SS 2 Ch 7: Jian

31 5 2
                                    

Helloo~~ Lama kali gak update. Tapi sekarang udah update hehehee

Enjooyy~~

***

"Biru, nonton yuk. Ada film bagus nih." 

Jian berkata sambil merenggangkan kedua tangannya. Jam hampir menunjukkan jam lima sore. Saatnya menyudahi rutinitas yang menyakitkan mata. Biru juga sudah mematikan komputer dan merapikan barang-barangnya. Tak banyak sih, cuma handphone, charger, dan tumblr. Gitu gitu Biru banyak minum air putih.

Ia menimbang ajakan Jian. Ia tak ada janji dengan siapapun sih. Tapi, ia merasa Langit pasti sudah menunggu di lobby. Beberapa waktu terakhir ini ia selalu begitu. Menunggunya di lobby dan mengajaknya pulang bersama. Biru tak memiliki kendaraan disini. Ia selalu memakai transportasi umum, atau ojek online. Ia tak suka mengendarai kendaraan sendiri. Apalagi di kota yang super sering macet ini. Sebaliknya, Langit selalu membawa mobilnya. Jadi, Biru mau mau saja kalau Langit menawarkan tumpangan. Awalnya, ia menolak setelah tau apartemen Langit berlawanan arah dengannya. Namun, karena Langit selalu memaksa, ia turuti saja.

"Ayolah, pleasee. Gue yang bayar deh." Biru ingin menolak tapi melihat wajah Jian yang memelas akhirny ia mengiyakan.

"Ayok deh. Tapi beneran lu bayar ya."

"Bisa diatur." 

***

Saat mereka keluar dari pintu lobby, Biru melihat orang yang tak asing. Dugaannya tak meleset sama sekali. Langit sudah menunggunya. Ia menghela napas. Langit tersenyum lebar ketika melihatnya, tapi senyumnya pudar ketika melihat seseorang yang berjalan di samping Biru. Ada rasa sebal di hatinya ketika orang itu berdiri terlalu dekat di samping Biru dengan ekspresi yang ceria. 

Biru bisa merasakan itu. Tatapan tajam Langit ke Jian seperti menandakan perang akan dimulai.

"Kak Langit?" karena sudah terlanjur saling melihat, Biru menyapanya.

Langit tak menjawab hanya menatap Jian tajam. Biru tak suka sikap Langit yang seperti ini. Jian yang menyadari dirinya ditatap seperti itu merasa aneh. Dia tak tau siapa Langit. Mungkin Jian pernah melihatnya tapi ia tak inga. Dengan canggung, Jian menyapa Langit.

"H--hai?"

Langit kini menatap Biru dengan pandangan yang masih tajam. Seperti bertanya siapa orang di sampingnya.

Biru dengan gugup memperkenalkan mereka.

"oh, Jian, ini Kak Langit, teman lama gue di kampus. Dan Kak Langit, ini Jian, teman satu divisi gue." Langit jelas tak suka dengan cara Biru memperkenalkannya. Apalagi dia tak menggunakan panggilan aku kamu  seperti sebelumnya. 

Sedang, Jian hanya ber-oh dan mengangguk sembari tersenyum manis kepada Langit. Berharap Langit akan bersikap lebih ramah kepadanya. Tapi, sepertinya harapan Jian tidak terkabul karena Langit masih memandangnya sinis.

"Udah? ayo pulang." Langit hendak menarik tangan Biru tapi Biru lebih dulu menghindar.

"Sorry kak, gue ada janji sama Jian. Gue pulang sama Jian aja nanti."

Walaupun Langit terlihat kecewa dan marah, Biru tak merasa bersalah. Tentu saja tidak. Kan Langit tak bilang apa-apa padanya. 

Tapi, bukan Langit kalau langsung ngeiyain.

Langit jelas tak senang dengan jawaban Biru. "Janji sama Jian? Janji apaan?"tanyanya. Lebih seperti menginterogasi.

Biru menarik napas panjang, mencoba menjaga ketenangannya. "Mau nonton film, udah direncanain dari tadi" jawabnya berusaha terlihat santai.

Jian, yang merasa suasana semakin tegang, mencoba mencairkan situasi. "Iya, Kak Langit. Kita mau nonton bareng. Gue udah pengin nonton film ini dari kemarin dan belum sempet. Tadi gue ajak Biru buat nemenin." Jian dalam hati bertanya-tanya kenapa dia harus jelasin panjang kali lebar kapada orang di depannya.

Langit tetap tidak bergeming, matanya tajam menatap Jian sebelum kembali ke Biru. "Lo nggak bilang apa-apa soal ini ke gue."

Biru mengangkat bahu. "Karena nggak ada yang perlu gue bilang."

Langit terdiam, rahangnya terlihat mengeras. "Biru," katanya perlahan, suaranya dalam, "gue udah di sini buat jemput lo. Gue pikir, lo bakal pulang sama gue."

"Dan gue pikir, Kak Langit bakal bilang dulu kalau mau jemput gue," balas Biru dengan nada datar. "Tapi lo nggak bilang apa-apa."

Jian menggeser posisi sedikit, merasa tidak enak menjadi penonton dalam ketegangan ini. "Eh, kalau Kak Langit mau, kita bisa nonton bareng kok bertiga. Nggak masalah buat gue."

"Nggak mau," jawab Langit cepat, hampir seperti menolak mentah-mentah. "Biru harus pulang sama gue."

Biru menggeleng, tegas. "Kak, gue nggak suka kalau lo maksa kayak gini. Gue udah janji sama Jian, dan gue bakal nepatin."

Langit menatap Biru dengan kecewa, tapi tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu kalau ia terus memaksa, Biru hanya akan semakin menjauh. Dengan napas berat, ia akhirnya melangkah mundur. 

"Oke," katanya, suaranya pelan tapi penuh dengan emosi yang tertahan. "Kalau gitu, hati-hati."

Biru hanya mengangguk. "Thanks, Kak. Gue pulang sama Jian."

Langit tak menjawab lagi, hanya memandangi Biru dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum akhirnya berbalik dan pergi.

Ketika Langit menghilang dari pandangan, Jian menghembuskan napas pelan. "Wah, itu...siapa sih? Dia kayaknya nggak suka banget gue deket sama lo."

Biru tersenyum kecil, meski wajahnya terlihat lelah. "Dia emang gitu."

"Dia siapa sih?"

Biru tak menjawab.

Jian menatap Biru dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Gue penasaran, loh," katanya sambil melipat tangan di dada. "Dia siapa? Mantan lo ya?"

Biru hanya menghela napas, mencoba menghindari pertanyaan itu. "Udah, Jian. Jangan kepo. Gue lagi nggak mau bahas."

Jian mendesah, tapi ia tahu Biru memang tipe yang sulit untuk ditekan kalau sudah tidak mau bicara. "Oke, oke. Gue nggak bakal maksa, kok. Tapi kalau gue tebak-tebak, terus gue bener, lo nggak boleh marah, ya?"

Biru tertawa kecil, meski ia tahu Jian serius. "Lo serius banget, sih. Udah, ayo kita cabut. Jadi nonton nggak nih?"

"Iya, iya, jadi. Tapi jangan kaget kalau nanti di bioskop gue kepikiran buat nebak lagi," Jian berkata sambil menyeringai jahil.

Biru hanya menggeleng, memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh. Mereka berdua akhirnya berjalan menuju tempat parkir, suasana kembali cair setelah percakapan yang sebelumnya terasa tegang.

Namun, di sisi lain, Langit yang masih berada di sekitar gedung kantor tak benar-benar pergi. Dari dalam mobilnya, ia memperhatikan Biru dan Jian yang berjalan bersama. Rahangnya mengeras, dan ia mengepalkan tangan di setir dengan erat.

***

Sekarang tau kan kenapa Biru nggak mau balikan sama Langit? wahahaha

Anyway, happy new year 2025.

Ternyata gk bisa nepatin janji buat namatin book ini sebelum 2025. Yahahaa. Tapi, ini udah selesai nyusun semuaa jadi tinggal edit edit ajaa. Soon tamatt, semoga bisa tiap hari update biar cepet tamat wahahaha

Sebenarnya udah pengin up book baru dan bikin fanfict jugaa, huhuhu~~

Next book pengin buat yang agak berat dikit, tapiii masih berpikir soalnya author lebih suka yang smooth dan fluffy kek smoothie

[BL] Langit dan Biru || lokal bxbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang