12. Tahta di Balik Bayangan

19 2 0
                                    

Benteng utama Duke Arthen menjulang megah di tengah hamparan perbukitan utara, dikelilingi tembok-tembok batu hitam yang tebal. Tempat itu ibarat seekor binatang buas yang bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk menerkam mangsanya. Puncak menara benteng menyentuh langit yang gelap, seolah menantang siapa pun yang berani datang. Di bawah cahaya bulan pucat, penjaga-penjaga yang bersenjata lengkap tampak berdiri di sepanjang dinding, mata mereka awas mengawasi sekeliling.

Dan di ruang tahta yang luas, Duke Arthen duduk di atas singgasananya, mengenakan jubah kebesaran berwarna ungu gelap dengan lambang keluarganya yang berkilau di dada. Matanya yang tajam menatap lingkaran sihir besar yang baru saja menyala di lantai ruangan itu. Saat cahaya biru menyilaukan mereda, dua sosok muncul di tengah lingkaran—Vincent Alaric dan Silas.

“Akhirnya kau datang, Vincent Alaric,” kata Duke Arthen, suaranya dalam dan penuh ejekan. “Kau tidak berubah sama sekali sejak terakhir kita bertemu.”

Vincent menatap Duke Arthen dengan ekspresi dingin, tatapan matanya menusuk seperti belati yang terhunus. “Ini pertama kalinya kita bertemu, Arthen. Jangan mencoba bersikap akrab.”

Duke Arthen tersenyum tipis, senyumnya penuh tipu muslihat. “Oh, kau benar. Kau memang berbeda dari Alaric yang sebelumnya. Tapi sikap sombongmu tidak berubah sedikit pun.”

Vincent tidak menanggapi ejekan itu. Ia melangkah maju, mengabaikan para penjaga yang langsung mengangkat senjata mereka, siap menyerang kapan saja. Silas berdiri di belakangnya, matanya menyapu ruangan, memeriksa setiap sudut untuk kemungkinan jebakan.

“Aku tahu kau akan datang, Vincent,” lanjut Duke Arthen dengan nada puas. “Aku telah menunggu momen ini selama bertahun-tahun. Sejak ayahmu mencoba mengkhianatiku dan kau mewarisi gelarnya, aku tahu satu hari nanti kau akan datang. Aku hanya perlu memastikan bahwa aku sudah siap menyambutmu.”

“Dan kau pikir aku datang tanpa rencana?” balas Vincent, suaranya tenang namun penuh ancaman. “Kau terlalu percaya diri, Arthen. Itu kelemahanmu.”

Arthen tertawa kecil, suaranya bergema di ruangan yang besar itu. “Rencana? Kau datang sendirian ke dalam sarang musuh, membawa seorang pengawal yang setia. Itu bukan rencana, Vincent. Itu bunuh diri.”

“Jangan terlalu yakin,” potong Vincent. “Apa kau pikir aku akan datang tanpa memastikan bahwa setiap langkah yang kubuat sudah dipertimbangkan?”

Arthen menyipitkan matanya, ketidaknyamanan mulai tampak di wajahnya. “Apa maksudmu?”

Vincent tersenyum tipis, tatapannya penuh kebencian. “Aku tahu jalur rahasia ini bukanlah rahasia. Kau sudah mengawasi pergerakanku sejak awal. Itu sebabnya aku membiarkanmu berpikir bahwa kau yang mengendalikan permainan ini.”

Sebuah desahan gelisah terdengar di antara para penjaga di sekitar ruangan, dan Duke Arthen bangkit dari kursinya, wajahnya kini menunjukkan ekspresi serius.

“Kau berbicara omong kosong, Vincent.”

“Omong kosong, ya?” Vincent mengangkat tangan kanannya, menunjukkan sebuah cincin perak kecil yang terpasang di jari manisnya. “Kau tahu apa ini?”

Arthen menatap cincin itu dengan tajam. “Itu… itu hanya cincin.”

“Tidak. Ini adalah pemicu,” jawab Vincent dengan dingin. “Pemicu untuk bahan peledak yang sudah kutanam di seluruh fondasi bentengmu ini.”

Ruangan itu langsung sunyi. Para penjaga menoleh, bingung, dan Arthen menatap Vincent dengan kaget. “Bahan peledak? Apa yang kau—?”

“Kau terlalu sibuk mengikuti pergerakanku, Arthen, sehingga kau tidak menyadari pergerakan anak buahku yang sebenarnya. Sejak berbulan-bulan yang lalu, mereka sudah menyusup ke bentengmu, memasang bahan peledak di titik-titik utama di bawah benteng ini. Satu gerakan kecil dariku, dan tempat ini akan runtuh menjadi debu.”

“Pembohong!” seru salah satu penjaga, menghunus pedangnya ke arah Vincent.

“Diam,” bentak Arthen, wajahnya kini memucat. Ia menatap cincin itu dengan mata terbelalak. “Kau berbohong… Kau tidak akan menghancurkan seluruh benteng ini. Kau sendiri ada di sini!”

“Kau pikir aku takut mati, Arthen?” Vincent menatap Duke itu dengan tatapan beku. “Aku datang ke sini untuk menyelesaikan semua ini. Jika itu berarti aku harus mati bersamamu, maka biarlah. Tapi aku tahu satu hal—kau akan berakhir di neraka sebelum aku mengikutimu.”

Duke Arthen terdiam, rahangnya mengeras. Ia tahu Vincent tidak sedang bercanda. Tatapan di mata pemuda itu—tekad membara yang tidak bisa digoyahkan—membuatnya merasa gentar untuk pertama kalinya.

“Kau… kau benar-benar gila,” desis Arthen.

“Gila?” Vincent tersenyum tipis. “Tidak. Aku hanya tidak punya rasa takut. Itu perbedaan yang tidak pernah bisa kau mengerti.”

Sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan. Para penjaga tampak gelisah, tidak berani bergerak. Mereka menunggu perintah dari Duke mereka, tetapi Arthen masih terdiam, pikirannya berputar dengan kecepatan luar biasa, mencoba menemukan cara untuk mengatasi situasi ini.

“Jadi, apa yang kau inginkan, Vincent?” tanya Arthen akhirnya, suaranya penuh amarah yang ditahan.

“Penyerahan tanpa syarat,” jawab Vincent tanpa ragu. “Kau menyerah, menyerahkan seluruh pasukanmu, dan mengakui kekalahanmu di depan semua orang. Jika kau melakukannya, aku akan mempertimbangkan untuk tidak menghancurkan benteng ini.”

“Menyerah? Aku, Duke Arthen, menyerah pada seorang bocah seperti kau?”

“Kau punya dua pilihan, Arthen,” Vincent mendekat, tatapannya tajam. “Kau menyerah sekarang dan kehilangan kehormatan, atau aku menghancurkan benteng ini dan kita semua mati di sini.”

“Tidak ada pilihan di sini yang membuatku selamat, Alaric,” geram Arthen, tangannya mengepal.

“Benar,” jawab Vincent datar. “Itu memang intinya.”

Arthen terdiam, napasnya memburu. Lalu, perlahan, ia menurunkan tangannya, ekspresinya berubah menjadi datar. “Baiklah, Vincent. Aku menyerah.”

Para penjaga di sekeliling mereka tampak terkejut, beberapa dari mereka langsung bergerak, tetapi Arthen mengangkat tangannya, menghentikan mereka.

“Aku bilang, aku menyerah!” serunya, matanya memancarkan kemarahan dan kebencian yang mendalam. “Tidak ada yang bergerak.”

Vincent mengangguk perlahan. “Keputusan bijak.”

Namun, saat itu, Arthen tersenyum, senyum yang dingin dan penuh makna. “Tapi, Vincent, kau lupa satu hal.”

Vincent menatapnya tajam. “Apa itu?”

“Bukan hanya aku yang tahu permainan ini,” bisik Arthen. Dan sebelum Vincent bisa bereaksi, pintu besar di belakang ruang tahta terbuka, dan sepasukan penjaga lain masuk, dipimpin oleh seseorang yang familiar.

“M—Marshall?” bisik Silas dengan kaget.

Marshall, kepala komandan pasukan pribadi Vincent, berdiri di depan mereka dengan senyum sinis di wajahnya. “Maaf, Tuan. Tapi sepertinya rencanamu berakhir di sini.”

Pengkhianatan yang tiba-tiba itu menghancurkan semua perhitungan Vincent. Ia menatap Marshall dengan dingin, tetapi di dalam dirinya, amarah bergejolak.

“Jadi kau berpikir bisa mengkhianatiku?” tanya Vincent dengan suara rendah.

“Bukan berpikir, Tuan,” jawab Marshall, menghunus pedangnya. “Aku sudah mengkhianatimu.”

Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang mematikan. Duke Arthen tertawa kecil, menikmati momen tersebut.

“Bagaimana sekarang, Vincent? Masih ingin berbicara soal penyerahan tanpa syarat?”

Vincent menatap Marshall dan Arthen bergantian, lalu senyum tipis yang dingin menghiasi wajahnya. “Bagus sekali. Tapi permainan ini belum selesai, Arthen. Aku akan memastikan kau menyesal telah mencoba melawanku.”

Dan dengan satu gerakan cepat, Vincent mengaktifkan cincin di jarinya, menyalakan percikan kecil yang menandakan bahwa permainan mereka baru saja berubah menjadi lebih berbahaya.

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang