Bab 22. Turun Tangan

357 42 4
                                    

Pagi ini Rila merasa malas untuk membangunkan Riga. Jangankan untuk membangunkan sehingga dapat bertemu, melihatnya saja dia tak mau melakukan untuk saat ini. Tapi dia sadar harus bersikap profesional dalam bekerja, sebab membangunkan Riga yang paling pertama dalam serangakaian pekerjaannya.

Dengan malas Rila mendatangi kamar Riga.

Jika biasanya dia masuk tanpa berpikir panjang, kali ini dia butuh waktu sedikit lebih lama sebelum meraih kenop pintu.

"Kak.." panggilan Rayen menginterupsi.

"Kebetulan kamu di sini Ray, kamu bangunkan ayahmu yah"

"Lho, itu kan tugas mu kak"

Rila memutar badan menghadap Rayen.

"Aku malas ketemu ayah mu untuk saat ini"

Rayen paham perasaan wanita di hadapannya, pasti kekesalan masih tertinggal di hatinya karena bentakan sang ayah, terlebih lagi itu pertama kalinya ayahnya meninggikan suara pada seseorang yang telah lama mereka kenal.

"Jangan begitu lah kak, harus profesional dong. Lagi pula ayah sepertinya nggak bisa kemana-mana hari ini"

"Kenapa?"

"Ayah lagi nggak enak badan"

Rila menjadi khawatir, dia menatap risau pintu kamar Riga.

"Biar aku yang ke perusahaan, kak La ngurusin ayah saja yah"

Rila mengiyakan tanpa berpikir panjang. Rayen memutarkan badan pergi, dan Rila memutar kenop pintu tanpa ragu lagi.

Seperti biasa kamar Riga gelap bahkan jika dirinya sedang kurang sehat begini pun. Di antara cahaya sudut, Rila mendapati Riga tidur tak seperti biasanya tengkurap, tapi kini dia terlentang juga mengenakan baju, tampaknya Rayen tak membual soal keadaan ayahnya.

Rila menyibak korden hanya sedikit tanpa menyibak korden Vitrase, agar cahaya matahari tak menyilaukan mata Riga.

Sekesal apapun Rila pada Riga, tapi ketika melihatnya dalam keadaan seperti ini di hadapannya, dia menjadi tak tega.

Dia duduk di samping Riga yang masih tertidur, menatap lamat-lamat wajah matang sang pria yang nampak pucat. Tangannya terarah menyentuh dahi pria itu, memeriksa suhu tubuhnya.

"Rila,." gumam Riga. Rila menarik tangannya, tapi Riga menahan.

Mata sayu Riga terbuka perlahan menatap wajah wanita yang dirinya pikirkan semalaman setelah meninggikan suara. Besar rasa penyesalan telah bersikap demikian.

"Saya minta maaf" ujarnya

"Itu pertama kalinya om membentak saya"

"Iya, saya minta maaf, saya benar-benar minta maaf, Ri"

Ke-duanya diam saling memandang. Tak berlama-lama kemarahan mendera hati Rila, perkataan maaf Riga dengan bersungguh-sungguh membuang semua kemarahannya sedari tadi malam.

"Om kok bisa begini?"

"Saya sepertinya makan pantangan yang kamu larang"

"Lihat! Saya sudah susah payah menjaga om agar tetap vit, buk Dona itu muncul baru beberapa hari malah membuat om seperti ini! Om ingin berapa kali seperti ini agar om sadar dan lebih bisa tegas pada buk Dona!" sebal Rila menceracau menyangkut kesehatan Riga, dan hal tersebut yang Riga rindukan dari sang wanita.

"Terus saya harus bagaimana?"

"Jauhi buk Dona"

Riga mengangguk ki, permintaan karena khawatir juga mungkin cemburu itu sudah cukup menjadi alasan Riga untuk tak memberi waktu pada Dona yang memang dia tak berkeinginan seperti itu.

Jodoh PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang