Lorong sempit itu berbau lembab, udara di dalamnya terasa pekat dan menyesakkan. Dinding-dinding batu yang tinggi diapit oleh ukiran kuno yang sudah aus termakan waktu, seolah menandakan bahwa tempat ini sudah berabad-abad lamanya tersembunyi dari mata manusia. Cahaya obor yang dibawa Vincent dan Silas hanya cukup untuk menerangi beberapa meter di depan mereka, membuat suasana semakin menegangkan. Setiap langkah yang mereka ambil menimbulkan suara gemerisik kecil di lantai berdebu, tetapi tidak ada yang bersuara di antara mereka.
“Kita harus bergerak cepat,” gumam Vincent, memeriksa peta kasar yang ia temukan sebelumnya. “Jika perhitunganku benar, jalur ini akan membawa kita langsung ke bagian selatan benteng utama di wilayah Duke Arthen.”
Silas mengangguk pelan. Meski tubuhnya masih terluka setelah pertarungan sebelumnya, tatapan matanya tetap penuh dengan tekad. “Bagaimana kita akan menyerang, Tuan? Mereka pasti akan berjaga ketat di sana.”
Vincent menyipitkan mata, memperhatikan peta dengan cermat. “Jika kita bisa mencapai pintu masuk rahasia tanpa terdeteksi, kita akan muncul di ruang penyimpanan senjata di bawah benteng utama. Dari sana, kita dapat menyusup ke ruang kendali pertahanan. Begitu kita merebut kendali, kita bisa menghentikan semua komunikasi internal dan mengisolasi Duke Arthen dari pasukannya.”
“Dengan begitu, dia tidak akan punya pilihan selain menyerah atau mencoba melarikan diri,” tambah Silas dengan antusiasme yang terpendam.
Vincent mengangguk tipis. “Tapi jangan meremehkan Arthen. Dia bukan orang bodoh. Ada alasan mengapa dia bisa bertahan selama ini meskipun reputasinya dipenuhi pengkhianatan. Kita harus bersiap menghadapi apapun.”
Saat mereka melanjutkan perjalanan, suara samar terdengar dari balik dinding—desahan angin, gemuruh rendah, atau mungkin suara langkah yang terlalu jauh untuk dikenali. Vincent berhenti sejenak, menajamkan pendengarannya. Sesuatu tidak beres. Instingnya memberitahu bahwa mereka diawasi.
“Berhenti,” bisik Vincent, mengangkat tangannya untuk menandakan Silas agar diam. “Ada yang mengikuti kita.”
Silas menegang. “Di mana? Aku tidak melihat apa-apa.”
“Justru itu masalahnya,” kata Vincent pelan. “Tempat ini seharusnya sudah lama ditinggalkan, tetapi aku mendengar suara yang bukan gema langkah kita.”
Silas menahan napas, menajamkan pendengarannya, tetapi tidak ada apapun selain keheningan yang menyelubungi mereka. Ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tempat ini terlalu sempit untuk bertarung, dan jika mereka diserang dari depan dan belakang, kesempatan untuk meloloskan diri akan sangat tipis.
“Kita harus bergerak cepat sebelum mereka menyergap kita,” kata Vincent, mengambil keputusan. “Bersiaplah untuk bertarung.”
Mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka nyaris tidak terdengar saat mereka menyusuri lorong sempit itu. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, lorong itu tiba-tiba melebar, membuka ke sebuah ruangan bundar yang luas. Di tengah ruangan, sebuah lingkaran sihir raksasa terukir di lantai, dikelilingi oleh simbol-simbol kuno yang bersinar redup.
“Apa ini?” gumam Silas, menatap lingkaran itu dengan ngeri. Energi gelap terasa berdenyut dari dalam simbol-simbol tersebut, membuat bulu kuduknya berdiri.
“Lingkaran teleportasi,” jawab Vincent datar, matanya menyipit. “Sepertinya seseorang sudah menunggu kita.”
Saat kata-katanya terucap, bayangan dari sudut ruangan mulai bergerak. Satu demi satu, sosok-sosok berjubah hitam muncul dari kegelapan, wajah mereka tersembunyi di balik tudung yang menutupi kepala mereka. Ada enam orang, semuanya berdiri mengelilingi lingkaran sihir dengan tangan terangkat. Cahaya hijau kebiruan menyala di bawah kaki mereka, tanda bahwa lingkaran sihir itu mulai diaktifkan.
“Siapa kalian?” bentak Vincent, matanya penuh kewaspadaan. Tangannya meraih pegangan pisaunya, siap bertarung.
Salah satu sosok berjubah itu tertawa pelan, suara tawa yang dingin dan penuh ejekan. “Ah, Vincent Alaric, akhirnya kita bertemu. Kami sudah menunggumu cukup lama.”
Silas maju selangkah, pedangnya terangkat. “Jika kalian berpikir bisa menjebak Tuan Vincent, kalian telah melakukan kesalahan besar.”
“Jebakan?” sosok itu tertawa lagi. “Bukan jebakan, anak muda. Ini hanya sebuah undangan. Duke Arthen sangat ingin bertemu denganmu, Duke Alaric. Dia merasa… terhormat bahwa musuh bebuyutannya telah menginjakkan kaki di wilayahnya sendiri.”
Vincent tidak bergerak, matanya menatap tajam ke arah lingkaran sihir yang kini bersinar semakin terang. “Arthen tahu aku datang?”
“Tentu saja,” jawab sosok itu dengan tenang. “Kamu tidak benar-benar berpikir bisa menyusup ke sini tanpa sepengetahuannya, bukan? Semua jalur rahasia ini… dia yang merancangnya.”
Kata-kata itu membuat Silas terdiam. Ia menoleh ke arah Vincent dengan ekspresi kaget, tetapi Duke muda itu tidak menunjukkan tanda-tanda panik. Sebaliknya, ia tersenyum tipis.
“Jadi dia sudah tahu sejak awal,” gumam Vincent pelan, suaranya penuh pemahaman. “Bagus. Itu berarti aku tidak perlu membuang waktu mencari tikus yang bersembunyi.”
Sosok berjubah itu tampak terkejut. “Apa maksudmu?”
“Aku datang ke sini bukan untuk menyusup,” kata Vincent dengan tenang, mengangkat pisaunya. “Aku datang untuk menantang Duke Arthen secara langsung. Jika dia ingin bermain dengan jebakan dan tipu daya, maka biarkan dia melihat apa yang terjadi ketika lawannya tidak lagi bermain sesuai aturannya.”
Saat itu, Vincent melangkah maju, memasuki lingkaran sihir dengan langkah penuh percaya diri. Silas menatapnya dengan kaget. “Tuan, apa yang Anda lakukan?”
“Ini kesempatan kita,” jawab Vincent, suaranya penuh ketegasan. “Kita akan menggunakan lingkaran ini untuk langsung menuju pusat kekuatan Arthen. Jika dia menunggu kita di sana, maka kita akan menghancurkannya di tempat dia berdiri.”
Para sosok berjubah itu tampak gelisah, tetapi mereka tetap di posisi mereka. “Kamu gila,” bisik salah satu dari mereka. “Kamu akan berjalan ke dalam kematianmu sendiri.”
“Justru kalian yang tidak mengerti,” kata Vincent dengan dingin. “Ketika seseorang tidak lagi takut mati, maka tidak ada yang bisa menghentikannya.”
Dan dengan satu gerakan, ia menusukkan pisaunya ke pusat lingkaran sihir, memicu energi yang berkumpul di dalamnya. Cahaya biru yang menyilaukan memenuhi ruangan, dan dalam sekejap, Vincent dan Silas menghilang—meninggalkan para penyihir itu terperangah dalam kebingungan.
“Dia… dia benar-benar pergi?” salah satu dari mereka tergagap.
“Bodoh,” bisik yang lain. “Mereka telah jatuh ke dalam perangkap Duke Arthen. Tidak ada yang bisa selamat dari sana.”
Tetapi jauh di dalam benteng utama, Duke Arthen yang duduk di atas tahtanya tersenyum licik. “Datanglah, Vincent Alaric. Mari kita lihat apakah kau benar-benar layak memimpin dinasti Alaric.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙
FantasíaKetika seorang pria tak berperasaan dari dunia modern terbangun dalam tubuh Duke Vincent, seorang bangsawan muda yang terkenal karena kebrutalannya, ia mendapati dirinya berada di pusat permainan politik yang mematikan. Di kerajaan yang penuh dengan...