23. Badai di Ambang Gerbang

6 1 0
                                    

Malam telah jatuh dengan cepat, dan suasana di dalam benteng terasa semakin tegang. Vincent berdiri di balkon, matanya menyapu langit malam yang dipenuhi bintang. Dari ketinggian itu, ia bisa melihat seluruh wilayah kekuasaannya—desa-desa yang mulai pulih, jalan-jalan yang diperbaiki, dan rakyat yang mulai merasakan secercah harapan. Namun, bayangan ancaman dari bangsawan yang berkhianat terus menghantui pikirannya.

Arlen tiba di belakangnya, menghentikan langkahnya di dekat pintu. “Kau kelihatan gelisah,” katanya, suaranya pelan tapi tegas. “Ada yang tidak beres?”

Vincent tidak langsung menjawab. Dia tetap memandangi kegelapan yang menyelimuti wilayah itu, sebelum akhirnya berkata, “Kita berada di ujung tanduk, Arlen. Semua yang kita bangun bisa runtuh kapan saja jika kita tidak hati-hati.”

Arlen mendekat, berdiri di samping Vincent dan ikut memandang keluar. “Kita tahu dari awal bahwa ini tidak akan mudah. Tapi aku percaya pada kita. Kita sudah mengatasi begitu banyak rintangan. Bangsawan-bangsawan itu tidak akan mampu menghancurkan kita.”

Vincent menghela napas dalam-dalam, matanya menyipit. “Mereka tidak hanya berusaha menghancurkan kita dengan kekuatan. Mereka mencoba merusak dari dalam. Mengadu domba kita dengan rakyat.”

Arlen mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku telah mendengar bisikan di pasar, desas-desus tentang kelemahan aliansi kita. Mereka mencoba menyebarkan ketidakpercayaan.”

“Kita tidak bisa membiarkan mereka menang dengan cara ini,” kata Vincent tegas. “Kita harus bergerak cepat. Mengambil tindakan sebelum mereka bisa menyusup lebih dalam.”

---

Pagi harinya, Vincent dan Arlen memutuskan untuk mengumpulkan pemimpin-pemimpin desa lagi. Mereka harus bertindak sebelum para bangsawan dapat melaksanakan rencana mereka. Pertemuan itu berlangsung di aula utama benteng, di mana para pemimpin dari berbagai wilayah berkumpul dengan ekspresi waspada. Vincent dan Arlen memimpin pertemuan itu dengan ketegasan yang telah dikenal rakyatnya.

Vincent berdiri di depan, suaranya lantang. “Kita sedang berada di ambang perang baru. Bukan dengan pedang, tetapi dengan tipu daya dan kebohongan. Bangsawan-bangsawan yang menentang kita berusaha memecah belah persatuan ini. Mereka menyebarkan desas-desus untuk merusak kepercayaan rakyat terhadap aliansi kita.”

Salah satu pemimpin desa, seorang pria tua bernama Garvin, mengangkat tangannya. “Bagaimana kita bisa melawan kebohongan itu, Duke Vincent? Rakyat mudah terpengaruh oleh desas-desus, apalagi jika datang dari bangsawan yang dulu mereka hormati.”

Vincent mengangguk, memahami kekhawatiran itu. “Kita harus melawan mereka dengan kebenaran. Kita harus lebih sering berinteraksi dengan rakyat, menjelaskan apa yang sedang kita lakukan, dan menunjukkan bahwa kita benar-benar bekerja untuk mereka, bukan untuk kepentingan kita sendiri.”

Arlen melanjutkan, “Kita juga harus memperkuat pertahanan kita. Jika para bangsawan ini mencoba menggunakan kekerasan, kita harus siap. Mereka mungkin tidak memiliki pasukan sebesar kita, tetapi mereka akan mencoba cara-cara licik untuk menembus pertahanan kita.”

Pertemuan itu berakhir dengan keputusan bulat: mereka akan meningkatkan patroli, menyebarkan informasi yang benar kepada rakyat, dan bersiap menghadapi kemungkinan serangan.

---

Beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang terus meningkat. Vincent dan Arlen terus memantau situasi dengan cermat, mengirim mata-mata untuk mengawasi pergerakan para bangsawan yang berkhianat. Laporan demi laporan datang, tetapi belum ada tindakan langsung dari pihak musuh.

Suatu malam, Lio, salah satu mata-mata terpercaya Vincent, kembali dengan kabar yang lebih serius. Dia berlari ke dalam aula, napasnya terengah-engah. “Duke Vincent, Duke Arlen, mereka sedang merencanakan sesuatu yang besar.”

Vincent menegakkan tubuhnya, wajahnya mengeras. “Apa yang kau temukan, Lio?”

Lio mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Mereka berencana untuk menyerang desa-desa di perbatasan. Mereka akan memulai dengan serangan kecil, mencoba membuat rakyat kita panik dan meragukan kemampuan kita untuk melindungi mereka. Mereka ingin menciptakan kekacauan.”

Arlen mengumpat pelan, sementara Vincent merasakan kemarahan membara di dadanya. “Berapa banyak pasukan yang mereka miliki?”

“Tidak banyak,” jawab Lio. “Tapi mereka akan bergerak cepat, menyerang dengan kejam untuk membuat dampak yang besar.”

Vincent berdiri dari kursinya, pandangannya tajam. “Kita tidak bisa menunggu mereka bergerak. Kita harus mendahului mereka.”

Arlen mengangguk setuju. “Kita perlu memobilisasi pasukan secepat mungkin. Jangan beri mereka kesempatan untuk merusak desa-desa kita.”

---

Keesokan paginya, pasukan Vincent dan Arlen bergerak dengan cepat. Mereka menyebar ke desa-desa di perbatasan, memperingatkan penduduk akan kemungkinan serangan dan menyiapkan pertahanan. Prajurit-prajurit ditempatkan di titik-titik strategis, bersiap menghadapi serangan mendadak dari musuh.

Di salah satu desa perbatasan, Vincent sendiri memimpin pasukan kecil yang ditempatkan di sana. Desa itu, meskipun kecil, adalah titik strategis yang bisa menjadi sasaran empuk bagi para bangsawan yang berkhianat. Ia bertekad untuk memastikan desa itu aman dari ancaman.

Malam itu, suasana desa terasa tegang. Para prajurit berjaga-jaga di sepanjang jalan, sementara penduduk desa tetap di dalam rumah mereka, cemas menanti apa yang akan terjadi. Vincent berdiri di depan barak sementara, matanya mengawasi setiap gerakan di kegelapan malam.

Ketika malam semakin larut, suara langkah kaki yang tak beraturan mulai terdengar dari kejauhan. Vincent merapatkan genggaman pada pedangnya, matanya menyipit untuk menembus kegelapan. Tiba-tiba, sebuah suara teriakan keras memecah keheningan.

“Mereka datang!”

Dari bayangan malam, sekelompok prajurit muncul, mengenakan baju zirah yang mencerminkan cahaya bulan. Mereka bergerak cepat, langsung menyerang pertahanan desa. Vincent menghunus pedangnya, bersiap memimpin pasukannya.

“Jangan biarkan mereka menembus pertahanan kita!” teriak Vincent, memimpin serangan balasan.

Pertempuran pecah dengan cepat, senjata beradu dan teriakan perang menggema di udara. Vincent bergerak lincah di medan pertempuran, setiap tebasannya mematikan. Dia tahu bahwa ini hanyalah awal dari pertempuran yang lebih besar, tetapi dia harus memastikan bahwa desa ini tidak jatuh.

---

Setelah beberapa jam pertempuran sengit, pasukan musuh mulai mundur. Vincent dan pasukannya berhasil mempertahankan desa, tetapi dia tahu bahwa ini bukanlah akhir. Serangan ini hanyalah bagian dari rencana yang lebih besar, dan para bangsawan itu tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Vincent berdiri di tengah desa yang hancur sebagian, napasnya berat. Dia menatap pasukannya, yang lelah tetapi penuh semangat. “Kita telah menang malam ini, tapi ini belum berakhir,” katanya dengan suara tegas. “Mereka akan kembali, dan kita harus siap menghadapi apa pun yang datang.”

Arlen, yang tiba setelah pertempuran selesai, menepuk bahu Vincent. “Kita tidak bisa terus-menerus berada dalam posisi defensif. Kita harus mengambil langkah ofensif sebelum mereka bisa mengumpulkan lebih banyak kekuatan.”

Vincent mengangguk, setuju dengan saran Arlen. “Kita akan menghancurkan rencana mereka sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh. Ini adalah perang, dan kita tidak akan kalah.”

Dengan tekad yang semakin membara, Vincent dan Arlen mulai merencanakan serangan balik yang akan mengubah jalannya perang ini. Mereka tahu bahwa pertempuran berikutnya akan menentukan nasib kerajaan, dan mereka tidak akan membiarkan musuh mereka meraih kemenangan.

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang