Melati duduk di atas batu besar di tepi danau, wajahnya menghadap hamparan air yang tenang. Anton berada beberapa meter darinya, memegang ranting kecil yang ia gunakan untuk menggambar pola-pola abstrak di pasir basah. Tidak ada kata-kata di antara mereka, hanya suara alam—gemerisik daun diterpa angin, burung yang berkicau di kejauhan, dan sesekali bunyi riak kecil saat ikan melompat ke permukaan.
Melati memejamkan mata, merasakan angin lembut menyentuh wajahnya. Tapi pikirannya terus berputar, seperti air yang tak pernah benar-benar diam di dasar danau. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada Anton, namun lidahnya terasa berat. Ia terbiasa menyimpan segala rasa dalam-dalam, takut menjadi beban bagi orang lain.
Anton, di sisi lain, tidak pernah memaksa. Ia tahu Melati butuh waktu. Sikapnya seperti danau itu sendiri: luas, sabar, dan menerima.
“Air ini kelihatannya tenang, ya,” ujar Anton akhirnya, memecah keheningan. Suaranya pelan, hampir seperti ia berbicara kepada dirinya sendiri.
Melati membuka mata dan menoleh. “Padahal, di bawahnya pasti ada arus yang terus bergerak.”
Anton tersenyum kecil, mengangguk setuju. “Seperti kita.”
Melati terdiam sejenak, lalu bertanya, “Maksudmu?”
Anton berdiri, melangkah mendekati air dan memandang ke permukaan yang memantulkan bayangannya. “Kita sering kelihatan tenang dari luar, tapi di dalam, banyak hal yang belum selesai. Banyak hal yang terus bergejolak.”
Melati merasakan sesuatu di dalam dirinya tersentuh. Kata-kata Anton selalu sederhana, tetapi penuh makna. Ia menunduk, melihat ujung sepatunya yang sedikit kotor karena pasir.
“Kadang aku takut menyelami apa yang ada di bawah permukaan itu,” bisik Melati.
Anton menoleh ke arahnya. “Aku juga. Tapi mungkin itu satu-satunya cara untuk benar-benar memahami diri kita.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini terasa lebih hangat. Melati merasa bahwa ia tidak sendirian dalam kekacauan yang ia rasakan.
“Dulu,” lanjut Anton perlahan, “aku berpikir bahwa caraku menemukan kedamaian adalah dengan mengabaikan apa yang ada di dalam. Tapi di sini, bersama alam, aku sadar... kita tidak bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.”
Melati menatapnya. Di balik sikap tenangnya, ada sesuatu yang ia rasakan dari Anton—sebuah luka yang belum sembuh, mungkin sama seperti dirinya.
“Apa yang kamu temukan setelah berhenti melarikan diri?” tanya Melati.
Anton menatapnya kembali, mata cokelatnya penuh ketenangan yang ia tempa dengan susah payah. “Aku menemukan bahwa menghadapi diri sendiri itu tidak berarti kita harus selalu kuat. Kadang, kita hanya perlu menerima apa adanya.”
Melati merasa dadanya sesak, tapi ia tidak bisa menjelaskan kenapa. Hening sejenak, lalu ia bangkit berdiri. Langkah kecilnya membawanya ke sisi Anton.
“Aku belum tahu apakah aku siap untuk menerima itu,” katanya pelan.
Anton menoleh, wajahnya serius namun lembut. “Kita punya waktu, Melati. Tidak perlu terburu-buru.”
Mereka berdiri di sana, dua sosok yang sama-sama mencari kedamaian di antara riak air dan desiran angin. Di balik mereka, matahari perlahan mulai tenggelam, menciptakan pantulan warna oranye keemasan di permukaan danau.
“Terima kasih,” bisik Melati.
Anton tidak menjawab, tapi caranya tersenyum membuat Melati merasa bahwa ia tidak harus menanggung semuanya sendirian lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing