14. Panggung Pembantaian

25 3 0
                                    

Setelah keruntuhan Duke Arthen, kabar mengenai kekalahan mengejutkan itu menyebar seperti api yang melahap rumput kering di tengah musim panas. Bangsawan-bangsawan lain, yang sebelumnya bersikap netral atau bahkan berpura-pura mendukung Vincent, kini mulai menunjukkan wajah-wajah aslinya. Mereka adalah para serigala lapar yang melihat celah dalam kekuasaan, mengendus kesempatan untuk merebut sedikit keuntungan dari kekacauan yang terjadi. Namun, Vincent sudah memperhitungkan semua itu.

Benteng Duke Arthen kini berdiri seperti makam yang sunyi, lambangnya dicopot dan digantikan dengan panji-panji keluarga Alaric. Di ruang pertemuan yang luas, Vincent berdiri di hadapan sejumlah prajurit elitnya. Di sekelilingnya, pasukan yang sudah terlatih dan setia berdiri dengan disiplin, menunggu perintah selanjutnya.

"Duke Arthen telah mati, suara Vincent menggema, dingin dan tegas. "Tetapi kekalahan ini hanya akan memicu lebih banyak darah yang akan tertumpah. Sekarang, mereka akan bergerak."

Seorang pria bertubuh tegap, dengan armor hitam mengilap, melangkah maju. Kapten Gavriel, pemimpin dari pasukan elit keluarga Alaric, menatap Vincent dengan sorot mata tajam. "Perintah Anda, Tuan?"

Vincent memandang peta besar yang terbentang di atas meja di hadapannya. Di sana, seluruh wilayah kerajaan digambarkan dengan detail, menampilkan letak benteng, desa, dan kota-kota besar yang menjadi pusat kekuatan masing-masing bangsawan. Setiap wilayah yang dikuasai oleh lawan-lawannya ditandai dengan tanda merah, seolah menunggu untuk dihapuskan dari peta.

"Langkah pertama kita adalah mengamankan utara sepenuhnya," Vincent mengarahkan jarinya ke benteng-benteng kecil di sepanjang perbatasan utara yang masih setia pada Arthen. "Mereka mungkin kecil, tetapi dapat menjadi duri di dalam daging. Sapu bersih semua perlawanan."

Gavriel mengangguk dalam. "Dan setelah itu?"

"Kita bergerak ke selatan," jawab Vincent tanpa ragu. "Tiga keluarga bangsawan besar di selatan sudah terlalu lama bersekongkol, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dengan Arthen jatuh, mereka pasti mengira ini kesempatan mereka."

Kapten Gavriel tampak ragu sesaat. "Tuan, pasukan kita sudah berkurang banyak dalam penyerangan terhadap benteng Arthen. Apakah kita punya cukup kekuatan untuk melawan tiga keluarga sekaligus?"

Vincent menatapnya tajam. "Pasukan bukan satu-satunya senjata yang kita miliki, Gavriel. Ketakutan adalah senjata yang lebih tajam dari pedang mana pun. Setelah kekalahan Arthen, mereka pasti tidak akan menyangka kita akan menyerang dengan segera. Dan ketika mereka lengah, kita akan menghantam mereka dengan kekuatan penuh."

"Seperti yang Anda kehendaki," Gavriel memberi hormat, ekspresinya kini menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan.

Vincent melangkah keluar dari ruang pertemuan, diikuti oleh para komandan utamanya. Di luar, pasukan yang lebih besar telah berkumpul, siap untuk bergerak kapan saja. Malam itu begitu dingin, udara dipenuhi dengan kabut yang menyelimuti seluruh benteng. Cahaya obor berpendar-pendar, menerangi wajah-wajah prajurit yang berbaris rapi dalam barisan panjang.

Vincent berhenti di depan mereka, matanya menyapu seluruh pasukan yang telah setia mengikutinya. "Para prajurit!" suaranya menggema, membuat setiap orang mengangkat kepala, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Pertarungan kita belum selesai, Musuh-musuh kita akan mencoba untuk melawan balik, tetapi mereka hanya akan menemukan kematian menunggu di

setiap sudut."

"Apa rencana kita, Tuan?" seru salah satu prajurit dari barisan depan.

"Kita akan menghantam mereka dengan keras, dan kita tidak akan menunjukkan belas kasihan!" Vincent melanjutkan dengan suara yang lantang dan tegas. "Kita akan membakar desa-desa yang mereka gunakan sebagai benteng. Kita akan menghancurkan setiap keluarga yang mencoba melawan kita. Tidak ada tempat aman bagi mereka di seluruh wilayah ini."

Teriakan persetujuan bergema di udara, semangat prajurit-prajurit itu membara. Mereka tahu bahwa di bawah kepemimpinan Vincent, tidak ada ruang untuk keraguan atau ketidakpastian. Setiap perintah akan dilaksanakan tanpa banyak pertanyaan, karena mereka tahu bahwa pemimpin mereka tidak pernah bertindak tanpa rencana matang.

Saat malam semakin larut, Vincent dan pasukannya mulai bergerak. Mereka seperti bayangan yang meluncur tanpa suara, menuju wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh sekutu-sekutu Arthen. Desa-desa kecil di sepanjang perbatasan utara kini menjadi sasaran pertama. Setiap tempat yang mereka datangi dibakar habis, tanpa menyisakan apa pun kecuali abu.

Di sebuah desa kecil yang dikenal sebagai Dunbridge, keluarga bangsawan kecil yang setia pada Arthen mencoba melawan. Tetapi perlawanan mereka tidak berlangsung lama. Pasukan Vincent menghantam mereka seperti badai, membantai setiap prajurit yang berani menghunuskan pedang.

Vincent sendiri turun ke lapangan, memimpin serangan. la adalah bayangan kematian yang bergerak di tengah malam, membunuh setiap lawan yang berani menghalanginya. Di satu sudut, ia melihat seorang prajurit musuh yang masih muda, gemetaran sambil memegang pedangnya. Mata pemuda itu dipenuhi ketakutan, tetapi ia tetap mengangkat senjatanya dengan nekat.

"A-aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan desa inil teriak pemuda itu, meski suaranya bergetar.

Vincent menatapnya sejenak, lalu mengayunkan pedangnya dengan cepat. Pedang itu menebas udara, dan pemuda itu jatuh berlutut, darah mengalir dari luka besar di dadanya. la menatap Vincent dengan tatapan nanar, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Kau seharusnya menyerah," kata Vincent dengan dingin. "Loyalitas pada orang mati hanya akan membawa kehancuran bagi orang bodoh sepertimu."

Pemuda itu terjatuh, nyawanya melayang sebelum ia bisa menjawab. Vincent melangkah melewatinya, mengabaikan suara jeritan dan tangisan di sekelilingnya. Pasukannya terus bergerak maju, menebas setiap orang yang masih berani melawan.

Ketika fajar menyingsing, tidak ada yang tersisa dari Dunbridge kecuali reruntuhan yang terbakar. Mayat-mayat berserakan di jalanan, dan rumah-rumah hancur dilalap api. Vincent berdiri di tengah kehancuran itu, tatapannya tajam menatap cakrawala yang mulai berwarna kemerahan.

"Ini baru awal," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Semua yang berani menentangku akan berakhir seperti ini."

Gavriel melangkah mendekat, armor hitamnya ternoda darah musuh. "Apa perintah Anda selanjutnya, Tuan?"

Vincent menatap peta kecil yang dibawanya. "Kita bergerak ke selatan. Keluarga Whitelock adalah sasaran berikutnya."

Gavriel mengangguk. "Keluarga Whitelock punya benteng yang kuat, dan pasukan mereka lebih besar dari Dunbridge. Apa kita perlu memanggil pasukan tambahan?"

Vincent menggeleng. Tidak perlu. Kita akan menggunakan strategi berbeda kali ini."

Wajah Gavriel menunjukkan rasa penasaran. "Strategi apa, Tuan?"

Vincent tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan kebengisan. "Ketika musuh mengharapkan serangan frontal, kita akan menusuk dari arah yang tidak mereka duga. Aku punya cara untuk membuat benteng mereka runtuh dari dalam."

Gavriel mengangguk lagi, tanpa banyak bertanya. la tahu bahwa pemimpin mereka selalu punya rencana yang cerdik-dan lebih dari itu, rencana yang mematikan.

Saat pasukan Vincent mulai bergerak lagi, hanya satu hal yang memenuhi pikiran setiap prajuritnya: tidak ada tempat untuk belas kasihan. Ini adalah perang, dan di bawah bendera Alaric, mereka akan menyapu bersih semua yang berdiri di hadapan mereka.

Malam itu, bendera keluarga Whitelock menjadi target berikutnya.

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang