—Halaman ini dipublikasikan pada tanggal 2024年10月30日
Jianyu hampir tak pernah pergi menemui Pangeran Weiyang, selain hubungan mereka yang dingin, kemarahan di masa lalu menjadi dasar jarak terbentang diantara mereka. Semakin hari semakin jauh, Jianyu baru menyadari kerusakan hubungannya dengan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa.
Dahulu ayahnya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri—yang sekarang digantikan Weiyang. Nahas nasib menimpa di perjalanan dinasnya menuju benua sebelah yang kala itu ditemani sang ibu berakhir tragis. Dua tahun menghilang tanpa kabar, sampai kabar bagai angin berhembus ke Dinasti Tang. Kapal yang membawa orang tuanya ke daratan Eropa dirampok oleh perompak, penumpangnya dibantai habis, harta dirampas, kapal dibiarkan mengambang di laut lepas begitu saja. Dibiarkan mengikuti kemana arah angin dan ombak membawanya, mengantar jiwa-jiwa malang menuju tempat peristirahatan terakhir.
Li Weiyang yang tertua harus berusaha lebih keras untuk bertahan hidup bersama sang adik di istana. Setiap harinya diisi membaca berbagai buku, belajar tanpa henti demi ambisi menduduki jabatan tinggi, harapannya kelak agar tak dibuang, tak goyah, dan mampu menghadapi persaingan keji antar bangsawan di istana.
Kehidupan di istana tidak pernah mudah bagi penghuninya, lengah sedikit kau bisa lengser, bahkan lenyap.
Weiyang terpaut empat tahun lebih tua dari Jianyu, tetapi berhasil mendapat kursi kementrian di usia ya tergolong belia. Delapan belas tahun angka yang terlalu dini, para pejabat meragukan kemampuan kakaknya, memberi tes kelayakan sebanyak tiga kali, dibalas nilai sempurna berturut-turut oleh Weiyang. Semua sepadan dengan hubungan persaudaraan yang harus menjadi harga atas keberhasilannya.
Kakaknya hampir tak punya waktu untuk menemuinya, berbicara pun tidak, hanya sesekali bertegur sapa. Hari-harinya dihabiskan untuk mengurung diri di paviliun bersama tumpukan buku yang tidak ada habisnya. Jianyu yang kesepian tumbuh di bawah asuhan pamannya, Li Qianwu, bersama Yuanxi dan rahasia kecilnya—Yanxi.
Pagi dimana udara masih bersih, bau embun segar tercium, Weiyang biasanya akan duduk di pondokan taman istana. Membaca buku dengan ditemani teh hijau herbal dan makanan ringan. Jianyu sedikit tahu sebab sering berjumpa saat akan pergi berlatih dengan Yuanxi dulunya.
Derap langkah kaki samar terdengar, bersama dengan derit kayu yang usianya puluhan tahun lebih tua darinya. Pangeran Weiyang melirik sekilas sebelum benar-benar menolehkan kepala, menyadari siapa sosok yang tiba-tiba datang menghampiri. Jianyu tanpa ekspresi berarti menarik kursi di sebrang sang Pangeran, berpura-pura tidak menyadari tatapan aneh kakaknya.
"Jianyu..."
"Aku baru sadar kalau kau memang duplikat ayah sekali." Jianyu berceletuk, sementara matanya berkelana menatap danau yang tenang di pagi hari. Menghindari tatapan yang lebih tua. "Pagi-pagi duduk di pondokan sembari membaca buku, siang nanti menghabiskan waktu untuk rapat, sebelum tidur pasti kembali membaca buku."
Jianyu tiba-tiba tertawa pelan. "Ibu sampai cemburu, pernah berniat membakar perpustakaan ayah karenanya. Beruntung tidak sampai hati." Dia menoleh pada Pangeran Weiyang yang masih terdiam kaku.
Kenangan lama diungkit, membawa kembali rasa rindu yang tak akan pernah terbayarkan.
"Apa menurutmu ayah akan menyesal menghabiskan banyak waktunya bersama buku daripada ibu?" Jianyu bertanya entah pada siapa, tetapi suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, sama sekali tidak membuat tersinggung.
Pangeran Weiyang menutup bukunya, menaruh benda tersebut perlahan sembari mengukir senyuman tipis. Tak pernah dia dengar Jianyu berbicara selembut ini, angin mungkin tak sampai hati menganggu, memilih tak berhembus selain menghantarkan semilir sejuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon Falls For The Sun [KUNYANG]
Fanfiction"Aku bersumpah akan mencintaimu di seluruh kehidupanku, Pangeran." "Maka jiwa dan ragaku hanya akan menjadi milikmu, Jenderal." ©Greysuns