Rila pergi berbelanja bersama bik Nur begitu Riga ke perusahaan. Di jalan pulang dia tak sengaja bertemu dengan Dika. Rila memperkenalkan pada bik Nur jika Dika temannya di kabupaten tersebut, lalu Rila meminta bik Nur pulang lebih dulu, sebab es krim yang telah di beli takut meleleh.
"Bik Nur, kata bang Maman bik Nur dan istri saya ke pasar, terus istri saya di mana?" tanya Riga berpapasan dengan bik Nur yang hendak memasuki rumah.
"Nyonya minta bibik pulang duluan Tuan"
"Kenapa nggak bareng saja?"
"Nyonya bertemu dengan temannya di jalan"
"Teman, siapa?"
"Namanya Dika"
Nafas Riga seketika tercekat di kerongkongan mendengar istrinya bertemu dengan seseorang yang dulu menjadi saingannya. Tak tenang, dia bertanya posisi mereka dan segera menyusul menggunakan sepeda ontel milik bang Maman yang ada di sekitar.
Cepat-cepat Riga mengayuh sepeda tua bang Maman, di serang bayangan sang istri bersama pria lain jauh dari pengawasannya.
Dia menghentikan sepeda di depan sebuah mini market mendapati wanitanya bersama seorang pria di dalam sana berbagi tawa sembari berbelanja. Riga ikut masuk dengan penuh emosi.
"Rila,.." panggil nya pelan tapi penuh penekanan. Meski dia emosi tapi masih bisa menahan diri.
"Mas, kok mas di sini?"
Riga mendekati Rila, tak mengindahkan sapaan Dika yang ramah, lalu Riga meremas lengan wanitanya, menatapnya tajam dari dekat.
"Pulang" titahnya mengetatkan rahang. Rila meneguk ludahnya takut, menyadari kemarahan di wajah suaminya.
"Kak, aku pulang yah" pamitnya pada Dika di balas anggukkan.
Rila tak menahan diri saat Riga menarik tangannya meninggalkan minimarket hingga ke sepeda ontel yang dia sandarkan pada pagar pembatas toko.
"Mas, saya jalan kaki saja yah"
Riga memberi tatapan tajam dari atas sepeda, dia memerintahkan Rila lekas naik ke boncengan belakang. Mau tak mau Rila menuruti dan pulang dengan berboncengan.
"Mas memang menyusul saya ke sana?"
"Hm"
"Tahu dari mana saya di sana?"
"Bik Nur"
Rila memiringkan kepala mengintip wajah ketus suaminya, sahutannya pun terdengar tak bersahabat.
"Mas kenapa? Kok jawabnya begitu?"
"Memang harus bagaimana?"
"Ih mas, kok mas jadi ketus begini sih?"
Riga diam, tak ingin berdebat di atas sepeda, dia akan melontarkan pertanyaan ketika mereka tiba di rumah. Dia memutuskan tetap diam tak menyahuti hingga tiba di kediaman mereka.
Setibanya dia menggandeng tangan Rila ke kamar, mengunci pintu lalu menghadap sang istri.
"Kenapa kamu bertemu dengan Dika!?" tanya Riga mengeluarkan kemarahan pada akhirnya, membuat Rila tahu, suaminya salah paham.
"Kami nggak sengaja bertemu mas, terus Dini muncul minta di temani belanja untuk camilan di mobil. Dia dan kak Dika akan ke kota, berhubung kak Dika telah rujuk dengan istrinya, sekalian mereka pindah dan menetap di kota. Tadi saya berkenalan dengan istrinya. Mamahnya Dini cantik loh mas, beda 5 tahun sama saya, lebih kakak dia. Oh iya tadi dia mengantar Dini pipis di belakang"
Riga terdiam, penuturan Rila menjawab semua kegelisahannya, menghilangkan kemarahan dan cemburu yang memenuhi rongga dada, yang ada kini rasa malu juga sesal.
Rila paham melihat sikap diam suaminya, dia mendekat dan mendekapnya lalu menengadah.
"Mikirnya aneh-aneh yah sampai mukanya tadi kesal? Di atas sepeda juga sahutannya ketus terus, cemburu yah?"
Riga mengangguk ki tanpa malu. Dia cemburu juga takut ketika mendengar penuturan bik Nur tanpa bertanya lebih.
"Tadi bik Nur pulang sendiri terus bilang kamu bertemu dengan Dika"
"Saya minta bik Nur pulang duluan sebab takut es krim yang sudah di beli nanti meleleh. Bukan bertemu yah mas, tapi nggak sengaja ketemu"
Riga memasang wajah sesal yang kian jadi. "Maaf yah" sesalnya
"Iya, tapi cium dulu"
Rila memanyunkan bibir, dan Riga menurunkan wajah menyambut bibir wanitanya.
Dia lega, dirinya hanya salah paham.
"Mas takut, biar bagaimanapun dia pernah menyukaimu, hingga ingin melamar mu waktu itu" suara Riga pelan, sedih berbalut manja menjadi satu.
"Tapi kan saya tolak"
"Hm! Kapan? Kamu pernah ketemu sama dia di belakang mas!?"
"Nggak mas, waktu kak Dika mengungkapkan perasaannya waktu itu hingga ingin melamar, saya menolak saat itu juga"
Riga menatap heran, kenyataan ini tak Rila ungkapkan.
"Tapi waktu itu kamu sedih karena bingung"
Rila tertawa keras.
"Saya mau lihat tanggapan mas, dan mas seketika terkejut lalu marah nggak jelas juga sedih, ekspresi mas lucu tahu"
Riga bersedekap dada, sebal merasa dirinya di permainkan. Dia masih ingat dengan jelas dirinya teramat takut Rila menerima dan dimiliki pria lain.
"Mas marah sama kamu" paparnya masih bersedekap dada, menatap sebal sang wanita yang tak hentinya tertawa.
"Jangan marah-marah ah, nanti cepat tua" Rila mencubit ke-dua pipi Riga gemas, lalu menggerakkan pipinya ke kiri dan ke kanan.
"Mas memang sudah tua" papar Riga
"Kalau begitu nanti cepat jadi kakek-kakek"
"Kalau mas jadi kakek, kamu juga jadi nenek"
"Nggak, saya sih masih muda"
Riga mengangkat ke-dua tangan.
"Mas menyerah kalau menyangkut umur. Mas benar-benar tua jika pembahasannya mengenai umur"
"Tua-tua begini suaminya Aprila Mahardini Rigandi yang tersayang"
Riga menangkup ke-dua pipi Rila gemas, lalu mengecup bibirnya berkali-kali hingga berubah pagutan.
Tok! Tok! Tok!
Ke-duanya tak perduli akan ketukan di pintu, tak ada yang ingin melepaskan tautan bibir mereka.
Tok! Tok! Tok!
Masih mereka tak mengindahkan, bahkan ciuman ke-duanya kian bergairah karena gangguan.
"Yah...! Bund...!"
Bunyi klop dari dua bibir yang akhirnya berpisah, menyadari sang anak yang sedari tadi mengganggu. Mereka saling tatap heran sebab tak mendapat kabar jika Rayen akan datang.
Rila meninggalkan sang suami guna membuka pintu.
"Ray, kok tiba-tiba pulang?" tanya Rila heran
"Lagi kurang kegiatan"
"Tapi nggak boleh meninggalkan tanggung jawab mu dengan alasan itu" sela Riga mendekat
"Ada manager yah, sekali-kali liburan lah"
Sang ayah paham, sebagai seorang pemimpin pasti ada kalanya merasa lelah dan butuh merehatkan diri dan pikiran. Sedang Rila justru menaruh curiga. Lama hidup bersama keluarga Rigandi membuatnya sedikit bisa memahami keadaan anggota keluarga tersebut. Dan Rayen di mata Rila tampak memiliki beban, dan itu bukanlah beban pekerjaan, karena Rayen tipikal seseorang yang bertanggung jawab, meninggalkan pekerjaan dengan beralasan lelah bukanlah dirinya.
Tapi Rila tak akan bertanya sekarang, dia akan mencari waktu yang tepat, dan untuk saat ini mereka bersama-sama turun ke lantai bawah, menikmati waktu berkumpul bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihan
RomanceApa jadinya jika sahabat karib meminta sebuah permintaan tak masuk akal sebagai permintaan terakhirnya. "Aku mohon La, menikah lah dengan ayahku" Itulah kalimat tak masuk akal dari sang kawan yang sudah seperti saudari sendiri. Rila bingung, teramat...