6. Ular di Tengah Kegelapan

43 4 0
                                    

Setelah kemenangan gemilang di medan perang utara, Vincent Alaric kembali ke Kastil Alaric dengan status yang lebih mengerikan daripada sebelumnya. Kemenangan telaknya atas pemberontakan yang dipimpin oleh Lord Gared dan Baron Henrick bukan hanya menciptakan ketakutan, tetapi juga menghancurkan moral setiap musuh yang berpotensi bangkit. Namun, Vincent tahu bahwa ini hanyalah permulaan. Raja tidak akan tinggal diam setelah kekalahannya yang memalukan.

Di ruang takhtanya di Kastil Alaric, Vincent duduk dengan tenang, menatap peta besar kerajaan yang tergantung di dinding. Setiap wilayah dan jalur perbatasan telah dipelajari dengan cermat, setiap titik lemah dan kekuatan dicatat. Namun, saat ini, Vincent tidak hanya memikirkan strategi militer. Ia memikirkan sesuatu yang lebih berbahaya—intrik politik dan pergerakan musuh yang tersembunyi di balik kedamaian palsu kerajaan.

“Tuan Muda,” panggil Silas yang berdiri di dekat pintu, membungkuk sedikit. “Kita menerima utusan dari istana. Surat langsung dari Raja.”

Vincent mengangkat kepalanya, menatap Silas dengan pandangan penuh pertimbangan. “Bawa surat itu ke sini.”

Silas menyerahkan gulungan perkamen bersegel emas dengan hati-hati. Vincent merobek segelnya dan membaca isi surat dengan cepat. Matanya menyipit saat ia mencapai bagian akhir. Setelah beberapa detik, ia meletakkan surat itu di atas meja dengan ekspresi tenang yang sulit dibaca.

“Raja mengundangku untuk kembali ke ibu kota,” kata Vincent perlahan, suaranya datar namun ada sesuatu yang menggelap di balik nada tenangnya. “Dia ingin membahas perjanjian perdamaian dan ‘memperbaiki hubungan’ setelah insiden di utara.”

Silas menegang. “Itu pasti jebakan, Tuan Muda. Mengapa Raja tiba-tiba ingin berdamai setelah mencoba menghancurkan kita?”

Vincent tersenyum tipis, senyum yang tidak menyentuh matanya. “Tentu saja ini jebakan. Tetapi menolak undangan ini juga bukan pilihan. Jika aku menolak, itu akan menjadi alasan bagi Raja untuk menuduhku tidak menghormati otoritas kerajaan. Dan itu bisa digunakan untuk memulai serangan besar-besaran.”

Silas mengerutkan kening dalam. “Lalu, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan menerima undangan itu?”

Vincent berdiri perlahan, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke benteng dan pegunungan yang jauh. “Aku akan pergi ke ibu kota. Tapi kali ini, aku tidak akan pergi sendirian.”

“Apakah Anda ingin membawa pasukan, Tuan?” tanya Silas, matanya menyiratkan kekhawatiran.

Vincent menggeleng. “Tidak. Pasukan hanya akan membuat Raja merasa terancam dan memberikan alasan untuk menyerang kita. Aku akan membawa orang-orang kepercayaanku. Kita harus memainkan permainan ini dengan kecerdikan, bukan kekuatan.”

Silas terdiam sejenak, lalu menunduk dalam. “Saya mengerti, Tuan Muda. Saya akan segera menyiapkan perjalanan.”

---

Beberapa hari kemudian, Vincent dan rombongan kecilnya tiba di ibu kota kerajaan, Kota Eboris. Kota itu adalah jantung dari segala kekuasaan, tempat di mana setiap keputusan yang mempengaruhi kerajaan diputuskan dan setiap intrik dijalankan. Jalanan kota dipenuhi rakyat yang menyambut kedatangan Duke Alaric dengan campuran rasa takut dan penasaran. Bagi banyak orang, Vincent adalah sosok misterius yang baru-baru ini mencuat ke panggung politik dengan reputasi yang mengerikan.

Setibanya di istana, Vincent langsung disambut oleh seorang pejabat tinggi yang tampak gugup. “Yang Mulia Raja menunggu Anda di ruang pertemuan utama, Yang Mulia Duke.”

Vincent hanya mengangguk tipis dan mengikuti pejabat itu melalui lorong-lorong panjang istana. Sepanjang jalan, ia bisa merasakan tatapan dari para bangsawan dan pengawal yang berbaris di sepanjang koridor. Beberapa menunjukkan rasa hormat yang berlebihan, sementara yang lain menatapnya dengan kebencian yang tersembunyi. Vincent tahu betul bahwa banyak dari mereka menginginkannya mati.

Akhirnya, mereka tiba di ruang pertemuan utama. Pintu besar terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas yang dipenuhi dengan bangku-bangku panjang dan jendela-jendela tinggi. Di ujung ruangan, Raja Eldric duduk di atas takhtanya, dikelilingi oleh para penasihat dan bangsawan senior. Wajah Raja yang biasanya tenang tampak tegang saat Vincent melangkah masuk.

“Duke Vincent Alaric,” panggil Raja dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan. “Selamat datang kembali ke ibu kota. Saya harap perjalanan Anda tidak terlalu melelahkan.”

Vincent menunduk dengan sopan, meski tatapannya tetap tajam. “Yang Mulia Raja, perjalanan saya lancar. Saya datang seperti yang Anda minta.”

“Bagus, bagus,” Raja tersenyum, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Kita perlu membicarakan banyak hal, terutama mengenai situasi di utara. Saya mendengar kau telah menundukkan pemberontakan dengan sangat efektif. Itu pencapaian yang mengesankan.”

“Terima kasih, Yang Mulia,” jawab Vincent singkat. “Namun, pemberontakan itu tidak muncul dengan sendirinya. Saya yakin ada kekuatan yang lebih besar yang bermain di balik layar.”

Kata-kata Vincent membuat ruangan itu hening. Raja menyipitkan matanya, ekspresinya berubah tajam. “Apa maksudmu, Duke Alaric? Apakah kau menuduhku berada di balik pemberontakan itu?”

“Tidak sama sekali, Yang Mulia,” jawab Vincent dengan tenang. “Saya hanya mengatakan bahwa pemberontakan itu direncanakan dengan sangat baik. Mereka memiliki persenjataan yang cukup dan dukungan dari beberapa bangsawan lokal. Ini bukan gerakan spontan.”

Beberapa bangsawan senior saling berbisik, wajah mereka menunjukkan kebingungan dan ketidaknyamanan. Raja tampak mempertimbangkan kata-kata Vincent, lalu tersenyum tipis.

“Kau benar-benar pandai membaca situasi, Vincent,” katanya perlahan. “Itulah mengapa aku memanggilmu ke sini. Aku ingin menawarkan perdamaian—kesempatan bagi kita untuk memperbaiki hubungan dan memastikan stabilitas di kerajaan.”

Vincent mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. “Perdamaian? Apa yang Yang Mulia tawarkan?”

Raja menatapnya dengan penuh arti. “Wilayah di utara akan tetap di bawah kendalimu, tetapi pasukan Alaric harus dikurangi. Selain itu, aku ingin memastikan bahwa semua kegiatan militermu dilaporkan langsung kepada istana.”

Vincent tertawa kecil, suara tawanya terdengar lembut namun penuh ancaman. “Dengan kata lain, Anda ingin melucuti kekuatan Keluarga Alaric. Menarik, tapi saya khawatir saya tidak bisa menerima tawaran itu.”

Para penasihat Raja terkejut, dan beberapa dari mereka tampak marah. Raja Eldric mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka diam. “Kau menolak tawaranku, Vincent?”

Vincent menatap Raja dengan dingin. “Saya menolak untuk menjadi boneka yang mudah dikendalikan, Yang Mulia. Jika Anda ingin perdamaian, maka perdamaian itu harus adil. Dan jika tidak, maka saya akan siap untuk menghadapi apa pun yang Anda rencanakan.”

Kata-kata itu menggema di seluruh ruangan. Raja Eldric menatap Vincent dengan mata menyala penuh kemarahan, tetapi ia menahan diri. Dengan napas panjang, ia tersenyum—senyum yang sama sekali tidak mencerminkan kebahagiaan.

“Baiklah, Duke Alaric,” kata Raja perlahan. “Jika itu maumu, kita akan lihat seberapa jauh kau bisa bertahan dengan sikap keras kepalamu.”

Vincent hanya membalas dengan senyum tipis. “Saya menantikan tantangan itu, Yang Mulia.”

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang