13. Jatuhnya penghianat

18 1 0
                                    

Ruangan besar itu seketika dipenuhi ketegangan. Di satu sisi, Duke Arthen berdiri dengan senyum puas di wajahnya, dikelilingi oleh pasukan pribadinya. yang siap bertempur kapan saja. Di sisi lain, Vincent Alaric berdiri di lingkaran sihir dengan wajah dingin, tatapan matanya tak beralih sedikit pun dari Marshall-mantan komandan pasukan pribadinya yang sekarang berdiri di sisi musuh.

"Sejak kapan kau berkhianat, Marshall?" Vincent bertanya, suaranya begitu datar sehingga sulit ditebak apakah ia sedang marah atau hanya merasa muak.

Marshall menyeringai. "Sejak aku menyadari bahwa Duke Arthen menawarkan sesuatu yang lebih dari apa yang pernah bisa kau berikan, Tuan."

"Seperti.. emas?" tanya Vincent sinis, tangannya tetap beristirahat di pinggang, dekat dengan gagang pisau tersembunyi di balik mantelnya.

"Bukan hanya emas, Vincent," sahut Duke Arthen sambil tersenyum lebar. "Kekuasaan. Sesuatu yang kau pelitkan bahkan pada orang kepercayaanmu sendiri."

Vincent tidak membalas. Sebaliknya, ia menatap Marshall dalam-dalam, seolah mencari jawaban yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Marshall, yang dulu dia percayai sebagai salah satu prajurit paling setia, kini berdiri dengan senjata terhunus, siap menebasnya kapan saja.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Vincent akhirnya, tatapannya beralih ke Duke Arthen. "Kau punya pasukan, seorang pengkhianat, dan mungkin lebih banyak trik kotor yang belum kau tunjukkan. Kau pikir itu cukup untuk mengalahkanku?"

"Kami sudah cukup lama mengatur rencana ini, Alaric," kata Arthen dengan nada puas. "Kau sudah terpojok. Tidak ada jalan keluar bagimu."

Vincent mendengus pelan. "Kau benar. Aku tidak bisa lari, dan aku tidak punya pasukan. Tapi, Arthen..." la mengangkat cincin di jarinya, memperlihatkan benda itu dengan jelas di depan mata semua orang. "Kau terlalu meremehkanku."

Duke Arthen menegang, dan begitu juga Marshall. "Apa yang kau-?"

"Bahkan pengkhianatmu tidak tahu apa-apa," potong Vincent, matanya menatap tajam pada Marshall. "Kau pikir aku tidak tahu rencana kalian? Apa menurutmu aku tidak menyadari pergerakan pasukan yang aneh beberapa bulan terakhir?"

Marshall tampak terkejut, ekspresinya berusaha untuk tetap tenang, tetapi kegelisahan mulai tampak. "Kau berbohong. Kau tidak tahu apa-apa."

"Benarkah?" Vincent tertawa pendek, suara tawanya penuh dengan penghinaan, "Aku tahu segalanya, Marshall. Aku tahu siapa yang bersekongkol dengan siapa, siapa yang dibayar oleh Arthen, dan siapa yang hanya menunggu waktu untuk menusukku dari belakang."

"Apa maksudmu?" Marshall menggertakkan giginya.

Vincent mengarahkan tatapannya ke Duke Arthen. "Apa kau pikir aku tidak mempersiapkan diriku? Kau mungkin berpikir bahwa cincin ini hanyalah sebuah ancaman kosong, tetapi sebenarnya, ini lebih dari sekadar pemicu bahan peledak."

Tatapan Marshall beralih dari cincin itu ke wajah Vincent dengan ekspresi tidak percaya. "Kau tidak mungkin....

"Kau terlalu meremehkanku, Marshall" Vincent mengulangi dengan nada yang lebih rendah. "Cincin ini bukan hanya pemicu peledak, tetapi juga penanda untuk sesuatu yang lebih besar-sesuatu yang akan menghancurkan rencanamu, dan semua yang kau bangun bersama Arthen."

Sebelum Marshall bisa merespon, suara gemuruh keras terdengar dari luar benteng. Seluruh ruangan bergetar, dan para prajurit segera melihat ke sekeliling dengan waspada. Wajah Duke Arthen memucat ketika lantai di bawah mereka mulai bergetar lebih keras, diikuti oleh suara ledakan yang menggema dari berbagai arah.

"Apa yang terjadi?" teriak salah satu penjaga, suaranya penuh dengan ketakutan.

Vincent tersenyum dingin. "Yang kau dengar adalah kehancuran benteng ini. Pasukanku sudah bersiap untuk menyerang dari dalam, menghancurkan seluruh struktur utama. Sementara kau memusatkan perhatianmu padaku, aku sudah menyelundupkan orang-orangku ke dalam markasmu, menghancurkan pondasi dan melemahkan dinding-dinding pertahananmu."

Arthen menoleh dengan panik ke arah Marshall. "Apa maksudnya ini? Bukankah kau bilang kau sudah mengendalikan semua pergerakannya?"

Marshall tertegun, matanya membelalak. "Aku... Aku tidak tahu... Aku tidak menyadari bahwa dia punya pasukan lain."

"Kau terlalu bodoh, Marshall," kata Vincent pelan, penuh penghinaan. "Aku tidak pernah mempercayakan seluruh kekuatanku pada satu orang. Sementara kau dan Arthen sibuk mengatur pengkhianatan, aku juga memantau gerakanmu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan semuanya dalam sekali pukul."

Duke Arthen mundur selangkah, wajahnya kini penuh dengan kengerian. "Tidak... Ini tidak mungkin. Ini-"

"Kemungkinan selalu ada, Arthen, selama kau tidak tahu siapa lawanmu sebenarnya," potong Vincent dengan tatapan tajam. "Kau pikir aku hanyalah pewaris gelar kosong? Kau pikir aku tidak punya kemampuan untuk memimpin? Maka, biar kuberitahu kau satu hal.."

Dengan gerakan cepat, Vincent menjentikkan jarinya, dan seketika, sebuah ledakan besar terdengar dari balik dinding ruang tahta. Asap dan puing-puing berterbangan, menyebabkan beberapa penjaga terlempar ke tanah. Ketika asap mulai mereda, pasukan bersenjata lengkap dengan lambang keluarga Alaric mulai bermunculan, menyerbu masuk ke ruang tahta dari segala arah.

"Mereka sudah ada di sini?" bisik Marshall dengan wajah pucat.

Benar," jawab Vincent datar. "Aku sudah memprediksi pengkhianatanmu sejak lama. Dan sekarang, kalian semua-baik kau, Marshall, maupun Arthen-tidak akan keluar hidup-hidup dari sini."

"Serang!" Duke Arthen berteriak panik, menarik pedangnya. Tetapi sebelum dia sempat bergerak, sebuah bayangan bergerak cepat dari belakang, dan dalam sekejap, sebuah pedang panjang menembus dadanya.

"Argh!" Arthen terhuyung, darah mengalir dari mulutnya, la menoleh, matanya melebar saat melihat wajah yang dikenalinya.

Silas, dengan wajah yang penuh kebencian, mendorong pedangnya lebih dalam. "Ini untuk semua pengkhianatan yang kau lakukan pada keluargaku."

Arthen jatuh berlutut, tubuhnya bergetar sebelum akhirnya terkulai di lantai, darah menggenang di sekitarnya. Seluruh ruang tahta kini dipenuhi suara dentingan senjata dan jeritan prajurit yang panik.

Marshall menoleh, mencoba melarikan diri, tetapi langkahnya terhenti ketika Vincent mengayunkan pisaunya dengan cepat, memotong jalur mundurnya. "Kau tidak akan kemana-mana, Marshall."

"Kau... monster..." Marshall tersentak, suaranyapenuh kebencian. "Kau merencanakan ini dari awal."

"Benar," jawab Vincent tenang. "Dan sekarang, kau akan mati seperti anjing yang kau pilih untuk menjadi."

Dengan satu gerakan cepat, Vincent mengayunkan pisaunya, menyayat leher Marshall. Pria itu terhuyung, matanya terbuka lebar saat darah menyembur keluar, dan akhirnya terjatuh di samping tubuh Duke Arthen yang sudah tak bernyawa.

Kericuhan di ruang tahta mulai mereda. Pasukan Vincent telah menguasai tempat itu sepenuhnya, meninggalkan hanya mayat-mayat musuh dan pengkhianat yang bergelimpangan di lantai.

Vincent menghela napas panjang, menatap sekeliling. Wajahnya dingin, tanpa emosi. "Bersihkan tempat ini. Tidak boleh ada yang tersisa."

Silas mengangguk. "Akan segera dilakukan, Tuan."

Ketika Vincent berbalik, meninggalkan ruang tahta yang kini hanya berisi kehancuran dan kematian, hanya satu pikiran yang menguasai benaknya: permainan ini mungkin telah berakhir, tetapi masih banyak musuh yang harus dihancurkan. Dan ia tidak akan berhenti sampai semua lawannya tunduk di bawah kaki kekuasaannya.

Permainan baru saja dimulai.

The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang