3. Pertemuan Di Istana

75 8 0
                                    



Vincent Alaric memimpin rombongannya menuju pusat Kerajaan Astoria dengan penuh keangkuhan dan kekuatan. Kereta utama yang ia tumpangi dibalut lapisan baja hitam, dihiasi dengan lambang singa bermahkota yang melambangkan Keluarga Alaric. Di belakangnya, barisan panjang prajurit berkuda dengan baju zirah hitam bergerak seirama, menandakan kehadiran mereka yang mengintimidasi. Masing-masing membawa panji keluarga dengan warna merah darah yang mencolok, melambangkan kekuatan dan kekejaman yang melegenda.

Penduduk di sepanjang jalan menatap dengan tatapan penuh rasa takut dan hormat. Tak satu pun berani berbicara atau mengeluarkan suara ketika rombongan Duke Alaric lewat. Hanya suara derap kaki kuda dan gesekan senjata yang memenuhi udara, menciptakan suasana mencekam yang menekan dada siapa pun yang menyaksikannya.

Vincent duduk di dalam kereta, jari-jarinya mengetuk ringan di sandaran lengan dengan ritme yang tenang. Pikirannya berputar, menyusun strategi. Kunjungan ke istana ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah permainan kekuasaan, dan ia tidak datang sebagai anak muda yang bisa diintimidasi. Dia datang sebagai pemimpin dari keluarga terkuat di utara-sebuah kekuatan yang bahkan Raja sendiri sulit taklukkan.

"Berapa lama lagi hingga kita tiba di istana?" tanyanya tanpa menoleh, suaranya penuh otoritas.

Seorang pengawal berkuda di samping kereta membungkukkan badan, meski Vincent tak bisa melihatnya. "Sekitar setengah jam lagi, Tuan Muda. Gerbang istana sudah terlihat di kejauhan."

Vincent hanya mengangguk, matanya yang tajam menatap keluar jendela, mengamati lingkungan sekitarnya. Istana Kerajaan Astoria menjulang megah di atas bukit, menara-menara tinggi dengan bendera kerajaan yang berkibar angkuh di puncaknya. Dinding-dinding batu yang kokoh dan gerbang besi yang besar tampak tak tertembus, seolah menyuarakan kekuatan tak terbendung dari penguasa yang memerintah di dalamnya.

Namun, Vincent tahu betul bahwa kekuatan sebenarnya tidak terletak pada tembok-tembok besar atau pasukan yang berbaris di halaman. Kekuasaan sejati ada di dalam permainan politik yang dijalankan oleh pikiran licik para bangsawan di aula istana.

"Kali ini, aku bukan hanya datang untuk mengikuti perintah," pikir Vincent, bibirnya melengkung dalam senyum dingin. "Aku datang untuk menetapkan posisiku sebagai ancaman nyata."


---

Ketika rombongan Vincent tiba di gerbang utama istana, pasukan penjaga segera menyiapkan barisan penyambutan. Para prajurit berpakaian seragam kerajaan berdiri tegak dengan sikap hormat, menandakan bahwa kedatangan Duke muda ini sudah dinantikan. Meski demikian, ada ketegangan yang jelas terlihat di wajah mereka, terutama ketika melihat jumlah pengawal bersenjata lengkap yang dibawa oleh Vincent.

"Tuan Muda Vincent Alaric, Raja menunggu di Aula Utama," kata kapten penjaga, suaranya kaku. "Kami akan mengantar Anda masuk."

Vincent turun dari kereta dengan gerakan halus, namun auranya yang mengintimidasi langsung menyelimuti udara. Tatapannya yang dingin menelusuri barisan penjaga di sekitarnya. Mereka menegakkan punggung, berusaha tidak menunjukkan ketakutan, tetapi Vincent dapat melihat keringat dingin mengalir di pelipis beberapa dari mereka.

"Tidak perlu pengawalan," ucap Vincent tanpa memedulikan formalitas. "Aku tahu jalan ke aula istana."

Kapten penjaga itu tampak ragu, tetapi tatapan Vincent membuatnya menunduk. "Tentu, Tuan Muda. Silakan masuk."

Vincent melangkah maju, diikuti oleh Silas dan dua pengawal pribadinya yang berjalan beberapa langkah di belakang. Para bangsawan dan pelayan yang kebetulan berada di lorong istana menyingkir dengan cepat, membungkuk dalam-dalam sambil berusaha menghindari tatapan Vincent yang menakutkan. Desas-desus tentang kedatangan Duke kejam ini telah menyebar ke seluruh istana, dan sekarang semua orang ingin melihat sendiri monster yang hanya mereka dengar lewat bisikan.

Setelah berjalan melewati serangkaian koridor panjang yang dipenuhi lukisan megah dan patung-patung prajurit legendaris, Vincent tiba di depan pintu besar yang mengarah ke Aula Utama. Dua prajurit istana yang berjaga segera membuka pintu dengan gerakan hormat, menandakan bahwa pertemuan sudah ditunggu.

Vincent melangkah masuk, dan pandangan pertamanya tertuju pada tahta emas di ujung aula, tempat Raja Astoria duduk dengan penuh kewibawaan. Raja terlihat masih muda, mungkin baru berusia pertengahan empat puluhan, dengan rambut hitam yang mulai beruban dan sorot mata tajam yang menilai Vincent dengan teliti. Di sekelilingnya, para bangsawan berkumpul, mata mereka terfokus pada Duke muda yang baru saja masuk.

"Vincent Alaric," panggil Raja dengan suara yang terdengar ramah, tetapi penuh dengan nada waspada. "Senang sekali melihatmu dalam keadaan sehat."

Vincent menundukkan kepala sedikit, hanya cukup untuk menunjukkan rasa hormat yang formal. "Yang Mulia, saya menghargai perhatian Anda. Tetapi saya yakin Anda tidak memanggilku ke sini hanya untuk membahas kesehatanku."

Raja tersenyum tipis. "Langsung pada intinya, seperti biasa. Sifat khas Keluarga Alaric." Ia melambaikan tangan, dan para bangsawan di sekitarnya berbisik-bisik, suasana aula menjadi tegang.

"Memang benar," lanjut Raja, nada suaranya berubah menjadi lebih serius. "Aku memanggilmu ke sini untuk membahas situasi di perbatasan utara. Ada laporan bahwa beberapa suku barbar di wilayah utara mulai bergerak. Beberapa dari mereka bahkan berani menyerang desa-desa yang ada di bawah perlindungan Keluarga Alaric."

Vincent menatap Raja dengan tatapan penuh perhitungan. "Itu masalah yang sudah kami atasi, Yang Mulia. Tidak ada ancaman berarti dari suku-suku itu. Mereka hanyalah gerombolan liar yang mudah dihancurkan."

Raja mengangguk pelan. "Itulah yang aku dengar. Tapi aku ingin memastikan bahwa wilayah utara tetap stabil. Kita tidak bisa membiarkan konflik kecil berubah menjadi sesuatu yang lebih besar."

Vincent menahan senyumnya. Ini bukan sekadar kekhawatiran akan ancaman dari luar. Raja sedang mencoba mengujinya, mencoba melihat apakah Vincent benar-benar mengendalikan wilayahnya atau tidak. Dan yang lebih penting, ia ingin tahu seberapa besar kendali Vincent atas pasukan pribadinya-pasukan yang bisa menyaingi kekuatan kerajaan.

"Wilayah utara selalu stabil di bawah perlindungan Keluarga Alaric," jawab Vincent dengan tenang. "Jika ada masalah, saya sendiri yang akan menyelesaikannya."

Para bangsawan yang berdiri di sekitar aula saling melirik, berbisik-bisik dengan cemas. Mereka tahu bahwa Keluarga Alaric memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi keberanian Vincent untuk berbicara langsung seperti itu di hadapan Raja menunjukkan sesuatu yang lain-kesombongan. Bagi mereka, Vincent Alaric bukan hanya Duke yang kejam, tetapi ancaman yang nyata bagi keseimbangan kekuasaan di kerajaan.

Raja terdiam sejenak, menilai Vincent dengan tatapan dingin. Kemudian, ia tersenyum. "Aku senang mendengarnya, Vincent. Aku harap kau tetap menjaga stabilitas di wilayahmu. Tetapi ingat, kerajaan ini membutuhkan kerjasama, bukan pertentangan."

Vincent menahan diri untuk tidak menyeringai. "Tentu, Yang Mulia. Keluarga Alaric selalu setia pada Kerajaan Astoria."

Mata Raja menyipit sedikit, seolah mencoba menembus maksud tersembunyi di balik kata-kata Vincent. Namun, sebelum ia bisa berbicara lebih jauh, seorang bangsawan tua dengan jubah megah maju ke depan. Pria itu adalah Marquis Theodric, salah satu penasihat utama kerajaan.

"Yang Mulia," katanya pelan, suaranya mengandung nada licik, "mungkin kita bisa meminta Duke Vincent untuk menunjukkan loyalitasnya dengan cara yang lebih konkret. Bagaimana jika ia menempatkan sebagian pasukan pribadinya di bawah komando kerajaan?"

Aula mendadak hening. Mata para bangsawan beralih ke Vincent, menunggu reaksinya. Itu adalah tantangan terbuka, sebuah upaya untuk menekan kekuasaan Keluarga Alaric.

Namun, Vincent hanya tertawa pelan. "Itu tidak perlu, Marquis. Pasukan Alaric ada di sana untuk melindungi wilayah utara, bukan untuk menuruti perintah siapa pun selain pemimpin Keluarga Alaric."

Terselip ancaman di balik kata-katanya. Marquis Theodric tampak memucat, tetapi sebelum ia bisa membalas, Raja melambaikan tangannya.

"Sudah cukup. Vincent benar. Pasukannya adalah




Makasih udah baca

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang