16| gumpalan asap

6 1 0
                                    

Jam demi jam berlalu, dan tubuh mereka semakin lelah. Setelah melewati hutan Arcopodo yang terasa seolah tiada akhir, mereka akhirnya tiba di batas vegetasi.

Di sinilah pemandangan berubah drastis. Pohon-pohon besar yang sebelumnya menaungi mereka kini tergantikan oleh hamparan bebatuan dan pasir vulkanik. Dari titik ini, pendakian menjadi lebih berat lagi. Tidak ada lagi bayangan pepohonan untuk berlindung dari sinar matahari, hanya jalanan curam dan berdebu yang menunggu mereka.

Rania yang berjalan di depan bersama Aldi, berhenti sejenak untuk menarik napas.

“gue bener² nggak nyangka bakal sampai sejauh ini,” gumamnya, matanya memandang ke kejauhan, meski hatinya sedikit menciut melihat jalur yang lebih menantang di depan.

Baru saja mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dari kejauhan, asap putih tebal terlihat mengepul dari arah kawah Jonggring Saloko. Asap itu muncul secara tiba-tiba, menggelegak dari dalam kawah. Pemandangan itu membuat Aldi dan Rania membeku sejenak, tatapan mereka beralih ke arah sumber asap. Wajah mereka seketika pucat, panik mulai menyelimuti.

“A-apa itu?” tanya Rania, suaranya bergetar, tatapannya tak lepas dari gumpalan asap yang terlihat semakin jelas. Tangan kanannya gemetar memegang tongkat pendakian, sementara hatinya berdegup kencang.

Aldi, yang biasanya ceria, kini juga terdiam, mulutnya sedikit terbuka seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Itu… itu kawah, kan?” suaranya serak, nadanya menunjukkan ketakutan yang mulai menjalari pikirannya.

Kayla, yang berada di belakang mereka, juga mulai panik. “Kita… kita nggak akan tertelan Semeru, kan?” tanyanya, suaranya bergetar penuh kecemasan.

Dia menggenggam ranselnya erat-erat, seolah berusaha melindungi dirinya dari kemungkinan yang menakutkan. Keringat mulai mengalir di pelipisnya, wajahnya terlihat pucat, dan kedua matanya melebar, memperlihatkan ketakutan yang mendalam.

Rangga, meskipun terlihat lebih tenang, juga merasakan kekhawatiran yang sama. Dia melangkah mendekati Rania dan Aldi, mencoba menenangkan mereka.

“Itu cuma gas dari kawah, nggak apa-apa. Tenang aja,” ujarnya, meski di dalam hatinya sendiri ada perasaan menciut yang tak bisa ia sembunyikan. Jantungnya berdegup kencang, tapi dia tahu, jika dia panik, yang lain juga akan semakin ketakutan.

“Aman, kok. Kita nggak terlalu dekat dengan kawah. Asap itu normal. Biasanya keluar kalau aktivitas vulkanik di kawah meningkat sedikit,” lanjutnya, mencoba menenangkan sambil memasang wajah setenang mungkin.

Namun, mata Rania masih terfokus pada asap tebal itu, dan napasnya semakin cepat. “Tapi… kalau ada apa-apa… kita bisa lari, kan?” tanya Rania, suaranya hampir berbisik, masih diliputi rasa cemas.

“Tenang, Kayla,” Rangga berusaha menenangkan Kayla, yang tampak semakin panik. “. Kita pasti aman.”

“Y-ya, kita harus tetap fokus. Kita pasti bisa melewati ini,” Aldi menambahkan, berusaha memberikan semangat pada Kayla yang kini bergetar.

Kayla mengangguk pelan, meski jelas ketakutannya belum sepenuhnya hilang. “Oke… tapi kita harus cepat-cepat pergi dari sini,” katanya, suaranya masih bergetar, namun dia berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat, mereka semua berusaha mengatur napas dan menenangkan diri. Meskipun rasa takut belum sepenuhnya hilang, Rangga berhasil membuat mereka fokus kembali pada tujuan mereka—menuju puncak.

Kawah Jonggring Saloko yang terlihat menakutkan itu kini menjadi latar belakang perjalanan mereka yang semakin berat. Asap putih itu masih terlihat dari kejauhan, namun langkah mereka tak berhenti. Dengan tekad yang kuat, mereka melanjutkan perjalanan meski rasa cemas masih mengintai di dalam hati masing-masing.

Langkah demi langkah, mereka terus berjalan, kali ini dengan lebih hati-hati. Angin yang bertiup kencang di batas vegetasi semakin menambah tantangan. Namun, mereka tahu bahwa puncak Mahameru semakin dekat, dan tidak ada yang ingin menyerah di tengah jalan.

--

Mereka terus berjalan, tapi tiba-tiba Rania berhenti, napasnya tersengal-sengal sambil memegangi lututnya. Keringat membasahi wajahnya, dan meskipun dia berusaha keras, jelas dia mulai kelelahan.

Aldi, yang ada di samping Rania, langsung memperhatikan. "Ran, lo kelihatan capek banget. Kita mendingan berhenti dulu," ucap Aldi, nadanya serius tapi tetap lembut.

Rania menggelengkan kepala, tetap berusaha berdiri tegak meski jelas tubuhnya mulai menyerah. "Nggak, Di. Gue bisa terus. Kita udah jauh banget, gue nggak mau berhenti sekarang."

Aldi nggak mau ambil risiko. "Lo udah terlalu capek. Mending kita balik ke Kalimati aja. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo."

Tapi Rania ngeyel, menatap Aldi tajam. "Nggak, Di! Gue bisa! Gue nggak mau balik. Gue harus sampai puncak, gue udah janji sama diri gue sendiri."

Dari belakang, kayla yang dengerin percakapan mereka mulai mendekat, mukanya kelihatan nggak sabaran. "Ran, ini bukan soal janji lo. Ini soal keselamatan. Lo udah capek banget. Jangan egois," ujarnya dengan nada dingin.

Rania menatap kayla dengan mata yang berkaca-kaca. "Gue nggak egois, kayla! Gue cuma nggak mau nyerah di tengah jalan. Lo nggak ngerti, gue harus buktikan kalo gue bisa."

Rangga menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi. "Ini bukan tentang buktiin diri lo. Lo nggak mau denger omongan kita, tapi kalo lo kenapa-kenapa, kita semua yang bakal susah."

rania sedikit tertegun dengan kalimat rangga.baru kali ini seorang rangga membentaknya

Aldi coba nenangin suasana. "Oke, santai. Kita nggak perlu ribut di sini."

Rania memalingkan wajahnya, suaranya bergetar saat ngomong, "Gue cuma pengen sampai puncak, Rangga. Gue udah latihan buat ini, gue udah siap. Gue nggak mau pulang tanpa nyampe ke sana."

Rangga diam sebentar, mencoba memahami perasaan Rania. Setelah beberapa detik, akhirnya dia ngomong dengan lebih lembut, "Oke, kalo lo tetep mau lanjut, gue izinin. Tapi lo harus janji, kalo lo udah nggak kuat lagi, lo ngomong. Kita nggak bisa maksa."

Rania mengangguk pelan, matanya masih penuh tekad. "Gue janji."

Dengan berat hati, akhirnya merka setuju. Aldi ngelirik Rania dengan wajah lega, meski tetap khawatir. Mereka pun melanjutkan perjalanan, langkah demi langkah, menuju puncak Mahameru yang menantang di depan mata.

~~

Langit MahameruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang