20| mie instan rasa soto

8 2 0
                                    

di Kalimati, saat sedang beristirahat . Tubuh mereka yang lelah butuh energi tambahan, dan perut yang kosong sudah tak sabar diisi.

Kayla dengan sigap mulai menyiapkan kompor portabel mereka."Mi instan kuah rasa soto pasti enak banget di cuaca dingin gini," katanya sambil tersenyum kecil.

Rania dan Amara membantu mengambil air, sementara Aldi dan Rangga duduk sambil memijat kaki mereka yang terasa pegal.

Tak butuh waktu lama, aroma mi soto yang menguar memenuhi udara, membuat mereka semakin lapar. Asap dari panci kecil yang digunakan untuk memasak mengepul di udara dingin Kalimati, seakan menjadi undangan hangat untuk perut-perut yang kosong. Ketika akhirnya mi matang, mereka semua berkumpul, duduk melingkar, dan menyantapnya dengan penuh kenikmatan.

"Enak banget, serius. Apa karena gue laper atau emang ini mi terenak yang pernah gue makan?" ujar Aldi sambil tertawa kecil, masih berjuang dengan kakinya yang sedikit pincang.

"Kayaknya dua-duanya," jawab arga, tertawa sambil menyeruput kuah hangat.

Sambil beristirahat, mereka menikmati kehangatan dari semangkuk mi yang sederhana, namun terasa seperti hidangan terbaik setelah perjalanan panjang mereka. Suasana begitu damai. Mereka saling berbagi cerita, tentang momen-momen yang paling mengesankan selama pendakian tadi, sambil sesekali tertawa kecil di antara suapan mi.

Setelah selesai makan, mereka berbaring sejenak, menatap langit Kalimati yang gelap namun tenang. Rasa lelah mulai berkurang, meskipun perjalanan belum sepenuhnya selesai. Namun, dengan mi hangat dan persahabatan yang semakin erat, mereka merasa lebih siap untuk melanjutkan perjalanan. Perasaan kebersamaan inilah yang memberi mereka kekuatan untuk menghadapi apapun yang akan datang.

"Yuk, kita istirahat dulu  sebelum lanjut turun," kata Arga, membuyarkan keheningan. Mereka semua setuju, dan dalam hati, mereka tahu bahwa pengalaman ini akan selalu menjadi kenangan indah yang tidak akan terlupakan.

---

Setelah mereka selesai makan dan beristirahat sejenak, suasana semakin nyaman di Kalimati. Udara malam di kaki Mahameru terasa segar, meskipun sedikit dingin. Rania merebahkan tubuhnya di atas matras, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Sesekali, suara angin yang berhembus membawa aroma dedaunan dan pepohonan hutan, menciptakan suasana tenang setelah perjalanan panjang dan penuh emosi.

Amara duduk di sebelah Rania, mengusap sisa-sisa kuah mi dari bibirnya sambil menatap ke depan, mengingat kembali perjalanan mereka. "Gue nggak nyangka kita akhirnya sampai puncak," gumam Amara, lebih pada dirinya sendiri, namun Rania mendengar dan tersenyum kecil.

"Ya, gue juga nggak nyangka," jawab Rania dengan nada lirih. "Semua hal yang kita lalui... rasanya surreal banget. Tapi akhirnya, kita bisa sampai juga."

Aldi, yang duduk bersandar di tenda, menatap kaki yang tadi sempat pincang, merasa bangga pada dirinya sendiri dan teman-temannya. "Gue pikir gue bakal nyerah tadi, beneran deh. Tapi kalian nggak ninggalin gue. Itu yang bikin gue kuat buat terus jalan," katanya, suaranya terdengar pelan tapi penuh kehangatan. Teman-temannya hanya tersenyum, membiarkan momen keheningan penuh rasa syukur menyelimuti mereka.

Kayla, yang sudah selesai menata barang-barang dan memastikan semua siap untuk perjalanan turun, menoleh ke teman-temannya yang tampak rileks. "Setelah semua ini, gue rasa kita harus bikin janji lagi. Persahabatan kita nggak boleh berhenti di sini. Ini bukan cuma soal naik gunung, ini soal kita, bareng-bareng melewati apa pun," katanya, dengan semangat yang terpancar dari matanya.

Mereka semua setuju, meski tak perlu diucapkan dengan kata-kata. Persahabatan yang telah diuji oleh alam, lelah, emosi, dan rasa sakit, kini terasa lebih kuat dari sebelumnya.

Setelah beristirahat cukup lama, Arga mengajak mereka bersiap untuk turun. "Yuk, kita siap-siap. Jangan terlalu lama di sini, nanti makin dingin dan berat buat jalan turun."

Mereka pun mulai membereskan tenda, mengemas barang-barang, dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Kali ini, meskipun tubuh mereka terasa lelah, semangat dan keceriaan mengisi langkah-langkah mereka. Perjalanan turun memang tidak seberat mendaki, tapi tetap membutuhkan fokus dan tenaga.

Dalam perjalanan turun, canda tawa kembali menghiasi langkah mereka. Meski kaki mulai terasa berat, hati mereka penuh rasa syukur dan kepuasan. Rania sesekali melirik ke arah Amara dan Kayla, merasa lega bahwa semua konflik dan rasa canggung di antara mereka kini telah terselesaikan.

Ketika akhirnya mereka mulai mendekati pos pemberhentian di Ranu Pane, pemandangan danau yang indah seolah menyambut mereka. Matahari sudah mulai terbit, memberi mereka pemandangan yang begitu menenangkan setelah perjalanan yang panjang dan penuh tantangan.

Mereka berhenti sejenak, menikmati pemandangan, lalu tanpa disadari, rania mengeluarkan kamera. "Ayo, kita foto di sini sebelum turun sepenuhnya. Biar ada kenang-kenangan yang abadi."

Mereka pun kembali berpose, kali ini dengan senyum lebih lebar dan rasa bahagia yang terpancar dari wajah mereka. Setelah berfoto, mereka saling memandang, tahu bahwa pengalaman ini akan selalu terpatri dalam ingatan mereka sebagai salah satu momen terindah dalam hidup mereka.

Dengan langkah ringan, mereka pun melanjutkan perjalanan untuk turun.








~~

Langit MahameruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang