Setelah beberapa saat, Melati dan Anton memutuskan untuk berjalan menyusuri tepi danau. Pasir basah meninggalkan jejak langkah mereka yang perlahan memudar ketika air mendekat. Langkah mereka tak buru-buru, seakan mereka sedang mengeksplorasi setiap pikiran yang muncul di kepala masing-masing.
Melati melirik Anton yang berjalan di sampingnya. Ada sesuatu dalam kesederhanaannya yang membuat Melati merasa aman, meski mereka tidak berbicara. Ia seperti pohon tua yang kokoh—tidak memaksa, hanya ada, dan itu cukup.
“Anton,” panggil Melati pelan.
“Hm?” Anton menoleh, ekspresinya netral.
“Kamu pernah merasa seperti... hidup ini terlalu berat?” Melati menghentikan langkahnya, matanya tertuju pada gelombang kecil yang menyentuh tepi danau.
Anton juga berhenti, berdiri di sisinya. “Pernah,” jawabnya singkat.
Melati pun melanjutkan berkata. “Aku sering merasa seperti itu. Seolah aku berjalan di jalan yang terlalu gelap, dan tidak ada yang menunjukkan jalan keluar.”
Anton memandang danau dengan tatapan yang kosong namun penuh makna. “Aku tahu rasanya, Melati. Dulu, aku juga pernah merasa seperti itu. Tapi satu hal yang kupelajari dari alam...”
Melati menoleh ke arahnya, menunggu kelanjutannya.
“Gelap itu tidak selamanya. Pagi akan datang, dan meskipun jalannya belum jelas, selalu ada cahaya kecil di kejauhan. Kadang kita hanya perlu percaya bahwa kita akan menemukannya.”
Melati memandang Anton, merasa dadanya sedikit lebih ringan. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa tulus, seperti ia berbicara dari pengalaman yang pahit.
“Cahaya itu apa untukmu, Anton?” tanyanya.
Anton berpikir sejenak sebelum menjawab. “Awalnya, aku tidak tahu. Tapi semakin ke sini, aku menyadari bahwa cahaya itu tidak selalu berasal dari luar. Kadang, itu adalah keberanian kecil dalam diri kita untuk terus melangkah, walaupun kita tidak tahu ke mana arah langkah itu akan membawa.”
Melati tersenyum tipis, meski matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku berharap bisa melihat cahaya itu.”
“Kamu akan melihatnya,” jawab Anton lembut. “Kamu hanya butuh waktu.”
Langit di atas mereka mulai gelap. Mereka kembali berjalan perlahan, kali ini diam-diam menikmati malam yang turun. Udara semakin dingin, tapi Melati merasa sedikit lebih hangat, seolah ada percikan kecil harapan yang menyala dalam dirinya.
Setelah beberapa saat, Anton berhenti di sebuah batu besar yang menjorok ke arah danau. “Kita istirahat di sini?” tawarnya.
Melati mengangguk, mengikuti Anton duduk di atas batu. Mereka memandang langit malam yang kini dipenuhi bintang-bintang. Danau di depan mereka berubah menjadi cermin besar, memantulkan cahaya bintang yang berkilauan.
“Bintang-bintang ini...” Melati memulai, suaranya lirih. “Mereka selalu ada, ya? Tapi kita sering lupa karena terlalu sibuk dengan kegelapan.”
Anton tersenyum kecil. “Itulah kenapa penting untuk berhenti sejenak. Alam selalu mengingatkan kita pada hal-hal yang kita lupakan.”
Melati mengangguk pelan, memejamkan mata. Di sisi Anton, di tengah kesunyian malam, ia merasa menemukan sesuatu yang tidak ia sadari sedang ia cari—ketenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing