Setelah pertempuran di desa perbatasan, Vincent dan Arlen menyadari bahwa waktu untuk bertahan sudah berakhir. Musuh mereka tidak akan berhenti sampai seluruh wilayah kerajaan hancur. Mereka harus mengambil tindakan drastis, dan itu berarti meluncurkan serangan balik yang akan mengguncang para bangsawan pemberontak hingga ke inti kekuatan mereka.
Di ruang pertemuan utama benteng, peta kerajaan terbentang di atas meja. Vincent, Arlen, dan para komandan pasukan berkumpul untuk merencanakan serangan yang menentukan. Wajah mereka serius, tidak ada satu pun yang meremehkan bahaya yang mengintai. Namun, tekad untuk mengakhiri ancaman itu terasa kuat di setiap sudut ruangan.
Vincent berbicara pertama, menunjuk ke titik-titik strategis di peta. "Laporan dari mata-mata kita menunjukkan bahwa para bangsawan pemberontak telah berkumpul di benteng tua di barat. Itu adalah pusat kekuatan mereka. Jika kita menghancurkan benteng itu, kita akan mematahkan tulang punggung pemberontakan ini."
Salah satu komandan, Letnan Goron, mengerutkan kening. "Benteng itu telah lama tidak digunakan. Bukankah itu terlalu jauh dari kota-kota besar? Mengapa mereka memilih tempat yang terisolasi?"
Arlen menimpali, "Itulah kelebihan mereka. Di tempat terpencil itu, mereka bisa mengumpulkan kekuatan tanpa terpantau oleh kita. Tapi sekarang kita tahu di mana mereka bersembunyi, ini adalah kesempatan kita untuk menghancurkan mereka sebelum mereka sempat bergerak lebih jauh."
Vincent menambahkan, "Kita harus bertindak cepat dan tanpa belas kasihan. Kita akan mengerahkan. pasukan terbaik kita, menyerang dari beberapa arah sekaligus untuk membuat mereka tak mampu bertahan."
Komandan lain, Letnan Darius, menyetujui rencana itu. "Dengan strategi ini, kita bisa memotong jalur pelarian mereka. Tapi kita harus pastikan mata-mata mereka tidak menyadari gerakan kita."
Vincent menatap setiap orang di ruangan itu. "Kita harus mengatur gerakan kita dengan sempurna. Jika ada satu kesalahan, mereka akan melarikan diri dan mengatur serangan balasan yang lebih besar. Kita tidak bisa memberi mereka kesempatan itu."
Dalam hitungan hari, persiapan pasukan sudah selesai. Di tengah malam yang kelam, tanpa suara drum perang atau terompet yang biasanya membangunkan seluruh kerajaan, Vincent memimpin pasukannya menuju benteng di barat. Hanya suara derap kaki kuda dan desiran angin yang menemani perjalanan mereka.
Di belakang pasukan utama, Arlen memimpin batalionnya sendiri, bersiap menyerang dari arah lain untuk mengepung musuh dari berbagai sisi. Mereka tahu bahwa waktu adalah esensi, dan semakin cepat mereka tiba di benteng, semakin besar kemungkinan mereka menang tanpa perlawanan besar.
Ketika fajar mulai menyingsing, bayangan benteng tua itu mulai terlihat di kejauhan. Meskipun rusak dan usang, benteng itu berdiri megah di atas bukit berbatu, dikelilingi oleh hutan lebat. Cahaya pertama matahari menyinari tembok-temboknya yang tertutup lumut, membuatnya tampak seperti benteng dari mimpi buruk.
Vincent mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Dia melihat sekeliling, memastikan bahwa semua persiapan sudah siap sebelum mereka menyerang. "Ingat, kita tidak datang untuk bertahan. Kita datang untuk mengakhiri ini."
Arlen, yang telah menyelinap melalui sisi lain hutan dengan pasukannya, mengirim sinyal dengan nyala obor. Itu adalah tanda bahwa mereka sudah berada di posisi yang tepat. Sekarang, semua tergantung pada keberanian dan ketepatan waktu.
Serangan dimulai dengan cepat dan mematikan. Anak panah meluncur ke arah penjaga di menara benteng, menjatuhkan mereka sebelum mereka sempat membunyikan alarm. Prajurit-prajurit Vincent bergerak lincah, mendekati gerbang utama dengan kecepatan kilat. Sementara itu, Arlen dan pasukannya menyerang dari sisi belakang benteng, menghancurkan pertahanan yang sudah rapuh.
Benteng itu segera menjadi medan perang. Para pemberontak yang semula merasa aman di balik tembok tinggi kini terguncang oleh serangan mendadak ini. Mereka mencoba membalas, tapi tanpa persiapan yang memadai, mereka segera kewalahan. Vincent bergerak di garis depan, memimpin serangan dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa.
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, Lord Cedric, pemimpin pemberontak, muncul di balkon utama benteng. Dengan wajah marah dan penuh dendam, dia berteriak kepada para prajuritnya, memerintahkan mereka untuk melawan. "Jangan biarkan mereka mengambil benteng ini! Ini adalah tempat terakhir kita berdiri!"
Namun, semangat pasukan pemberontak semakin merosot. Mereka menyadari bahwa perlawanan mereka sia-sia di hadapan strategi yang begitu rapi dan kekuatan yang begitu besar. Vincent menebas setiap lawan yang menghalangi jalannya, matanya fokus pada satu target: Lord Cedric.
Vincent naik ke balkon, menghadapi Cedric yang berdiri dengan wajah penuh kebencian. "Waktumu sudah habis, Cedric," kata Vincent dengan dingin.
Cedric tertawa getir. "Kau pikir dengan membunuhku, semua ini akan berakhir? Rakyat akan memberontak! Mereka tidak akan pernah tunduk pada tirani sepertimu!"
Vincent menatapnya dengan pandangan dingin. "Aku tidak peduli dengan kata-katamu. Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa ancamanmu tidak pernah kembali.
Dengan satu tebasan pedangnya, Vincent mengakhiri nyawa Cedric. Tubuhnya jatuh ke lantai balkon, dan dengan itu, perlawanan terakhir dari para pemberontak runtuh. Di bawah, pasukan Vincent dan Arlen telah sepenuhnya menguasai benteng. Para pemberontak yang tersisa menyerah atau melarikan diri ke dalam hutan, hanya untuk dikejar dan ditangkap oleh pasukan yang telah bersiap di luar.
Setelah pertempuran usai, Vincent berdiri di tengah-tengah benteng yang hancur. Bau darah dan asap masih menyengat di udara, tapi yang tersisa hanyalah kemenangan. Arlen mendekat, wajahnya serius namun penuh kepuasan. "Ini berakhir." katanya pelan.
Vincent mengangguk, matanya memandangi reruntuhan benteng. "Ya, tapi ini hanyalah awal dari tantangan baru. Kita telah menghancurkan pemberontak, tapi kita harus memastikan bahwa tidak ada lagi kekuatan seperti ini yang bangkit."
Arlen menepuk bahu Vincent, menunjukkan solidaritas. "Kita akan menjaga agar rakyat tetap bersatu. Selama kita bertindak adil dan tegas, mereka akan mendukung kita."
Vincent tersenyum tipis, lalu berkata, "Benar. Kita telah menang, tapi tugas kita untuk membangun kerajaan ini masih panjang."
Malam itu, pasukan kembali ke benteng mereka. dengan rasa kemenangan yang pahit. Mereka tahu bahwa ancaman dari para bangsawan pemberontak telah berakhir, tapi harga yang harus mereka bayar sangat mahal. Kematian, luka, dan kehancuran masih terasa nyata di benak mereka.
Namun, di balik semua itu, ada secercah harapan. Kerajaan kini memiliki kesempatan untuk benar-benar bangkit, tanpa bayang-bayang pemberontakan. Dan di bawah kepemimpinan Vincent dan Arlen, masa depan yang lebih baik mungkin saja menjadi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙
FantasiKetika seorang pria tak berperasaan dari dunia modern terbangun dalam tubuh Duke Vincent, seorang bangsawan muda yang terkenal karena kebrutalannya, ia mendapati dirinya berada di pusat permainan politik yang mematikan. Di kerajaan yang penuh dengan...