Setelah membaca buku kecil Anton, Melati merasa ada sesuatu yang berubah. Bukan sesuatu yang besar, tetapi seperti riak di permukaan air yang meluas perlahan. Ia merasa lebih terhubung, tidak hanya dengan Anton, tetapi juga dengan dirinya sendiri.
Hari-hari berikutnya, mereka tetap menjalani hidup masing-masing, tetapi percakapan di antara mereka menjadi lebih mendalam. Setiap diskusi terasa seperti eksplorasi baru—tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal kecil yang sering terlupakan.
Suatu sore, Melati mengajak Anton ke sebuah kafe kecil di tengah kota, tempat favoritnya untuk menulis dan membaca.
“Aku ingin menunjukkan tempat yang berarti bagiku kali ini,” katanya saat mereka tiba.
Kafe itu sederhana, dengan dinding kayu dan jendela besar yang memancarkan cahaya matahari sore. Di sudutnya, ada rak buku yang penuh dengan novel lama, dan suara musik akustik mengisi ruangan dengan suasana damai.
“Kamu sering ke sini?” tanya Anton sambil memandangi ruangan itu.
Melati mengangguk. “Dulu aku sering datang ke sini untuk menenangkan diri. Rasanya seperti tempat pelarian kecilku dari dunia.”
Anton tersenyum, memahami apa yang Melati rasakan. Mereka memilih meja di dekat jendela, dan Melati memesan teh hijau sementara Anton memesan kopi hitam.
Saat minuman mereka datang, Melati mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasnya. Ia meletakkannya di meja di hadapan Anton.
“Aku juga menulis,” katanya pelan, sedikit gugup.
Anton memandang buku itu dengan rasa penasaran. “Boleh aku lihat?”
Melati mengangguk, meskipun ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang.
Anton membuka halaman pertama, membaca dengan hati-hati. Tulisan Melati sederhana tetapi penuh perasaan, menceritakan pengalaman-pengalaman kecil yang membentuk cara pandangnya tentang kehidupan. Ada satu bagian yang menarik perhatian Anton:
“Ada saat-saat ketika aku merasa hidup ini terlalu berat, tetapi kemudian aku bertemu dengan orang-orang yang mengingatkanku bahwa ada keindahan dalam kesederhanaan. Mereka tidak selalu berkata banyak, tetapi kehadiran mereka cukup untuk membuatku bertahan.”
Anton menutup buku itu perlahan dan menatap Melati. “Ini indah,” katanya dengan tulus. “Tulisanmu penuh makna.”
Melati tersenyum malu. “Aku tidak pernah berpikir itu cukup baik.”
“Tapi itu lebih dari cukup,” balas Anton. “Kamu menulis dengan jujur, dan itu yang membuatnya istimewa.”
Percakapan mereka berlanjut hingga malam, membahas mimpi-mimpi yang ingin mereka capai dan bagaimana tulisan bisa menjadi cara mereka mengekspresikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing