Makhluk itu melangkah maju, tubuhnya tampak bergelombang seperti asap tebal yang tak terdefinisi. Mata merahnya yang bersinar menatap Vincent dan Silas dengan niat jahat yang tak terlukiskan. Tawa seraknya bergema di ruangan yang luas, menciptakan gema yang menakutkan di antara patung-patung tua yang berdiri membisu di sekeliling mereka.
“Apa ini, Tuan?” Silas bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan yang tidak biasa.
Vincent tidak menjawab. Tubuhnya tegang, pisau pendek di tangannya terangkat tinggi. Sebagai seorang yang telah bertransmigrasi ke dunia ini, Vincent tidak asing dengan makhluk-makhluk aneh. Namun, ini adalah pertama kalinya ia melihat sesuatu yang tampaknya lebih dari sekadar monster biasa. Ada aura kegelapan purba yang menyelubungi sosok itu, seolah-olah ia adalah bagian dari terowongan ini.
“Makhluk bayangan,” kata Vincent perlahan, tatapannya tidak lepas dari mata merah makhluk itu. “Salah satu penjaga kuno dari terowongan ini, mungkin sisa-sisa dari penguasa yang pernah menggunakan jalur ini berabad-abad lalu.”
Makhluk itu bergerak lebih dekat, tangannya—atau apa pun yang menyerupai tangan—terulur ke arah mereka. Silas mundur beberapa langkah, keringat dingin membasahi dahinya.
“Kita tidak bisa lari darinya, Tuan,” bisik Silas. “Terowongan ini hanya punya satu jalur keluar.”
Vincent tahu bahwa lari bukanlah pilihan. Ruangan ini adalah tempat persinggahan yang terakhir aman sebelum jalan terowongan bercabang menjadi labirin berbahaya. Jika mereka meninggalkan ruangan ini tanpa menyelesaikan ancaman di depan mereka, ada kemungkinan besar mereka akan tersesat dalam kegelapan, dikejar oleh makhluk ini sampai akhir hidup mereka.
“Bersiaplah,” bisik Vincent. “Kita akan melawan.”
Makhluk bayangan itu tampaknya mengerti bahwa mangsanya tidak akan melarikan diri. Tawa seraknya memudar menjadi desisan rendah, lalu ia bergerak dengan kecepatan yang tidak terduga, meluncur ke arah Vincent dengan kekuatan mengerikan. Vincent bereaksi secepat kilat, berputar ke samping dan mengayunkan pisaunya ke arah makhluk itu. Namun, pisau tajam itu menembus tubuh bayangannya tanpa efek apa pun, seolah-olah memotong asap tebal.
“Ini tidak bisa disentuh!” teriak Silas, matanya melebar saat melihat serangan Vincent yang sia-sia.
Makhluk itu berputar, bayangannya memanjang dan menyerupai cakar tajam yang mengarah langsung ke dada Vincent. Duke muda itu melompat mundur dengan lincah, tetapi cakar itu tetap berhasil menggores bahunya, meninggalkan rasa sakit membakar yang menusuk. Ia mendengus, menahan rasa sakit sambil menatap bayangan itu dengan ekspresi penuh kebencian.
“Ini bukan sekadar bayangan biasa,” pikir Vincent, tatapannya semakin tajam. “Ini mungkin memiliki wujud fisik yang tersembunyi di dalam kegelapan. Kita hanya harus menemukannya.”
Ia berbalik ke arah Silas, yang masih memegang pedang dengan tangan gemetar. “Silas, nyalakan lebih banyak obor! Kita harus mencerahkan ruangan ini.”
Silas tampak bingung sesaat, tetapi ia segera mengerti. Dengan cepat, ia menyalakan obor-obor tambahan yang mereka bawa, melemparkannya ke lantai di sekitar mereka. Cahaya dari obor-obor itu mulai mengisi ruangan yang sebelumnya dipenuhi kegelapan, membuat makhluk bayangan itu tampak semakin gelisah. Sosoknya, yang tadinya tampak solid, mulai bergetar dan memudar, seakan tidak tahan berada di bawah sorotan cahaya.
“Jadi itu kelemahannya,” gumam Vincent dingin, seulas senyuman kejam muncul di bibirnya.
Makhluk itu melengking marah, suara seraknya berubah menjadi pekikan yang memekakkan telinga. Ia meluncur ke arah Vincent lagi, tetapi kali ini Vincent sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan pisaunya lagi, tetapi kali ini targetnya bukan tubuh bayangan yang tak tersentuh itu. Vincent menyerang langsung ke titik tengah sosok itu, menembus apa yang tampaknya adalah pusat energi dari makhluk tersebut.
Jeritan makhluk itu menggema di seluruh ruangan saat cahaya pisau Vincent menyentuh intinya—sebuah bola energi gelap yang tersembunyi di dalam kegelapan. Dalam sekejap, tubuh bayangannya mulai retak dan pecah, bayangan-bayangannya terurai menjadi asap hitam yang lenyap di udara.
Makhluk itu mengerang untuk terakhir kalinya sebelum menghilang sepenuhnya, meninggalkan ruangan itu kembali dalam keheningan yang mencekam.
Vincent menurunkan pisaunya, napasnya berat namun tetap tenang. Bahunya berdenyut nyeri, tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Silas mendekat, matanya melebar penuh kekaguman.
“Anda berhasil… Anda benar-benar berhasil, Tuan!” serunya, meskipun suaranya masih terdengar sedikit gemetar.
Vincent mengangguk pelan, menatap ruangan itu dengan tatapan penuh pertimbangan. “Ini baru awalnya. Makhluk-makhluk ini mungkin masih ada di sepanjang jalur terowongan. Kita harus tetap waspada.”
Silas mengangguk setuju, lalu dengan cepat mengambil sisa perbekalan dan menyiapkan obor-obor tambahan. Meskipun mereka telah mengalahkan satu ancaman, ada kemungkinan besar mereka akan bertemu dengan makhluk yang lebih berbahaya di sepanjang jalan.
“Kita harus terus maju,” kata Vincent akhirnya. “Semakin lama kita terhenti, semakin besar peluang musuh mengepung wilayah kita.”
Dengan hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan melalui terowongan. Setiap langkah mereka diiringi dengan gemerisik aneh yang berasal dari dinding-dinding tua dan langit-langit yang tampaknya rapuh. Vincent terus memantau peta, memastikan mereka tetap berada di jalur yang benar.
Namun, saat mereka melangkah lebih dalam, ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Suasana di terowongan itu berubah—udara semakin berat dan lembap, dan suara gemerisik itu kini terdengar lebih jelas, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di sekitar mereka, mengikuti dari kegelapan.
“Silas, berhenti,” kata Vincent tiba-tiba.
Silas langsung berhenti, matanya waspada menatap sekeliling. “Apa yang Anda lihat, Tuan?”
Vincent menyipitkan matanya, mendengarkan dengan saksama. Lalu, dari balik bayangan di depan mereka, suara berderak yang aneh terdengar. Itu bukan suara makhluk bayangan seperti sebelumnya, melainkan sesuatu yang lebih nyata—seperti suara tulang-tulang yang bergerak.
“Ini bukan makhluk bayangan,” kata Vincent pelan. “Ini… makhluk fisik.”
Dan saat itu juga, sosok-sosok besar muncul dari kegelapan. Rangka-rangka manusia yang ditutupi oleh lumut dan debu, berjalan dengan gerakan kaku namun berbahaya. Mata mereka bersinar hijau dalam kegelapan, dan senjata-senjata kuno di tangan mereka berkilauan di bawah cahaya obor.
“Kerangka penjaga,” gumam Vincent, tatapannya berubah tajam. “Penjaga terowongan yang dikutuk untuk menjaga tempat ini selamanya.”
Silas meneguk ludah, mengangkat pedangnya dengan tangan gemetar. “Apa yang harus kita lakukan, Tuan? Mereka terlalu banyak.”
Vincent menatap pasukan kerangka yang berdiri di depan mereka, jumlahnya puluhan, bergerak maju perlahan-lahan, mengelilingi mereka dari segala arah.
“Kita lakukan seperti sebelumnya,” jawab Vincent, suara dinginnya penuh ketegasan. “Hancurkan pusat energi mereka. Jika kita berhasil memutus kutukan ini, mereka akan runtuh.”
Dan saat kerangka-kerangka itu mulai bergerak ke arah mereka, Vincent dan Silas bersiap untuk menghadapi pertempuran yang paling berbahaya di sepanjang perjalanan mereka sejauh ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne Of Secrets And Iron 〘TAMAT〙
FantasiaKetika seorang pria tak berperasaan dari dunia modern terbangun dalam tubuh Duke Vincent, seorang bangsawan muda yang terkenal karena kebrutalannya, ia mendapati dirinya berada di pusat permainan politik yang mematikan. Di kerajaan yang penuh dengan...