Dandelion

37 4 0
                                    

—Halaman ini dipublikasikan pada tanggal 2024年10月28日

Langit menggelap, purnama telah menggantung sempurna di langit. Lentera kuning hangat menyala-nyala di sepanjang lorong istana. Udara dingin berhembus, kepingan salju turun dengan anggun, menggumpal di atas tanah.

Trangg! Trangg!

Samar-samar suara pedang beradu terdengar, sang Permaisuri yang berniat hati menemui putra bungsunya menghentikan langkah, melihat Yanxi tengah berlatih bersama Jenderal kebanggaan Dinasti Tang. Raut wajahnya penuh keseriusan, gerakan pedang yang tak pernah dipelajarinya terlihat luwes. Entah sejauh mana Li Qianwu berhasil menuntunnya, hati seorang ibu tetap teriris setiap mengingat dunia yang selalu menuntut lebih kepada anaknya.

"Permaisuri..."

Permaisuri Meiling menoleh, menemukan sosok Jiang Zhenwei membungkuk memberi penghormatan. Sang Permaisuri mengangguk, menyuruh pemuda itu untuk kembali berdiri tegap.

"Ada apa di malam dingin begini Permaisuri repot jauh-jauh datang kemari?" tanya Zhenwei sembari mengulas senyuman tipis. "Permaisuri ingin menemui Putra Mahkota?" Zhenwei bertanya lagi, begitu menyadari arah pandang sang Permaisuri yang menatap sendu putranya di tengah lapangan.

Permaisuri Meiling menoleh sembari mengangguk kecil. "Niat hati begitu, tapi aku tak ingin menganggunya," balasnya.

"Tidak perlu sungkan, saya bis-"

Permaisuri Meiling mengangkat tangan, menghentikan ucapan Zhenwei seketika. "Tidak perlu, aku akan menunggu saja disini."

Zhenwei menggaruk tengkuknya tidak gatal, merasa tidak enak. "Kalau begitu, bagaimana jika Permaisuri menunggunya di pondokan? Biar saya temani, jika Permaisuri mengizinkan."

"Sesi berlatih Pangeran cukup lama, mungkin akan selesai setengah jam lagi," tambahnya untuk membujuk Permaisuri Meiling.

Wanita itu menatap sebentar putranya sebelum mengangguk, menerima tawaran dari tangan kanan sang Jenderal. Zhenwei tersenyum lega atas sambutan niat baiknya, "Mari, Permaisuri."

Di pondokan, Permaisuri Meiling mendudukkan diri di kursi berbahan kayu dengan bantalan empuk yang tersedia, sementara Zhenwei menuangkan teh hangat untuknya. "Malam ini sudah memasuki musim dingin, Permaisuri jangan sampai jatuh sakit."

Wanita itu tersenyum jenaka. "Terimakasih untuk perhatianmu, Zhenwei," ucapnya tulus, memandang pemuda itu penuh kenangan. Sudah lama sekali tak berbicara dengan tangan sang kanan Jenderal, padahal dulu mereka lumayan akrab, mengingat beberapa anggota keluarga Jiang juga melayani keluarga bangsawan Liu. "Bagaimana kabarmu?"

"Saya baik, Permaisuri, terimakasih sudah bertanya." Zhenwei tersenyum sopan. "Bagaimana dengan kabar Yang Mulia sendiri?"

Sang Permaisuri tersenyum kecut. "Tidak terlalu baik," balasnya lirih, hampir ditelan angin.

Jiang Zhenwei tak bodoh untuk tidak memahami kemana arah pembicaraan ini, pemuda itu memutuskan tak bertanya lebih lanjut. Kejadian hari ini ada baiknya tak dibicarakan lagi, selain menjaga rahasia keluarga kerajaan, menjaga hati dari lara.

"Saya akan berdoa demi kebahagiaan Permaisuri jikalau begitu." Pemuda itu membalas seadanya, tak mendapati pilihan kalimat yang tepat.

Permaisuri Meiling menyesap teh yang dihidangkan pemuda Jiang, netranya menatap lurus ke lapangan, meniti setiap gerakan Yanxi. Gerakannya berbeda, jauh berbeda dari Yuanxi yang kuat, putra bungsunya mengandalkan kelenturan tubuh. Gerakannya mengalir lembut seperti air sungai dari hulu sampai ke hilir. Memiliki keanggunan yang tak dimiliki kakaknya yang cukup keras.

The Moon Falls For The Sun [KUNYANG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang