(31) Pelipur

280 55 27
                                    

Setelah pertengkaran sengit dengan Lulu yang masih membekas di hatinya, Rasha menancapkan gas motornya tanpa tujuan yang jelas. Ia tak tahu ke mana harus pergi, hanya ada satu pikiran di benaknya: menjauh dari kampus dan semua perasaan yang membelitnya. 

Kata-kata Lulu terus terngiang di kepalanya, berputar tanpa henti, dan setiap kali ia mengingatnya, dada Rasha terasa semakin sesak. Kekecewaan, sakit hati, dan rasa tak percaya bercampur menjadi satu, membuatnya merasa seperti tenggelam dalam lautan emosi yang tak terucapkan.

Dengan hati yang kacau, Rasha terus memacu motornya mengelilingi kota, melewati jalan-jalan yang tak lagi ia pedulikan. 

Tanpa sadar, motor itu membawanya ke tepi pantai. Meski matahari terik menyengat, memanaskan pasir dan udara di sekitarnya, Rasha merasa pantai adalah tempat yang tepat untuk menenangkan diri. 

Baginya, angin pantai dan suara deburan ombak selalu berhasil memberinya ketenangan, meskipun hanya sesaat. Jadi, tanpa ragu, ia terus melaju menuju pantai yang cukup sepi, hampir tak ada orang lain selain dirinya.

Setelah mematikan mesin motor, Rasha mulai berjalan menyusuri bibir pantai. Langkahnya lambat, mengikuti irama ombak yang berderu lembut di telinganya. Hembusan angin laut membelai wajahnya, sedikit membawa ketenangan di tengah kekacauan pikiran. 

Setelah berjalan cukup jauh, ia memutuskan untuk mencari tempat yang pas untuk duduk, tempat di mana ia bisa merenung dan melepaskan sedikit beban yang menghimpit hatinya. ia terus berjalan menyusuri sedikit tebing dan lumayan jauh dari bibir pantai, namun dari atas masih memperlihatkan keindahan pantai itu.

Namun, saat ia berjalan mencari tempat yang pas untuk duduk, matanya menangkap sosok yang tak asing. Seorang wanita yang duduk sendirian, memandang ombak yang berulang kali menghantam pantai. 

"Lohh, Kak Chika?" sapanya spontan begitu mengenali wajah itu. Chika, kakak tingkat yang ia tolong beberapa waktu lalu, menoleh perlahan, senyum manis mengembang di wajahnya.

"Eh, Rasha," jawab Chika, masih dengan senyum yang lembut. Ia tampak terkejut tapi senang melihat kehadiran Rasha di sana.

"Ngapain di sini, Kak? Sendirian?" tanya Rasha sambil melihat sekeliling, memastikan memang tak ada orang lain bersama Chika.

Chika hanya mengangguk pelan, senyumnya tak pudar. "Haha, iya. Nyari angin aja," jawabnya sambil terkekeh kecil.

Rasha tersenyum miring mendengar jawaban itu. "Waduh, pergi ke mana tuh angin? Seneng banget dicariin cewek cantik," ujarnya dengan nada menggoda, berusaha melontarkan sedikit humor untuk mengalihkan pikirannya dari semua kekacauan yang baru saja terjadi.

Chika tertawa ringan, tangannya menutupi mulutnya dengan malu. "Ih, gombal banget sih," balasnya sambil menggeleng pelan, tapi senyum di wajahnya semakin lebar.

"gw boleh duduk di sini, Kak?" tanya Rasha, matanya sedikit berharap. Ia merasa, meskipun hanya duduk diam dengan seseorang, setidaknya itu akan membantunya merasa sedikit lebih baik.

"Eh, silakan aja, Sha. Duduk, duduk," ucap Chika sambil sedikit bergeser, memberi ruang di sampingnya. 

Tanpa berpikir panjang, Rasha duduk di samping Chika. Namun, setelah duduk, tak ada obrolan yang keluar dari keduanya. Mereka hanya duduk dalam keheningan, sama-sama memandang lurus ke arah laut, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

Setelah bertahan dalam keheningan yang cukup lama, akhirnya Chika memecah suasana yang sunyi di antara mereka. "Lo sendiri ngapain ke sini?" tanyanya, mengalihkan pandangannya dari pantai ke arah Rasha yang duduk di sampingnya.

LAUT DAN SENJA || LuRah ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang