Meski perjalanan dan momen bersama Anton membawa kedamaian, Melati mulai merasakan panggilan dari tanggung jawab yang selama ini ia abaikan. Ia tahu bahwa ia perlu kembali menghadapi hal-hal yang pernah ia hindari—baik itu pekerjaan yang ia tinggalkan, atau orang-orang yang sempat ia jauhkan.
Suatu malam, setelah merenung cukup lama, ia menghubungi Anton.
“Aku butuh berbicara,” katanya melalui telepon.
Anton segera mengatur waktu untuk bertemu keesokan harinya. Mereka bertemu di taman tempat mereka sering duduk bersama, di bawah pohon besar yang rimbun.
“Apa yang terjadi?” tanya Anton, melihat raut wajah Melati yang tampak serius.
Melati menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa harus mulai menghadapi hidupku dengan cara yang berbeda. Selama ini aku terlalu nyaman melarikan diri—ke tempat-tempat indah, ke tulisan, bahkan mungkin… ke hubungan kita.”
Anton terdiam, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Aku tidak bilang bahwa semua itu buruk,” lanjut Melati. “Tapi aku merasa sudah waktunya aku menghadapi hal-hal yang pernah aku tinggalkan. Kalau tidak, aku mungkin tidak akan pernah benar-benar merasa damai.”
Anton mengangguk perlahan. “Aku mengerti. Kadang, perjalanan kita membawa kita kembali ke tempat yang kita hindari. Mungkin itu memang bagian dari proses.”
Melati tersenyum kecil. “Terima kasih, Anton. Aku tidak tahu apakah aku bisa sampai di titik ini tanpa semua momen yang kita lewati bersama.”
Anton menatapnya dengan tatapan hangat. “Aku senang bisa menjadi bagian dari perjalananmu, Melati. Dan aku akan selalu ada, kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi langkah.”
Melati merasa lega setelah percakapan itu. Ia tahu bahwa Anton tidak akan menahannya atau memaksanya untuk tetap tinggal. Hubungan mereka, meskipun tidak berbentuk seperti yang biasa dipahami orang lain, adalah sesuatu yang istimewa—sebuah persahabatan yang mendalam dan saling mendukung.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing