Langit sore memancarkan warna jingga keemasan saat Anton berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui. Pekerjaannya sebagai desainer grafis di kota sering membuatnya terjebak dalam rutinitas yang menyesakkan. Namun, ada satu hal yang membuat hari-harinya terasa lebih ringan: jalan setapak menuju danau kecil di pinggiran kota.
Di danau itulah ia merasa hidup melambat. Tidak ada suara bising kendaraan atau ponsel yang terus berbunyi. Hanya ada gemericik air, suara angin yang berhembus lembut, dan sesekali kicauan burung. Danau itu menjadi tempat Anton melarikan diri, membawa kanvas dan cat airnya, mencoba menangkap ketenangan yang jarang ia temukan di tempat lain.
Namun sore ini, ada sesuatu yang berbeda. Di tepi danau, seseorang sedang duduk di atas batu besar, membelakangi Anton. Rambut panjangnya bergoyang ditiup angin. Ia tampak memegang sesuatu-sebuah buku catatan.
Anton berhenti melangkah, merasa ragu. Tempat ini jarang dikunjungi orang lain. Ia memutuskan untuk tetap berjalan, berharap keberadaannya tidak mengganggu. Namun, saat ia melewati gadis itu, ia mendengar suara lembut.
"Kau sering datang ke sini, ya?"
Anton terkejut, tapi ia mengangguk perlahan. Gadis itu menoleh, tersenyum kecil. Wajahnya terlihat ramah, dengan mata yang memancarkan ketenangan.
"Tempat ini istimewa, bukan?" tanyanya lagi.
"Iya," jawab Anton pendek. Ia tidak terbiasa berbicara dengan orang asing, apalagi di tempat yang biasanya menjadi ruang pribadinya.
Gadis itu tidak berkata apa-apa lagi, hanya kembali menulis di bukunya. Anton melanjutkan langkahnya ke tempat biasa, di bawah pohon besar yang teduh. Namun, sesekali, matanya melirik ke arah gadis itu. Ia penasaran, tetapi tidak tahu bagaimana caranya memulai percakapan.
Saat matahari mulai tenggelam, gadis itu berdiri, merapikan bukunya, lalu berjalan pergi tanpa berkata-kata lagi. Anton memperhatikannya dari kejauhan. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan kehadirannya.
Hari itu, Anton tidak tahu bahwa pertemuan singkat itu akan mengubah hidupnya.
Hari berikutnya, Anton kembali ke danau dengan perlengkapannya. Saat ia sampai, gadis itu sudah ada di sana lagi, duduk di atas batu besar yang sama. Kali ini, ia tampak lebih santai, dengan kaki yang menggantung ke arah air.
Anton berdehem kecil, mencoba memastikan kehadirannya tidak mengejutkan. Gadis itu menoleh dan tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar.
"Kau suka melukis, ya?" tanyanya, matanya melirik kanvas yang Anton bawa.
Anton mengangguk sambil mengeluarkan perlengkapan cat airnya. "Hanya untuk mengisi waktu."
Gadis itu tertawa kecil. "Kau melukis hanya untuk mengisi waktu, tapi aku menulis untuk mengosongkan pikiran."
Anton berhenti sebentar, tertarik dengan pernyataannya. "Mengosongkan pikiran? Kenapa harus dikosongkan?"
"Karena kadang, terlalu banyak suara di kepala," jawabnya, sambil memainkan ujung buku catatannya. "Menulis adalah caraku... mendiamkan mereka."
Anton tak menjawab, tetapi matanya memandang gadis itu dengan rasa penasaran yang tak bisa ia sembunyikan. Ia merasa, untuk pertama kalinya, kata-kata seseorang benar-benar menggambarkan sesuatu yang pernah ia rasakan-sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Aku Melati, by the way," ujar gadis itu, memecah keheningan.
"Anton," jawabnya singkat.
"Anton." Melati mengulangi namanya dengan nada lembut, seperti sedang mencicipi bunyi namanya di lidah. "Nama yang kuat. Seperti nama pahlawan."
Anton tersenyum tipis. "Aku rasa itu berlebihan. Aku cuma orang biasa."
Melati menatapnya sejenak, seolah ingin menyelami makna di balik kata-kata Anton. Lalu ia menggeser posisi duduknya sedikit, mendekat ke arah Anton. "Orang biasa kadang punya cerita yang luar biasa."
Anton terdiam. Bukan karena ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi karena ia jarang mendengar kata-kata seperti itu diarahkan padanya. Biasanya, orang lain hanya berbicara tentang hal-hal biasa: pekerjaan, uang, atau rencana akhir pekan.
"Kau sering datang ke sini?" tanya Anton akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Melati mengangguk. "Baru beberapa minggu ini. Aku pindah ke daerah ini untuk... mencari sesuatu."
"Mencari apa?"
Melati mengangkat bahu, memandang ke arah air. "Aku belum tahu. Tapi aku merasa tempat ini bisa memberiku jawaban."
Anton tidak bertanya lebih jauh. Ia mengerti rasanya mencari sesuatu yang tidak jelas, hanya untuk menemukan kedamaian di tempat yang tidak disangka-sangka. Ia melanjutkan melukisnya, mencoba menangkap refleksi pohon di permukaan danau.
"Boleh aku lihat?" tanya Melati, mengintip ke arah kanvas.
Anton ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangkat kanvasnya agar Melati bisa melihat.
"Oh, ini cantik," katanya dengan tulus. "Kau bahkan menangkap bayangan awan di air. Bagaimana kau bisa memperhatikan detail seperti itu?"
Anton menggaruk tengkuknya, merasa sedikit canggung. "Aku hanya... memperhatikan. Kadang detail kecil adalah bagian terbaik."
Melati tersenyum lagi, tetapi kali ini lebih dalam. "Aku suka cara berpikirmu, Anton."
Anton tidak menjawab, tetapi senyum tipis kembali menghiasi wajahnya. Hari itu, mereka menghabiskan waktu dalam keheningan, dengan sesekali pertukaran kata-kata sederhana. Namun, bagi Anton, kehadiran Melati membawa sesuatu yang baru-sebuah rasa nyaman yang tidak ia temukan di tempat lain.
Ketika senja mulai tiba, Melati berdiri dan menepuk tangannya untuk membersihkan debu. "Aku harus pergi," katanya, memegang buku catatannya erat.
Anton hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi sesuatu dalam dirinya berharap Melati akan kembali lagi.
Dan ia benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing