19| meninggalkan puncak

5 2 0
                                    

Saat mereka masih larut dalam momen haru di puncak, tiba-tiba beberapa pendaki lain mulai tiba. Tanpa berkata banyak, mereka langsung memeluk satu sama lain.

Tindakan ini bukan karena kesedihan, melainkan perasaan haru yang mendalam karena berhasil menaklukkan atap tertinggi Pulau Jawa. Rasa capek dan perjuangan panjang seolah terbayar lunas saat mereka merasakan angin puncak Mahameru menerpa wajah mereka.

“Selamat ya, Bro! Akhirnya sampai juga!” seru arga sambil memeluk salah satu seorang pendaki yang baru tiba.

Tak ada lagi perbedaan di antara mereka, meskipun tidak saling mengenal. Persaudaraan di puncak ini lebih kuat daripada sekadar obrolan singkat. Mereka saling mengucapkan selamat satu sama lain, wajah-wajah lelah namun bahagia tersenyum tulus.

Kebersamaan di puncak gunung menciptakan ikatan yang dalam, seolah mereka semua adalah keluarga yang baru saja melalui perjalanan panjang bersama.

Aldi, meskipun masih terasa pincang karena kakinya, tidak mau ketinggalan. Dengan antusias, ia mulai mengatur posisi foto.

"Ayo, sini-sini semua! Kita buat foto yang keren, biar semua kelihatan," katanya sambil tersenyum lebar. Teman-temannya tertawa melihat betapa seriusnya Aldi mengatur posisi, meskipun jelas ia masih kesakitan.

"Lo yang paling depan ya, Di," kata Rangga sambil menepuk pundaknya, membuat Aldi tertawa geli. "Biar keliatan paling semangat."

Dengan kamera yang siap, mereka semua berdiri rapat, berlatar belakang pemandangan luar biasa dari ketinggian puncak Mahameru.

Sebuah momen yang akan selalu mereka ingat, penuh tawa, air mata, dan rasa bangga yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saat kamera akhirnya mengabadikan momen itu, mereka tahu bahwa ikatan yang terjalin di puncak ini akan selamanya mereka kenangan mereka.

---

Setelah menikmati momen di puncak Mahameru, mereka menyadari bahwa perjalanan belum selesai. Meski hati mereka masih dipenuhi dengan rasa haru dan kebanggaan, saatnya untuk turun. Dengan perasaan campur aduk—lelah, lega, bahagia, dan sedikit cemas tentang perjalanan pulang—mereka mulai merapikan barang-barang, bersiap-siap meninggalkan puncak.

Langit yang tadinya cerah mulai berubah. Awan-awan tipis berkumpul di kejauhan, pertanda bahwa cuaca bisa saja berubah kapan saja.

“Kita harus segera turun sebelum awan ini berubah jadi badai,” kata Arga, dengan nada sedikit cemas namun tetap tenang. Yang lain mengangguk setuju.

Langkah-langkah pertama mereka menuruni puncak terasa jauh lebih ringan dibanding saat mendaki. Ada kelegaan yang meliputi mereka, seolah setiap beban mental yang sempat mereka rasakan sepanjang perjalanan kini menguap, digantikan oleh perasaan bahagia karena mereka berhasil menaklukkan puncak.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Aldi, dengan kakinya yang masih terasa sakit, terpaksa berjalan lebih lambat dari yang lain. Rangga dan Arga bergantian membantunya menuruni jalur terjal itu. Meski Aldi merasa berat hati, ia tidak bisa menolak bantuan teman-temannya. “Gue nggak mau jadi beban, serius deh,” katanya sambil tertawa kecil.

Kayla menepuk bahunya, “Nggak ada kata beban di antara kita. Kita semua udah janji buat nggak ninggalin siapa pun, ingat?”

Mereka terus berjalan menuruni kemiringan curam, sesekali berhenti untuk memastikan Aldi bisa beristirahat sejenak. Udara dingin perlahan menyusup di sela-sela pakaian mereka, tapi kali ini dinginnya tidak lagi terasa mengancam. Setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih ringan karena ikatan persahabatan yang semakin kuat.

“Gue nggak nyangka ya, turun gunung tuh juga butuh energi gede,” ujar Rania sambil tersenyum kecil. “Tapi gue lebih suka ini dibandingkan naiknya.”

“Jelaslah,” jawab Amara sambil tertawa kecil. “Naik itu bikin kaki gemetaran, kalau turun, paling cuma nyari cara biar nggak jatuh.”

Sambil bercanda dan saling menyemangati, mereka terus melangkah. Di beberapa titik, mereka berhenti sejenak untuk memandang pemandangan di bawah mereka—hamparan hutan, bukit-bukit yang jauh, dan garis awan yang tampak menyentuh tanah. Setiap momen terasa begitu berharga, meskipun tubuh mereka lelah.

Saat mereka semakin mendekati Kalimati, tempat mereka beristirahat sebelumnya, rasa lega mulai menyelimuti. Jalanan yang tadinya sangat menantang kini terasa lebih bisa diatasi. Mereka tertawa, bercanda, dan sesekali berhenti untuk berfoto, meski sebagian besar dari mereka hanya ingin segera sampai di bawah dan melepas lelah.

Ketika mereka akhirnya tiba di Kalimati, perasaan lega menyapu mereka. Mereka duduk bersama,Aldi, meski masih kesakitan, tampak lebih bersemangat. “Lo tau nggak? Walaupun kaki gue kayak gini, gue nggak nyesel sama sekali,” ujarnya sambil tertawa.

“Gue juga,” jawab Kayla,

“Ini pengalaman yang nggak bakal kita lupain. Susah, seneng, capek, semuanya bareng-bareng.”ujar arga








~~

Langit MahameruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang