Kamu juga nggak ada di rumah kakek mu, kamu kemana? Kamu baik-baik saja kan?]

[Ri, kamu baik-baik saja kan? Saya benar-benar khawatir loh Ri]

[Ri, tolong kalau kamu baca pesan saya, segera kamu balas yah, saya nggak tahu harus mencari kamu kemana lagi]

Rentetan pesan yang di tinggalkan sang pria dan masih banyak lagi. Juga beberapa panggilan tak terjawab lainnya. Tapi Rila tak ingin merasa senang apa lagi merasa dirinya penting. Dia tahu betul sang pria memanglah seseorang yang baik hati juga rasa kepedulinya pada orang lain sangat tinggi, dan Rila menempatkan diri sama halnya dengan mereka.

Tapi hal ini juga akan dia jadikan kesempatan untuk mengutarakan keinginannya mengundurkan diri.

Cring...!!!

Berniat ingin menghubungi, sang pria menghubungi lebih dulu.

"Assalamualaikum om"

"Waalaikumsalam,. Ya ampun Ri, kamu benar-benar hampir membuat saya terkena serangan jantung karena ponselmu terus berada di luar jangkauan" keluh sang pria, bekali-kali membuang nafas lega

"Maaf om, kemarin ponsel saya rusak, sedang di servis" kilahnya

"Ooh,. Saya pernah ke rumah kakek mu, tapi mereka bilang kamu sedang pergi berlibur"

"Oh, iya"

"Bagaimana liburannya?"

"Menyenangkan, ini saya baru tiba"

Rila telah menumpuk kebohongan demi menyembunyikan fakta dirinya kecewa dan ingin pergi.

"Maaf yah jika saya mengganggu"

"Iya nggak apa-apa. Oh iya om, ada yang ingin saya sampaikan"

"Apa itu?"

"Kita bertemu saja yah biar lebih enak bicaranya"

Sang pria hening seolah berat hati menyetujui hal tersebut.

"Kenapa om? Nggak bisa? Ada janji dengan orang lain? Nggak bisa di batalkan?" cecar Rila mengingat kebohongan di depan restoran tiga hari lalu, yang kini menjadi pemantik dia ingin pergi.

"Nggak Ri, saya bisa kok, cuma kondisi saya sekarang nggak memungkinkan"

Dahi Rila mengerut bingung, tak sesuai yang dia dengar, suara sang pria terdengar baik-baik saja sama seperti biasanya.

"Memang om kenapa?"

"Sebenarnya saya lagi di rawat di rumah sakit"

Seketika Rila berdiri dari duduknya begitu terkejutnya. Hal seperti ini yang membuatnya tak henti menceracau demi memastikan kesehatan sang pria.

"Kok bisa? Om habis ngapain? Makannya nggak di jaga yah? Asal makan? Atau jangan-jangan semua yang dokter larang om lakukan, iya?"

Dari seberang telepon sang pria mendengus tersenyum mendengar wanita itu menceracau.

Jodoh PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang