Setelah pertemuan tegang dengan Raja Eldric di ibu kota, Vincent Alaric kembali ke kediaman sementara yang telah disediakan untuknya di bagian barat istana. Malam telah jatuh, membawa serta kesunyian yang mematikan. Udara dingin menusuk melalui jendela-jendela yang terbuka, membuat setiap gerakan terasa teramat nyata.
Ruangan itu diterangi hanya oleh cahaya lilin yang redup. Silas berdiri di sudut, menatap Vincent dengan tatapan khawatir. Meskipun pertemuan dengan Raja tadi tidak berakhir dengan konfrontasi terbuka, Silas bisa merasakan ketegangan yang hampir meledak. Setiap kata yang diucapkan Raja, setiap gerakan Vincent, seakan menari di atas pedang yang tajam.
“Tuan Muda,” bisik Silas perlahan, memastikan tidak ada yang mendengar mereka. “Apa langkah selanjutnya? Setelah penolakan Anda tadi, Raja pasti akan mencoba sesuatu yang lebih berbahaya.”
Vincent tetap diam selama beberapa detik, memandangi jendela yang mengarah ke taman istana yang gelap gulita. “Raja tidak bodoh,” katanya akhirnya. “Dia tidak akan mengambil risiko terbuka dengan langsung mengumumkan perang terhadap Keluarga Alaric. Itu akan membuatnya tampak lemah di depan para bangsawan lainnya. Sebaliknya, dia akan mencoba menyerang kita dari bayang-bayang.”
“Bagaimana caranya, Tuan?”
Vincent menoleh, mata birunya yang tajam menatap Silas dengan dingin. “Dengan menyusupkan musuh ke dalam barisan kita. Dia akan mencoba mengadu domba kita dari dalam, menyuap atau memanipulasi orang-orang yang tampaknya setia. Itulah kenapa kita harus bergerak lebih cepat.”
“Lebih cepat? Apakah Anda ingin melakukan sesuatu di ibu kota ini?” tanya Silas, kebingungan.
Vincent mengangguk. “Aku ingin menemui seseorang malam ini. Seseorang yang bisa memberiku informasi lebih banyak mengenai pergerakan Raja. Jika aku bisa mengetahui rencana lengkapnya, aku bisa mempersiapkan langkah-langkah yang lebih efektif.”
Sebelum Silas bisa menanyakan lebih lanjut, ketukan lembut terdengar di pintu. Seorang pelayan perempuan masuk dengan langkah gemetar, membawa sebuah amplop kecil berwarna merah darah. Ia menunduk hormat, wajahnya menunduk sehingga rambut hitamnya menutupi wajah pucatnya.
“Surat untuk Anda, Yang Mulia Duke,” katanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
Vincent mengambil surat itu tanpa berkata-kata. Pelayan itu segera mundur keluar, pintu tertutup dengan suara pelan. Vincent memutar amplop itu di antara jarinya, matanya menyipit saat melihat segel hitam yang terukir dengan lambang yang asing—sebuah simbol tengkorak kecil dengan pedang terhunus di belakangnya.
“Siapa yang mengirim ini?” gumamnya.
Silas maju sedikit, menatap amplop itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Itu bukan segel resmi dari bangsawan mana pun yang kita ketahui, Tuan Muda.”
Vincent merobek segelnya dan membuka surat itu dengan hati-hati. Hanya ada satu kalimat singkat yang tertulis di atas kertas perkamen berwarna gelap:
“Jika kau ingin tahu rencana sesungguhnya, temui aku di Kuil Hujan Tengah Malam.”
Vincent menatap tulisan itu dengan ekspresi datar. Kalimat itu tidak menyebutkan siapa pengirimnya, tetapi Vincent bisa merasakan bahwa ini bukan sekadar jebakan biasa. Kuil Hujan Tengah Malam adalah salah satu tempat paling terpencil di ibu kota, sebuah kuil tua yang ditinggalkan di ujung jalan setapak di luar area istana utama. Siapa pun yang mengirim surat ini jelas tahu bagaimana caranya tetap tersembunyi.
“Silas, persiapkan dirimu,” kata Vincent singkat. “Kita akan pergi ke kuil itu malam ini.”
Silas tampak terkejut. “Tuan, tempat itu berbahaya. Bahkan para prajurit istana tidak berani mendekatinya di malam hari. Apakah Anda yakin ini bukan perangkap?”
Vincent menatapnya dingin. “Tentu saja ini bisa jadi perangkap. Tapi jika seseorang berani mengirim surat langsung padaku, aku harus tahu siapa yang berani bermain-main denganku di ibu kota ini. Dan jika mereka memiliki informasi yang berharga, aku ingin mendengarnya langsung.”
---
Beberapa jam kemudian, Vincent dan Silas menyelinap keluar dari kediaman mereka dengan mengenakan jubah hitam panjang yang menutupi wajah mereka. Jalanan ibu kota sudah sepi, hanya cahaya obor yang redup menerangi lorong-lorong sempit. Mereka bergerak dengan cepat dan sunyi, menghindari pandangan patroli istana dan para pengintai yang mungkin saja memata-matai gerakan mereka.
Kuil Hujan Tengah Malam terletak di pinggiran barat ibu kota, di atas bukit kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Bangunannya yang besar dan kusam tampak suram di bawah sinar bulan pucat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara angin yang berdesir di antara dedaunan.
“Tempat ini benar-benar seperti rumah bagi para hantu,” gumam Silas, matanya waspada mengamati sekeliling.
“Tenang saja,” jawab Vincent dingin. “Jika ada sesuatu yang lebih menakutkan dari hantu di tempat ini, itu hanya aku.”
Mereka melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap. Cahaya obor mereka memantul di dinding batu yang dingin dan lembab, menciptakan bayangan aneh yang bergerak-gerak seiring langkah mereka. Setelah beberapa menit mencari, mereka tiba di aula utama—ruangan besar yang dipenuhi patung-patung dewa tua yang telah rusak dan dilupakan.
Di tengah aula, seseorang berdiri menunggu. Sosok itu mengenakan jubah hitam tebal yang menutupi seluruh tubuhnya, wajahnya tersembunyi di balik bayangan tudung lebar. Hanya cahaya merah redup dari obor yang menyorot mata gelapnya yang bersinar dengan intensitas aneh.
“Vincent Alaric,” suara sosok itu terdengar serak namun kuat, penuh dengan sesuatu yang menyeramkan. “Aku sudah menunggumu.”
Vincent mengangkat alis, tetap waspada. “Siapa kau? Dan kenapa kau memanggilku ke sini?”
Sosok berjubah itu tertawa pelan, suara tawanya bergema di seluruh aula yang kosong. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah informasi yang kubawa. Kau telah menantang Raja secara langsung, dan sekarang, seluruh ibu kota bergemuruh dengan rencana untuk menghancurkanmu.”
“Rencana apa?” tuntut Vincent, suaranya rendah namun penuh dengan ancaman.
“Ada beberapa faksi di istana yang ingin memanfaatkan ketegangan ini,” jawab sosok itu. “Beberapa dari mereka ingin kau dijatuhkan, beberapa ingin menjadikanmu sekutu, dan yang lainnya hanya ingin melihatmu mati dengan cara yang paling menyakitkan. Tetapi ada satu orang yang kau harus waspadai lebih dari siapa pun.”
“Siapa?” desak Vincent.
“Menteri Perang, Duke Arthen,” bisik sosok itu, suaranya hampir seperti bisikan hantu. “Dia adalah tangan kanan Raja, pria yang mengatur seluruh gerakan militer kerajaan. Dia telah lama menginginkan kematianmu. Dan sekarang, dia merencanakan sesuatu yang besar.”
Vincent menegang, pikirannya berpacu. “Apa yang dia rencanakan?”
“Dia akan menyerang wilayah utara saat kau berada di sini,” jawab sosok itu dengan nada serius. “Pasukan besar sedang dikumpulkan di luar ibu kota. Mereka akan bergerak dalam beberapa hari, menyerang benteng utama Alaric dan menghancurkan segala yang kau bangun. Jika kau tidak segera kembali, kau akan kehilangan segalanya.”
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menembus jantung Vincent. Ia tahu sosok ini tidak berbohong. Jika pasukan kerajaan bergerak secepat itu, maka seluruh kekuatan utara akan runtuh sebelum ia punya kesempatan untuk menghentikannya.
“Mengapa kau memberitahuku semua ini?” tanya Vincent tajam.
Sosok itu tersenyum di balik tudungnya, meskipun senyum itu tidak terlihat. “Karena kekacauan lebih menarik daripada kedamaian, Duke Vincent. Dan aku ingin melihat bagaimana kau menghadapi badai ini.”
Vincent menatap sosok itu tajam, tetapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, sosok itu menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Vincent dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Dan dengan waktu yang semakin mendesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙
FantasíaKetika seorang pria tak berperasaan dari dunia modern terbangun dalam tubuh Duke Vincent, seorang bangsawan muda yang terkenal karena kebrutalannya, ia mendapati dirinya berada di pusat permainan politik yang mematikan. Di kerajaan yang penuh dengan...