18. Serangan Dalam Kegelapan

13 1 0
                                    

Hujan terus mengguyur, dan angin kencang melanda benteng Alaric. Suara petir menggelegar menambah ketegangan di dalam benteng. Vincent, dengan fokus penuh, mengawasi setiap gerakan di sekitar, merasa seperti predator yang siap memangsa. la tahu bahwa saat-saat seperti ini adalah waktu untuk bersikap waspada; setiap suara, setiap bayangan, bisa menjadi ancaman.

"Aku ingin semua pos penjagaan diaktifkan," perintahnya kepada para pengawalnya. "Setiap sudut harus diperiksa. Kita tidak bisa membiarkan ancaman masuk ke dalam benteng ini."

Sementara itu, di luar benteng, Arien dan pasukannya terus bergerak mendekati dinding batu yang kokoh. Badai menjadi sekutu mereka-suara gemuruh angin dan hujan yang lebat menutupi langkah-langkah mereka. Dalam hati, Arlen merasa tidak hanya terpicu oleh semangat pembalasan, tetapi juga oleh rasa kehilangan yang mendalam.

"Kita akan menyerang dalam sepuluh menit, Arlen memberi instruksi kepada pasukannya. "Ingat, kita bertarung bukan hanya untuk balas dendam, tetapi untuk menghormati keluarga kita yang telah tiada. Jangan biarkan mereka menginjak-injak harga diri kita."

Dengan ketegangan yang meningkat, mereka bergerak lebih dekat ke dinding benteng. Dengan peralatan yang mereka bawa, mereka bersiap untuk memanjat dan merangsek ke dalam. Mereka tahu bahwa kesempatan mereka terbatas; badai mungkin. memberi mereka perlindungan, tetapi itu juga bisa menjadi senjata dua sisi.

Di dalam benteng, Vincent merasakan ketidaknyamanan di dalam hatinya. Rasa curiga semakin menguat, dan ia berusaha menenangkan pikirannya. "Mungkin ini hanya dampak dari tekanan yang aku rasakan," gumamnya pada diri sendiri. Namun, intuisi yang tajam memberitahunya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Laporkan!" teriaknya kepada salah satu pengawal yang kembali setelah menyelidiki area luar. "Apa yang kau temukan?"

Pengawal itu tampak kehabisan napas. "Tuan, ada gerakan mencurigakan di sekitar dinding luar. Beberapa sosok tampak bergerak cepat, sepertinya, menuju ke arah benteng."

Vincent merasakan aliran adrenalin di dalam tubuhnya. "Siapkan senjata dan buat barikade di pintu masuk utama. Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk," perintahnya tegas.

Saat prajurit bersiap-siap, Vincent kembali menatap peta kerajaan di meja, merencanakan setiap langkah. "Kita harus menghadapi mereka. Kita tidak bisa terlihat lemah. Jika mereka berhasil memasuki benteng, reputasi kita akan hancur."

Di luar, Arlen dan pasukannya telah berhasil memanjat dinding dan kini berada di atap benteng. Mereka dengan cepat menuruni sisi dan mendarat di dalam halaman, berusaha agar tidak membuat suara. "Ayo, kita masuk ke dalam, Arlen berbisik kepada prajuritnya. "Kita harus cepat dan diam."

Setiap langkah mereka di tanah lembab terasa berharga. Ketika mereka mendekati pintu masuk, suara riuh dari dalam benteng mulai mengalun, menunjukkan bahwa Vincent dan pasukannya sedang bersiap untuk pertarungan. "Mereka sudah siap," kata salah satu prajurit.

"Siapkan senjata, Arlen memerintahkan, "dan ingat, kita tidak hanya bertarung untuk membalas dendam, tetapi untuk menghancurkan musuh kita."

Vincent memimpin para prajuritnya ke pintu masuk utama. Semua orang dalam keadaan siaga, mata mereka menyala dalam kegelapan malam. Vincent merasa tekanan di dadanya semakin berat, ini adalah saat yang menentukan.

Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar saat pintu besar benteng terbuka paksa. Arlen dan pasukannya menerobos masuk, teriakan perang menggema di dalam ruangan. "Serang!" teriak Arlen, semangat membara di wajahnya.

Vincent, tak ingin kalah, berteriak, "Bertahanlah! Jangan biarkan mereka masuk!"

Pertarungan meletus dengan cepat. Suara besi bertemu besi, teriakan, dan jeritan memenuhi udara. Vincent melawan dengan penuh semangat, mengayunkan pedangnya dengan keterampilan yang terasah, la menatap Arlen, yang tampak bertekad di tengah kekacauan. Di dalam pertarungan ini, Vincent merasakan gelora pertarungan dan semangat balas dendam yang meluap.

Meskipun hujan masih mengguyur di luar, suhu di dalam benteng semakin meningkat. Setiap sudut pertempuran menyisakan bekas luka-darah, peluh, dan semangat juang. Vincent bergerak lincah, mengelak dari serangan musuh dan membalas dengan serangan mematikan, la tahu bahwa jika ia kalah, semua yang telah dibangunnya akan hancur dalam sekejap.

"Jangan mundur!" teriak Vincent, menghasut semangat juang pasukannya. "Kita bertarung demi kehormatan kita! Kita tidak akan membiarkan mereka menghancurkan apa yang telah kita bangun!"

Namun, di tengah pertempuran yang berkecamuk, Vincent menyadari bahwa kekuatan musuh semakin besar. Arlen memimpin pasukannya dengan keberanian, tampaknya tidak takut menghadapi jumlah yang lebih besar. Vincent merasakan tekanan dari semua sisi, tetapi dia tetap berdiri teguh.

"Siapa yang berani melawan Alaric?" teriak Vincent, berusaha menakut-nakuti musuhnya. "Kau akan menyesal jika mengambil langkah inil"

Namun, Arlen tidak gentar. "Kami datang untuk membalas dendam! Keluarga kami tidak akan dilupakan!" jawabnya, sambil melancarkan serangan yang membuat Vincent terpaksa mundur.

Pertarungan terus berlanjut, dan saat Vincent melawan Arlen, dia mulai merasakan keraguan di dalam hatinya. Apakah ini semua hanya ambisi yang egois? Apakah semua orang yang berjuang melawan dia memiliki alasan yang sah? Pikiran ini membuatnya terguncang, tetapi ia menepisnya dan tetap fokus pada pertarungan.

Dengan satu gerakan cepat, Vincent berhasil menusuk Arlen, tetapi pemimpin musuh itu masih berdiri, meskipun luka yang cukup parah. "Kau tidak akan bisa menghentikan kamil Kami akan berjuang sampai akhir!" teriak Arlen, sebelum menyerang kembali dengan keberanian yang mengagumkan.

Setiap serangan mengingatkan Vincent akan perjuangan keluarganya dan masa lalunya. Kenangan akan ambisi dan balas dendam menyatu dengan rasa kehilangan dan penyesalan. Mungkin ada hal lain yang lebih besar dari kekuasaan yang harus dipertahankan.

Di luar, badai yang menggulung terus menerus menambah kegelapan. Suara petir menggema, seolah meramalkan konsekuensi dari pertarungan yang sedang berlangsung. Dengan setiap tebasan pedang, dengan setiap teriakan, nasib kerajaan dan semua yang ada di dalamnya menggantung di atas ketegangan ini.

Vincent, meskipun tertegun oleh kebangkitan semangat Arlen dan pengikutnya, menyadari bahwa untuk bertahan, ia perlu mengubah strategi. "Kita harus menggunakan semua yang kita miliki," pikirnya. "Ini adalah tentang bertahan hidup, bukan hanya ambisi."

Dengan pikiran ini, Vincent memanggil kembali pengawalnya, mempersiapkan diri untuk serangan balik. la tahu bahwa pertempuran ini akan menjadi momen penentu, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil alih apa yang telah ia bangun.

"Majul" teriak Vincent, melancarkan serangan bersama pasukannya. Dalam kegelapan malam yang disertai badai, pertarungan di antara mereka menjadi semakin intens. Setiap detik berharga, dan Vincent bertekad untuk bertahan-apa pun yang terjadi.

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang