Chapter 40

325 71 2
                                    

Henry berdiri panik ketika melihat ruka dikeluarkan dari ruang WSD, kedua mata ruka tertutup rapat, dengan sebuah selang yang terpasang di dadanya. Dokter terlihat tergesa-gesa meminta asistennya untuk menyiapkan alat kedut jantung.

"Dokter, apa yang terjadi dengan putra saya? Bagaimana keadaan ruka?" tanya Henry mengikuti ranjang ruka yang didorong terburu-buru melintasi lorong.

"Pak Henry, saya tidak bisa menjelaskannya sekarang! Saya hanya bisa mengatakan kalau WSD yang kami lakukan gagal!"

Henry gemetar melihat wajah ruka yang kini menghilang dari balik pintu. Dibawa masuk ke dalam ruang gawat darurat. Rasanya dada Henry sesak, punggungnya langsung bersandar pada dinding rumah sakit tidak bisa bernapas dengan lancar.

"Tuan." Bibi marry menopang tubuh majikannya yang akan terjatuh.

Henry mengusap kepalanya, menyugar rambutnya kasar.

"Kenapa harus ruka, Bibi? Kenapa tidak saya saja yang kritis? Saya sudah banyak berbuat salah. Saya menghianati kesetiaan istri saya ani, saya gagal menjadi ayah bagi ben, saya menyia-nyiakan Yuka sehingga dia dan ruka harus menderita sampai tinggal di jalanan. Bahkan menetap di losmen kumuh. Saya yang pantas dihukum di sini."

Bibi marry tidak bisa berkata apa pun selain mendampingi Henry di sisinya dan mendoakan keselamatan ruka.

***

"Rita," panggil Laura menyentuh tangan putrinya yang terus menatap jendela luar.

"Ini sudah pagi, sayang." Laura melihat mata tajam putrinya yang agak menghitam, karena kantung mata panda yang tercipta sebab terjaga sepanjang malam.

"Dia benar-benar tidak datang Ma," kata pharita menyiratkan kalimat penuh kekecewaan.

Laura beranjak dari kursinya lalu menghampiri kursi pharita memeluknya, mendekap perempuan itu erat. Tangan pharita melepaskan pelukan Laura, lalu mengepalkan tangan di saku jasnya.

"Saya tidak akan menangis hanya karena ruka tidak datang. Mama tenang saja," kata pharita tegas,

tidak menunjukkan sorot kesedihan. Melainkan sebuah amarah yang meletup-letup di kedua netra hitamnya.

Benjamin tidak berkomentar apa pun, dia hanya diam melihat apa yang akan dilakukan putrinya setelah ini. Kali ini Benjamin tidak ingin mencegah, meski ruka adalah laki-laki baik.

Tapi pria yang bahkan tidak bisa menepati janjinya. Apakah harus ia bela? Putrinya bahkan sudah rela menunggu sepanjang malam untuk laki-laki di kursi roda itu.

"Biarkan dia pergi. pharita yang akan menyelesaikan semuanya. Kita harus percaya padanya Ma."

Tangan Benjamin mencekal lengan Laura yang akan menyusul kepergian pharita.

"Mama hanya tidak mau pharita dikuasai emosi Pa. Terlihat jelas, jika putri kita sangat menyukai ruka. Meski ruka tidak menepati janjinya untuk melamar pharita. Tapi Mama tahu, pharita sangat ingin menikah dengan ruka."

"Junet juga tidak memberikan kabar, seandainya dia memberikan kabar kita bisa tahu apa yang terjadi," ucap Benjamin mendesah lelah.

Kepala laki-laki paruh baya itu mulai pening. Tidak tidur semalaman menemani putrinya dan memikirkan tentang calon menantunya membuat beban di benak Benjamin bertambah.

"Kita pulang saja."

Benjamin mengambil ponselnya yang baterainya telah menipis, menggandeng tangan Laura membawanya keluar dari restoran Rosse Baquet kembali ke kediaman keluarga Wilson.

***

Lamborghini itu memasuki basemant kondominium, terparkir dengan cepat tanpa halangan. Mata dingin pharita menyala gelap membuka pintu mobilnya kasar,

I Wanna Be Yours (BXG) (Rupha) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang