18

1.1K 76 15
                                        

Pagi yang cerah dengan awan putih bergerak pelan di sekeliling langit biru, begitu menenangkan, bukan? Namun, apakah kalian percaya jika itu semua hanya sebuah omong kosong bagi Rucas?

Rucas, anak kedua dari keluarga Bimantara juga kembaran dari Lucas Bimantara yang menganggap omong kosong soal cuaca cerah ini begitu menenangkan.

Kenapa?

Karena semuanya terasa hampa. Cuaca cerah seperti ini tidak berarti apa pun saat ini. Menenangkan? Tidak, itu hanya membuat perasaanya semakin buruk.

Sepasang manik hitam Rucas menatap jendela besar yang menampilkan dunia luar. Dirinya yang berbaring di atas karpet berbulu dengan buku-buku pemberian Lucas di sekitarnya.

Terlalu terang untuk keluar, juga terlalu gelap untuk menetap. Sulit untuk memutuskan mana hal yang benar-benar baik menurutnya.

Biarkan dirinya egois, tolong. Perhatikan, dengarkan, dan berada di sisinya selalu. Hanya itu saja yang Rucas ingin, tapi kenapa rasanya susah untuk dikabulkan?

Lucas, bukankah kamu yang paling mengerti Rucas?

Kenapa kamu tidak tahu hal yang paling diinginkannya?

"Apa kamu berbohong tentang kita itu satu?" gumam Rucas. Manik hitam itu perlahan memejam dengan air mata yang keluar tanpa izin.

Entah bagaimana Rucas bisa berpikir pendek seolah dirinya tidak dipahami. Namun, apa kamu tahu Rucas? Kembaranmu sangat, sangat, dan sangat mencintaimu, menyayangimu hingga bertaruh dengan nyawanya sendiri.

"Tentu saja tidak. Kita selalu menjadi satu, Ruu. Karena kamu adalah kembaranku."

Rucas sontak membalikkan tubuhnya untuk melihat sosok pemilik suara tenang dengan nada yang begitu lembut itu. Sosok pemuda dengan perawakan yang mirip dengannya.

Lucas tersenyum tipis seraya berjalan mendekat pada kembarannya itu. Saat sampai di depan Rucas, Lucas pun menyetarakan posisinya dengan sang adik. Jemarinya secara lembut mengusap air mata Rucas yang sedari tadi tidak kunjung berhenti.

"Jangan menangis, air matamu lebih berharga dari pada hidupku," ujar Lucas dengan nada yang begitu lembut.

Tidak peduli dengan ucapan Lucas, Rucas menahan tangan kembarannya untuk tetap menyentuh wajahnya yang masih terasa akan jejak basahnya air mata.

Helaan napas pelan keluar saat telapak tangannya merasakan hangatnya suhu tubuh sang adik. Ibu jarinya perlahan mengusap pipi tirus Rucas secara lembut.

Aneh, Lucas merasa jika dirinya pernah melakukan hal yang sama seperti saat ini. Sekelebat ingatan menghantamnya hingga pening begitu terasa menyakitkan.

Dalam ingatan tipis itu, Rucas berbaring di dekatnya dan dirinya juga mengusap pipi adiknya itu dengan begitu lembut seperti saat ini. Benar-benar sama.

Terpaku akan pikirannya, Lucas sama sekali tidak menyadari jika kini Rucas telah memperhatikannya dengan lekat. "Kamu mengatakan jika air mataku berharga. Lalu, apakah kamu merasa air matamu tidak berharga hingga mengalir sederas ini?" ungkap Rucas setelah terdiam cukup lama.

Tersentak saat mendengar ungkapan Rucas, Lucas pun perlahan meraba wajahnya sendiri. Benar, dirinya menangis. Kenapa? Bagaimana bisa?

Kini berganti Rucas yang mengusap air mata Lucas dengan begitu lembut. Selesai mengusap air mata sang kembaran, dirinya pun mengecup ujung mata kanan Lucas dengan penuh kasih.

"Maafkan aku karena begitu lemah dalam hal apa pun."



Di sebuah ruangan, di mana Ayasha dengan sang Kakek duduk berhadapan hanya untuk makan siang. Jendela yang terbuka hingga membuat angin sepoi-sepoi masuk, tidak juga membuat suasana sesak menurun.

004: Give Me A LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora