22| warung bambu

4 1 0
                                    

Mobil mulai bergerak perlahan, meninggalkan basecamp ranu pane. Jalan berkelok, diapit pepohonan yang tinggi dan lebat, seolah ikut memberi salam perpisahan. Cahaya matahari terik matahari, menciptakan suasana damai yang kontras dengan lelah yang menyelimuti mereka semua. Suara roda mobil yang melintasi jalanan berbatu menjadi latar musik perjalanan pulang mereka.

Posisi duduk mereka sudah beda dari saat berangkat. Arga masih mengemudi di depan, dan kali ini ditemani Rangga yang duduk di kursi sampingnya, memandangi pemandangan luar dengan tatapan tenang.

Di kursi belakang, Rania terlihat lelah, matanya setengah tertutup, kepalanya bersandar di bahu Kayla yang dengan lembut mengusap kepalanya, memberi sedikit kenyamanan. Amara duduk di dekat jendela, menatap keluar sambil tersenyum, menikmati angin segar yang masuk lewat jendela yang sedikit terbuka.

"Capek parah, tapi gila, puas banget akhirnya bisa sampai puncak," Aldi berkomentar, menghela napas sambil tersenyum kecil.

"Lo masih berasa euforia-nya, ya, Di?" Rangga tertawa sambil melirik ke belakang.

Kayla mengangguk setuju, lalu menambahkan, "Iya sih, tapi gue nggak kebayang harus naik lagi dalam waktu dekat. Kaki udah cukup dipaksa maksimal."

Semua tertawa pelan, menghilangkan sisa-sisa kelelahan. Rania membuka matanya sedikit dan tersenyum lemah. "Kalau ada kesempatan lagi, gue masih mau balik ke sana," gumamnya pelan. Kayla dan Amara menatapnya sambil tersenyum. Mereka semua paham betapa kerasnya perjuangan yang udah Rania lewati buat bisa sampai puncak.

Rangga menoleh ke belakang dan berkata, "Udahlah, jangan ngomongin gunung dulu. Kita baru aja turun, nih." Sekali lagi tawa kecil terdengar di dalam mobil, diselingi beberapa gumaman setuju dari yang lain.

Mobil terus melaju, melewati jalanan berbatu dan berkelok. Setiap guncangan mengingatkan mereka pada jalur-jalur terjal yang barusan mereka lewati. Di antara suara mesin mobil dan kicauan burung yang mulai terdengar, masing-masing tenggelam dalam pikiran, menikmati kebersamaan dan kenangan perjalanan ini.

Kayla tetap setia mengusap kepala Rania, yang akhirnya tertidur dengan wajah damai.

---

Saat hari semakin sore, Arga menghentikan mobilnya di sebuah warung bambu kecil di pinggir jalan hutan. Matahari mulai turun, mengintip di balik pepohonan yang rimbun dan menambah suasana damai di sekitar mereka. Hutan tampak hijau dan menyejukkan, memberikan ketenangan setelah petualangan panjang mereka. Dengan langkah sedikit gontai, mereka masuk ke dalam warung, memilih duduk di meja kayu yang tampak hangat dan sederhana.

Masing-masing memesan makanan dan secangkir teh hangat. Keheningan sementara menyelimuti mereka saat menyeruput minuman yang mengepul di cangkir. Kehangatan teh terasa luar biasa di tenggorokan, mengusir lelah yang menumpuk di tubuh.

"Akhirnya,bisa makan dan minum minuman panas juga," Aldi berkata sambil mengangkat cangkirnya, menarik senyum dari teman-temannya yang lain.

"Lo kayak udah kering kerontang aja, Di," kata Rangga sambil tersenyum.

"Gimana nggak, semua energi gue rasanya udah kebakar di gunung tadi," Aldi membalas sambil tertawa ringan.

Sambil menikmati makanan, mereka mulai mengobrol santai, mencoba mengembalikan energi dengan cerita-cerita lucu tentang kehidupan di sekolah. Suasana yang awalnya hening berubah riuh dengan tawa mereka.

Amara membuka cerita sambil menatap ke arah yang lain, "Eh, lo semua masih inget nggak sih sama Bagas di sekolah? Yang sok preman abis kalo udah nongkrong di depan gerbang?"

Kayla langsung tertawa, "Iya, yang setiap masuk kelas kakinya harus ditendangin ke pintu dulu biar keliatan keren."

Aldi mendekatkan wajahnya ke mereka, lalu dengan nada penuh rahasia berbisik, "Eh, kalian pada nggak tau aja. Gue pernah ngeliat celana dalamnya…  gambar Hello Kitty!"

Reaksi teman-temannya langsung beragam. Arga melongo, sedangkan yang lain tertawa terpingkal-pingkal.

Rania sampai memegangi perutnya, "Serius lo? Bagas yang sok garang itu celana dalamnya Hello Kitty? Astaga, kebayang nggak kalo dia tau lo nyebar rahasia ini, Di!"

"Fix, lo udah jadi saksi terbesar rahasianya si Bagas!" kata Arga sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kayla menambahkan sambil menahan tawa, "Jadi beneran nggak ada yang sesuai sama penampilannya dong ya!"

Obrolan mereka makin seru. Aldi masih setengah tertawa, lalu mencoba menenangkan diri sambil berkata, "Ya mau gimana lagi, kan gue harus menjaga citra anak preman yang Hello Kitty ini."

Suasana hangat di warung kecil itu makin hidup dengan cerita-cerita kocak tentang Bagas, teman-teman sekelas, dan semua kenangan mereka di sekolah. Rasanya momen ini jadi pengingat bahwa meski mereka baru saja menjalani perjalanan berat, persahabatan dan candaan sederhana inilah yang membuat segalanya terasa lebih ringan.

Mereka terus mengobrol hingga akhirnya makanan dan  teh dalam cangkir habis dan sore semakin beranjak malam. Sebelum melanjutkan perjalanan, rania mengumpulkan semua temannya untuk mengabadikan momen ini. Mereka berdiri di depan warung dengan latar pepohonan hutan, tersenyum lebar dan bahagia.

“Ini buat kenangan, ya! Biar kalo suatu hari nanti kita ketemu di tempat kayak gini lagi, kita inget cerita-cerita konyol kita,” ujar rania sambil mengatur posisi kamera.

Selesai berfoto, mereka kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan pulang dengan perasaan yang jauh lebih lega dan penuh tawa. Mobil bergerak pelan meninggalkan warung, membawa mereka keluar dari hutan dengan kenangan yang semakin dalam tertanam di hati.

Selama perjalanan pulang, hampir semua dari mereka tampak lelah dan tertidur di kursi masing-masing. Aldi bahkan terlihat sesekali mengigau pelan, membuat Amara dan Kayla tersenyum simpul sebelum akhirnya mereka sendiri terlelap. Suasana dalam mobil terasa tenang, hanya terdengar dengkuran pelan dan hembusan napas tertidur teman-temannya.

Namun, di antara semua itu, Rania masih terjaga. Ia duduk diam, pandangannya terpaku ke jalanan yang semakin gelap di luar jendela. Pikirannya melayang-layang, memikirkan bagaimana nanti jika sampai di rumah. Ia merasa sedikit khawatir akan reaksi ayahnya yang mungkin akan memarahinya karena mendaki tanpa persetujuanya. Setiap bayangan itu membuatnya sedikit gelisah, namun ada juga perasaan lega karena petualangan mereka akhirnya selesai dengan selamat.

Di kursi depan, Rangga yang duduk di sebelah Arga juga memilih untuk tetap terjaga. Ia tahu Arga sudah cukup lelah setelah perjalanan panjang ini, jadi ia memutuskan untuk menemani, sekadar berbincang ringan agar Arga tidak terlalu mengantuk.

"Masih kuat, Ga?" Rangga bertanya sambil menatap sahabatnya yang fokus pada jalanan.

Arga mengangguk sambil tersenyum kecil. "Santai aja, Gue masih kuat kok. Lagi pula, pemandangan malem kayak gini bikin seger juga."

Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana hening yang sesekali dipecahkan oleh suara alam malam dari luar. Setelah beberapa menit, arga mulai berbicara lagi. "Gue heran, Rania kok belum tidur juga ya? Bukannya tadi dia udah kelihatan capek banget?"

rangga menoleh sekilas ke kaca spion, memperhatikan Rania yang masih terjaga. "Mungkin dia lagi kepikiran sesuatu."

"iya sih, Mungkin dia khawatir dimarahin bokapnya."ucap arga
"Ah, semoga nanti semuanya baik-baik aja," lanjut Arga pelan, kembali fokus pada kemudi.

Rania sempat mendengar obrolan mereka dan tersenyum tipis. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran, mendengar percakapan ringan mereka cukup membuat hatinya tenang. Mereka bertiga terus terjaga dalam perjalanan pulang itu, menjaga mobil tetap stabil di jalan yang gelap, sembari memastikan bahwa persahabatan mereka tidak hanya terjalin di puncak, tapi juga di setiap perjalanan yang mereka lalui bersama.



~~

Langit MahameruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang