" Stop Rania!" teriak Amara dengan suara yang penuh dengan emosi. "loo... udah tahu gue dan Arga sahabatan dari kecil! Tapi kenapa lo tega merebutnya?"Rania terdiam, merasa tubuhnya seakan membeku. "Amara... ini nggak seperti yang kamu pikir," jawabnya terbata-bata, mencoba menjelaskan.
Namun Amara tidak mendengarkan. Matanya penuh dengan air mata yang siap tumpah. "lo tahu perasaan gue ke Arga. lo tahu segalanya! Tapi tetap membiarkan ini terjadi. lo merebut dia, Rania!" tuduh Amara dengan penuh emosi.
Rania, yang selama ini selalu merasa kehadirannya hanya sebagai teman, kini merasa tersudut. Dia tahu Amara dan Arga sudah bersahabat sejak kecil, dan dia tak pernah berniat mengganggu persahabatan itu. Namun, situasi yang terjadi saat ini membuat segalanya terasa salah. Rania merasa seperti orang asing yang tiba-tiba menghancurkan hubungan yang sudah terjalin lama.
"Amara, gue nggak pernah berniat seperti itu," kata Rania dengan suara yang mulai gemetar. "gue nggak tahu kalau Arga akan..."
"Sudah cukup!" Amara memotong dengan nada tinggi, air matanya mulai mengalir deras. " nggak perlu ngomong apa-apa lagi. gue cuma nggak nyangka ran,lo bisa tega seperti ini."
Dengan langkah cepat dan hati yang hancur, Amara berbalik dan meninggalkan mereka berdua. Suara langkahnya terdengar menjauh di tengah keheningan malam, meninggalkan jejak kekecewaan yang mendalam.
Rania terdiam di tempatnya, masih merasakan dinginnya malam yang semakin menusuk. Matanya mulai memanas, dan tanpa bisa ditahan lagi, air mata pun jatuh membasahi pipinya. Hatinya terasa hancur. Dia tak pernah berniat merusak persahabatan Amara dan Arga, namun kini dia merasa seperti beban yang justru menghancurkan semuanya.
Arga, yang sejak tadi hanya diam, menatap Rania dengan rasa bersalah. "Rania, aku nggak mau ini terjadi... Aku cuma ingin jujur soal perasaan selama ini," ucapnya pelan, mencoba meredakan ketegangan yang telah terjadi.
Namun, Rania hanya menggeleng, air matanya masih terus mengalir. "aku ... cuma ingin semua ini baik-baik saja," jawabnya lirih.
"Tapi sekarang... aku sudah menghancurkan semuanya. Kehadiranku di sini cuma bikin semua jadi rumit."
Rania tak bisa menahan tangisnya lagi. Dia merasa seolah-olah kehadirannya hanyalah sebuah beban yang mengacaukan persahabatan dan perasaan di antara mereka semua. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berdiri dan pergi menjauh dari Arga, meninggalkan pria itu sendirian di tengah gelapnya malam.
--
Saat Rania beranjak pergi, meninggalkan Arga yang masih duduk diam, perasaan frustasi mulai melanda hati Arga. Dia tidak pernah menyangka bahwa Amara, sahabatnya sejak kecil, menyimpan perasaan padanya selama ini. Semua terasa begitu membingungkan. Arga merasa hancur karena niatnya untuk jujur justru membuat situasi semakin kacau.
Sambil memandang ke arah Rania yang menjauh, pikirannya terus berputar, mengingat semua momen bersama Amara. Sahabat yang selalu ada di sampingnya, namun dia tak pernah melihat lebih dari sekadar teman. Sekarang, semuanya berubah dalam sekejap, dan Arga tak tahu bagaimana harus memperbaikinya. Dia merasa bersalah, bukan hanya pada Rania, tapi juga pada Amara. Dia benar-benar tidak tahu perasaan Amara selama ini.
"Kenapa semuanya jadi begini?" gumam Arga pada dirinya sendiri. Tangannya meremas rambutnya dengan frustasi, menunduk dalam kegelapan malam yang terasa semakin berat.
Di tempat lain, Rania yang terus berjalan menjauh dari perkemahan akhirnya berhenti di sebuah sudut yang sepi. Tubuhnya gemetar, baik karena udara malam yang dingin maupun karena emosinya yang bergejolak. Tangisnya pecah lagi, dan dia menutupi wajahnya dengan tangan, mencoba menahan perasaan bersalah yang semakin dalam. Dia tak bisa berhenti berpikir bahwa kehadirannya hanya menghancurkan segalanya, membuat persahabatan yang indah menjadi hancur berantakan.
Saat dia tenggelam dalam perasaannya, tiba-tiba Rangga muncul dari balik bayangan pepohonan. Tanpa banyak bicara, Rangga mendekat dan menatap Rania dengan wajah tenang namun penuh perhatian.
"Kalau kamu mau nangis, nggak apa-apa. Nangis aja di sini," ucap Rangga dengan suara yang dalam namun lembut. Ia membuka lengannya, memberikan ruang bagi Rania untuk mendekat.
Rania menatap Rangga dengan air mata yang masih mengalir di pipinya, terkejut dengan sikap Rangga yang tiba-tiba begitu terbuka.
Tanpa banyak kata, dia merasa dorongan kuat untuk menerima pelukan itu, dan akhirnya dia terisak di bahu Rangga. Tangisnya semakin pecah saat Rangga melingkarkan tangannya dengan kuat di sekitar tubuh Rania, memberikan rasa nyaman yang sudah lama tak dia rasakan.
Rangga, meskipun dingin dan jarang menunjukkan perasaan, tetap berdiri kokoh sambil memeluk Rania. Ia tidak banyak berkata-kata, hanya membiarkan Rania menangis sepuasnya. Rangga tahu, dalam momen seperti ini, kata-kata tak akan cukup. Kehadirannya sudah lebih dari cukup untuk memberikan kekuatan bagi Rania.
Sementara itu, Kayla dan Aldi yang berada tak jauh dari mereka menyaksikan semuanya dari kejauhan. Mereka saling bertukar pandang dengan wajah bingung, tak tahu harus berkata apa atau berbuat apa dalam situasi yang semakin rumit ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi sih?" tanya Kayla dengan suara pelan, merasa bingung melihat perubahan suasana di antara mereka.
Aldi menggelengkan kepala, juga tak paham sepenuhnya. "gue juga nggak tahu, Kay. Tapi ini semua kayaknya lebih besar dari yang kita kira."
Kayla menggigit bibirnya, merasa cemas. "Aku nggak pernah lihat Amara kayak gitu sebelumnya. Dan sekarang, Rania... semuanya terasa kacau."
Aldi hanya bisa menghela napas. "Iya, bener. Semoga mereka semua bisa nyelesain masalah ini sebelum semuanya benar-benar hancur."
--
rania perlahan melepaskan pelukan rangga dan duduk memeluk lututnya.ranggapun mengikuti rania duduk di sampingnya
"Rangga, gue... nggak pernah bermaksud untuk merusak apa yang ada di antara Amara dan Arga. gue nggak tahu kalau amara ternyata mengimpan rasa ke arga ," suaranya terdengar pelan, seolah-olah setiap kata terasa berat untuk diucapkan.
Rangga tetap tenang, menatap lembut ke arah Rania. "kamu nggak salah, Ran. Terkadang perasaan datang tanpa kita bisa kontrol, dan itu bukan sesuatu yang bisa kamu salahkan." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih lembut, "Kalau kamu mau nangis lagi, aku di sini. Jangan tahan semuanya sendiri."
Tanpa pikir panjang, Rania membiarkan air matanya jatuh lagi. Rangga, yang selama ini dikenal dingin, tanpa ragu merengkuh Rania ke dalam pelukannya. Tangis Rania pecah, tetapi di dalam pelukan Rangga, ada rasa aman yang dia temukan. Meskipun situasinya masih rumit, setidaknya dia tahu ada seseorang yang peduli padanya di sini.
~'
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Mahameru
Teen Fictionenam sahabat memutuskan untuk melakukan pendakian menuju puncak Mahameru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Masing-masing dari mereka memiliki alasan yang berbeda untuk mengambil langkah berani ini. Dalam perjalanan menuju puncak, mereka tidak hanya m...