Chapter 3

377 60 14
                                    

Bibi marry menangis di depan pintu kamar ruka, bentakan nyonyanya terdengar sampai di luar. Bibi marry takut terjadi sesuatu pada ruka. Bibi marry tahu bagaiman bencinya ani pada ruka. Ani tidak akan segan-segan menyiksa pria malang itu.

"Ibu, maaf_"

*PLAK!!

Ani terus menamparnya tanpa ampun. Ben bahkan sesekali juga memukul perut ruka, hingga pria itu memuntahkan air dari mulutnya.

"Lo cuma aib di keluarga gue! Anak cacat macam lo seharusnya tidak pernah lahir!" Geram ben

Ben memegang leher ruka ingin mematahkannya. Tangannya mengeras mengingat lagi bagaimana papanya yang bodoh memperkenalkan ruka sebagai saudaranya saat kecil. Meminta ben berbagi tempat tidur dan mainan dengan bocah lumpuh itu.

Bahkan memarahinya karena meninggalkan ruka di gudang sendirian saat mereka sedang bermain petak umpet. Ben masih ingat bagaimana perlakuan istimewa yang diterima oleh ruka dari papanya. Sementara dia hanya selalu dianggap sebagai anak manja yang merepotkan.

"Sejak lo muncul! Semua hak yang harusnya gue dapatkan sebagai putra bokap gue jadi hilang! Lo mencuri kasih sayang bokap gue! Nyokap lo yang seorang pembantu mencuri bokap gue dari Mama! Dan sekarang lo ingin mengambil pharita! Perempuan yang gue suka! Lo memang pembawa sial ruka! LO PANTAS MATI!"

Tangan ben semakin kuat mencekik leher ruka, sehingga membuat ruka kesulitan bernapas.

"M-Maaf ben."

Ruka melihat amarah yang penuh kebencian di mata ben untuknya. Mata ben begitu menyedihkan dan mengerikan.

Tangan ruka terulur mengusap kelopak mata ben. Mengusapnya lembut.

"Karena saya, kamu menderita. Maafkan saya."

Gigi ben saling bergesekan lalu mengerang kasar.

"BRENGSEK!" umpatnya kemudian melepaskan cengkramannya pada leher ruka.

Ani menatap ruka nyalang, lalu melihat wajah ruka yang memar membiru. Hati ani memanas lantas mengepalkan tangan.

"Saya tidak akan membiarkan kamu merampas apa yang seharusnya menjadi milik putra saya."

Setelah itu anu pergi meninggalkan kamar itu. Ben menendang kursi roda ruka, yang ada disisi ranjang sampai kursi roda itu terguling ke lantai dengan rodanya yang berputar di atas.

Bibi marry yang melihat pintu kamar ruka dibuka menghapus air matanya. Menggosok hidungnya yang memerah sambil melihat tangan ani yang sedikit menyisakan bekas darah bibir ruka.

"Nyonya_"

"Jika kamu tidak ingin dipecat. Tutup mulutmu, marry."

Bibi marry mengangguk lemah, lalu tatapannya mengintip kondisi ruka yang ada di atas ranjang. Pria lumpuh itu terlihat berantakan.

"Minggir!" seru ben membuat Bibi marry segera menyingkir memberikan jalan bagi anak nyonyanya itu lewat. Setelah ani dan ben pergi barulah Bibi marry buru-buru masuk untuk memeriksa kondisi ruka.

"Bibi," kata ruka lemah dengan muka memar, mata sayu, wajah pucat, dan bibir serta hidung yang mengeluarkan sedikit darah.

"Saya tidak apa-apa. Bibi jangan khawatir," ujar ruka sambil tersenyum tulus, membuat Bibi marry menutup mulut seraya menangis dalam diam.

"Tuan." Tangan Bibi marry meraba bibir ruka, kulit pria itu begitu panas. Bibi marry ingat jika demam ruka belum turun dan dia menerima tamparan bertubi-tubi dari nyonyanya.

Tangisan Bibi marry pecah, ruka hanya memegang tangan wanita paruh baya itu sambil tersenyum.

"Jangan bilang apa pun pada Ayah saat dia pulang. Saya tidak mau Ayah dan Ibu bertengkar."

Bibi marry mengangguk seraya menyeka air matanya.

"T-uan, sa-ya akan mengobati luka Tuan."

"Terima kasih."

Ruka kemudian berbaring, melihat kursi rodanya yang tergeletak di lantai. "Bibi bisa tolong berdirikan kursi roda saya?"

Bibi marry mengangguk melakukan apa yang ruka mau. Setelah itu Bibi marry pergi sebentar untuk mencari salep memar yang ruka simpan di almari pakaian.

Sedangkan ruka hanya melihat jendela kamarnya sambil melihat pemandangan luar. Mungkin hari ini dia harus terus ada di kamar sampai luka di tubuhnya pulih. Dia tidak mungkin keluar dari rumah untuk mengajar anak-anak jika kondisinya seperti ini.

"Saya sepertinya akan mengambil hari libur. Anak-anak akan terus bertanya tentang wajah saya. Jika mereka melihatnya." Ucap ruka

"Bibi akan memberitahukan pada Kepala Sekolah, kalau Tuan ruka tidak bisa mengajar karena sakit."

Ruka tersenyum berterima kasih. Sementara Bibi marry mulai duduk di tepi ranjang ruka untuk mengobati luka memar di wajah pria itu.

'Bagaimana Tuan ruka sangat peduli pada anak-anak itu daripada kondisi tubuh Tuan sendiri? Hati Tuan sangat mulia,' batin Bibi marry mengingat tentang para anak-anak yang memiliki kekurangan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Special educational needs (SEN),

Sekolah SLB untuk anak-anak TK di mana ruka menjadi suka relawan mengajar di sana.

🦌🦥

"Nona."

Junet ragu-ragu mencari alasan yang pas, setelah dia terlambat untuk meeting karena mengantarkan undangan yang diperintahkan Benjamin untuk diberikan pada ruka.

"Saya bersalah karena terlambat datang untuk meeting."

Pharita yang tenang tanpa membuka suaranya, duduk di kursi president director justru membuat Junet ketar-ketir.

Kediaman pharita lebih menakutkan dari pada saat ia berbicara dan langsung memberikan sanksi untuk Junet.

"Nona bisa memotong gaji saya sebagai kompensasi."

Asisten Junet menggigit lidahnya sendiri. Jujur, gaji yang dipotong itu sangat berat untuknya. Tapi tidak ada cara lain lagi untuk membuat pharita tidak marah dan berakhir memecatnya. Masalah gaji Junet bisa meminta tambahan dari Tuan Benjamin.

"Kamu tahu kesalahanmu?"

"Iya Nona! Saya tahu!" jawab Junet cepat.

Mata pharita melirik, menutup dokumen yang dia baca.

"Saya tidak suka masalah kehidupan pribadi saya dicampuri oleh orang lain."

Junet menelan ludah gugup. Dia tiba-tiba merinding.

"Siapa yang mengizinkanmu mengirimkan undangan atas nama saya?"

Junet memelototkan mata terkejut mendengar perkataan pharita.

Apakah nonanya tahu tentang undangan yang dia kirimkan pada ruka menggunakan namanya? Tap dari mana? Junet sudah sangat hati-hati menyembunyikannya.

"Nona saya hanya, .." ucapan Junet sedikit tersendat.

"Menjalankan perintah dari Papa Nona," sambungnya.

Pharita diam, Junet menunduk tetap pada posisinya. Tidak berani bicara lagi. Junet sungguh tidak tahu apa yang sedang pharita pikirkan.

"Dia lumpuh."

"Saya menyesal Nona, seharusnya saya tidak menuruti permintaan Tuan Benjamin. Anda tidak pantas menikahi pria lumpuh."

Pharita masih tidak berekspresi membuat Junet khawatir, ia yakin seratus persen, pharita tengah melabeli dia dengan catatan hitam, karena mencoba menjodohkan nonanya dengan pria lumpuh. Junet merasa sangat bersalah.

"Saya tidak masalah hidup dengan pria lumpuh."

Junet mengerjap lalu melebarkan matanya sampai tidak percaya.

"NONA!" teriak Junet.

Tidak mungkin dia mendengar ini. Ucapan nonanya, sama saja mengkonfirmasi bahwa wanita itu tidak masalah menikahi ruka peterson. Pria lumpuh yang Junet tidak harapkan untuk menjadi calon suami atasannya itu.

"Kembalilah ke mejamu untuk bekerja."

Junet ingin protes, tapi sekertaris pharita mengetuk pintu ruangan itu, menginformasikan sesuatu.

"Nona Presdir, ada tamu untuk Anda."

I Wanna Be Yours (BXG) (Rupha) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang