10. Kemenangan Berdarah

24 2 0
                                    

Vincent dan Silas berdiri di tengah ruangan gelap, dikelilingi oleh pasukan kerangka penjaga yang jumlahnya puluhan. Setiap langkah yang diambil makhluk-makhluk mati itu terdengar seperti suara dentingan logam yang saling bergesekan, memekik di udara yang sepi. Senjata-senjata kuno yang mereka genggam tampak berkarat, tetapi ujung-ujungnya masih mematikan. Cahaya hijau redup yang bersinar dari rongga mata mereka mempertegas ancaman yang tersembunyi di dalam terowongan ini.

“Jangan biarkan mereka mengepung kita,” kata Vincent dengan suara rendah, namun jelas. “Fokus pada pusat energi mereka. Kita harus menghancurkan kutukan yang membuat mereka tetap hidup.”

Silas meneguk ludah, keringat dingin membasahi keningnya, tetapi ia mengangguk dengan tegas. “Mengerti, Tuan.”

Saat kerangka-kerangka itu mulai bergerak maju, Vincent merasakan adrenalinnya memuncak. Ia menyiapkan pisaunya, mencermati setiap gerakan musuh di depannya. Tidak seperti makhluk bayangan sebelumnya, kerangka ini memiliki tubuh fisik, tetapi pergerakan mereka yang lambat memberikan Vincent dan Silas sedikit keunggulan.

“Jangan biarkan dirimu terpojok,” bisik Vincent, melirik Silas yang menghunus pedang di sampingnya. “Jika mereka memojokkan kita, kita akan kehilangan kecepatan dan ruang untuk bergerak.”

Kerangka-kerangka itu tampak bergerak dengan kesadaran aneh, seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran yang sama. Mereka mengangkat senjata-senjata mereka, kapak besar, pedang panjang, dan tombak yang sudah lama berkarat, lalu menyerbu dengan gerakan kaku namun mematikan.

Vincent melompat ke samping, menghindari ayunan kapak besar yang hampir memecahkan lantai batu di tempat ia berdiri. Dengan kecepatan yang mematikan, ia berputar dan menebaskan pisau ke titik lemah di leher kerangka tersebut. Pisau itu menghantam tulang, memotongnya dengan sempurna, dan tengkorak kerangka itu jatuh, tubuhnya runtuh seketika menjadi tumpukan tulang yang tidak bernyawa.

Namun, tidak semua serangan semudah itu. Tiga kerangka lain mengayunkan pedang ke arahnya secara serentak, memaksanya mundur. Ia mengangkat tangannya, menangkis salah satu serangan dengan pisau, tetapi pedang kedua hampir mengenai tubuhnya. Silas melompat maju tepat waktu, menebas salah satu kerangka dari belakang.

“Tuan, hati-hati!” seru Silas, suaranya penuh ketegangan.

Vincent mengangguk, matanya masih fokus pada musuh di depannya. “Jaga punggungku. Aku akan mencari pusat energi mereka.”

Silas mengiyakan dan maju, mencoba memberikan Vincent cukup ruang untuk bergerak. Pisau Vincent berkilau dalam cahaya redup saat ia melesat cepat, memanfaatkan kecepatan dan kelincahannya untuk menyerang titik-titik vital kerangka. Namun, meskipun ia berhasil menghancurkan beberapa, jumlah mereka tampak tidak berkurang sama sekali.

“Ada sesuatu yang mengendalikan mereka,” pikir Vincent, tatapannya menyipit. “Jika kita tidak menemukan sumbernya, mereka akan terus bangkit kembali.”

Kerangka-kerangka itu bergerak semakin agresif, seolah-olah menyadari niat Vincent. Silas menangkis serangan tombak dari dua arah sekaligus, napasnya berat dan peluh membasahi wajahnya. Satu kerangka berhasil menebas lengannya dengan pedang, membuat Silas mengerang kesakitan.

“Tuan…! Mereka terlalu banyak!”

Vincent merasakan kemarahan menggelegak di dalam dadanya. Ia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Jika mereka tidak segera menemukan pusat energi yang mengendalikan kerangka-kerangka ini, baik ia maupun Silas tidak akan selamat. Ia memusatkan perhatiannya pada sekeliling, mencari tanda-tanda yang tidak biasa—apapun yang menunjukkan keberadaan sumber kekuatan kutukan ini.

Dan saat ia melihat sekeliling ruangan, matanya menangkap sesuatu di lantai—sebuah lingkaran kuno yang terukir di batu, hampir tersembunyi oleh puing-puing dan debu. Ukiran itu bersinar samar dengan cahaya hijau yang sama seperti yang bersinar dari mata kerangka. Itu adalah pusat kutukan!

“Silas! Jaga aku sebentar!” teriak Vincent, bergerak menuju lingkaran itu.

Silas, meskipun terluka, mengangguk dengan tegas. “Baik, Tuan! Pergi cepat!”

Vincent berlari menuju lingkaran sihir itu, menghindari serangan pedang dan kapak yang mengincar nyawanya. Ia mendekati ukiran itu, memperhatikan pola rumit di dalamnya. Cahaya hijau di lingkaran itu berdenyut, seolah-olah makhluk hidup yang sedang bernapas.

“Ini dia,” gumamnya pelan, mencengkeram pisaunya dengan erat. “Pusat dari semua kutukan ini.”

Dengan satu gerakan cepat, Vincent menusukkan pisau langsung ke tengah lingkaran. Cahaya hijau itu bergetar, berubah menjadi kilatan menyilaukan yang hampir membuat Vincent mundur. Ia menahan diri, mendorong pisaunya lebih dalam, dan lingkaran itu meledak dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.

Jeritan menggema di ruangan itu, bukan dari kerangka-kerangka, tetapi dari sesuatu yang lebih tua dan lebih mengerikan. Cahaya hijau di mata-mata kerangka mulai redup, tubuh-tubuh mereka bergetar hebat sebelum akhirnya runtuh satu per satu, menjadi tumpukan tulang mati yang tidak lagi bergerak.

Vincent menarik napas panjang, menatap lingkaran itu yang kini retak dan tidak bersinar lagi. Kerangka-kerangka itu tidak bergerak lagi, tanda bahwa kutukan yang mengikat mereka telah hancur.

“Kita berhasil,” katanya dengan nada datar, meskipun tubuhnya masih tegang.

Silas mendekat, terhuyung-huyung dengan napas terengah-engah. “Tuan… Tuan benar-benar… luar biasa…”

“Jangan lengah dulu,” kata Vincent, meskipun ia sedikit melunak. “Ini baru awal. Kita tidak tahu apa lagi yang menunggu di depan.”

Silas mengangguk, meskipun wajahnya tampak lega. “Setidaknya kita berhasil melewati ini, Tuan.”

Vincent tidak menjawab. Matanya kembali meneliti ruangan itu, memastikan bahwa tidak ada ancaman lain yang muncul. Namun, saat ia menoleh, pandangannya terhenti pada satu hal yang membuat hatinya berdebar—sebuah pintu batu yang sebelumnya tersembunyi oleh bayangan di ujung ruangan.

“Pintu itu…” gumamnya pelan.

Silas menoleh, mengikuti tatapan Vincent. “Apakah itu… jalur rahasia yang lain?”

Vincent berjalan mendekat, merasakan sesuatu yang aneh dari pintu tersebut. Tidak ada kunci atau pegangan, tetapi di atasnya terdapat simbol yang sama dengan lambang keluarganya. Hanya ada satu hal yang bisa mengaktifkan mekanisme pintu ini—darah dari garis keturunan Alaric.

Tanpa ragu, Vincent menggoreskan pisaunya ke telapak tangannya, membiarkan setetes darahnya jatuh ke simbol di pintu. Cahaya merah menyala dari lambang tersebut, dan pintu batu itu terbuka perlahan, memperlihatkan lorong sempit yang menuju ke arah utara.

“Ini dia,” kata Vincent, suaranya bergetar halus oleh emosi yang jarang terlihat. “Jalur rahasia yang akan membawa kita langsung ke benteng utama.”

Silas menatap pintu itu dengan kagum. “Kita… kita bisa tiba di utara lebih cepat dari yang kita duga.”

Vincent menatap ke dalam kegelapan lorong itu, matanya bersinar dengan tekad yang tak terbendung. “Ya. Dan ketika kita tiba di sana, Duke Arthen akan menyesali hari ketika ia mencoba menginjak wilayah Alaric.”

Dengan langkah tegas, Vincent melangkah ke dalam lorong, diikuti oleh Silas yang setia. Mereka telah berhasil menembus kegelapan terowongan, tetapi perjalanan mereka belum berakhir. Dan perang yang sebenarnya baru saja dimulai.

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang