Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Langit malam semakin gelap, tetapi keindahannya kian memukau. Gemintang menghiasi hamparan langit seperti lukisan yang hidup. Melati duduk bersandar pada batu besar, sedangkan Anton tetap memandang danau dengan sikap tenang.
Hening yang menyelimuti mereka bukanlah keheningan yang canggung. Justru, di dalam keheningan itu, banyak hal yang terasa tersampaikan.
“Anton,” Melati memecah kesunyian dengan suara nyaris berbisik, “kenapa kamu memilih tempat ini? Apa yang membawamu ke sini?”
Anton menoleh ke arahnya, lalu kembali memandang danau. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Awalnya, aku datang ke sini untuk lari dari sesuatu. Tapi akhirnya aku sadar, tempat ini lebih dari sekadar pelarian.”
Melati menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Di sini, aku belajar menerima bahwa hidup tidak selalu tentang jawaban. Kadang, kita hanya perlu hadir, mendengar, dan merasakan,” lanjutnya. “Danau ini mengajarkan aku untuk tidak terus melawan ombak di dalam diriku. Karena semakin aku melawan, semakin aku tenggelam.”
Melati merenungkan kata-katanya. Ia mengerti apa yang dimaksud Anton, karena ia sendiri sering merasa seperti melawan sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang tidak ia pahami sepenuhnya.
“Kamu tahu,” ujar Melati perlahan, “aku selalu merasa aku harus kuat, harus bisa mengatasi semuanya sendiri. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa lelah.”
Anton tersenyum kecil. “Mungkin karena kamu lupa bahwa tidak apa-apa untuk merasa lemah. Tidak apa-apa untuk berhenti sejenak.”
“Berhenti,” gumam Melati. Kata itu terasa asing namun menenangkan di lidahnya.
Anton mengangguk. “Berhenti bukan berarti menyerah. Kadang, berhenti adalah caramu memberi waktu pada dirimu sendiri untuk bernapas.”
Angin dingin bertiup pelan, membuat Melati menarik syal di lehernya lebih erat. Dalam pikirannya, ia memutar kembali kata-kata Anton. Ia selalu merasa harus terus berjalan, terus berlari, bahkan ketika ia tidak tahu ke mana tujuannya.
Melati menunduk, mengambil kerikil kecil, dan melemparkannya ke danau. Kerikil itu memantul sekali sebelum tenggelam, menciptakan riak yang perlahan memudar.
“Sepertinya aku harus belajar banyak dari danau ini,” katanya.
Anton tersenyum, lalu menirukan tindakannya dengan melempar kerikil. “Danau ini punya banyak pelajaran. Salah satunya adalah bagaimana menerima apa pun yang datang—hujan, angin, bahkan kerikil yang dilempar ke permukaannya.”
Melati menatapnya dengan rasa kagum yang diam-diam tumbuh. Anton bukanlah seseorang yang bicara banyak, tapi setiap katanya mengandung kedalaman yang jarang ia temui pada orang lain.
“Apa kamu selalu setenang ini, Anton?” tanya Melati tiba-tiba.
Anton tertawa kecil, suara tawa yang lebih menyerupai embusan angin. “Tidak. Aku dulu seperti api. Segala hal mudah membuatku meledak, dan aku selalu merasa aku harus membuktikan sesuatu pada dunia.”
Melati menaikkan alis. “Lalu apa yang mengubahmu?”
Anton menatap jauh ke danau, seakan mencari jawabannya di antara gemerlap air yang memantulkan cahaya bintang. “Kehilangan,” jawabnya akhirnya. “Aku kehilangan sesuatu yang penting. Dan itu membuatku sadar bahwa berusaha melawan dunia tidak ada gunanya kalau aku tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri.”
Melati merasakan dadanya terhimpit oleh simpati, tetapi ia memilih tidak bertanya lebih jauh. Ada luka dalam kata-kata Anton, tetapi ia tahu luka itu bukan sesuatu yang harus ia kupas paksa.
Mereka kembali terdiam, tetapi kali ini, keheningan itu terasa lebih berarti. Melati merasa bahwa di sisi Anton, ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus menjelaskan apa pun.
“Melati,” panggil Anton setelah beberapa saat.
“Hm?”
“Aku senang kamu mau datang ke sini,” katanya, suaranya tulus.
Melati tersenyum kecil. “Aku juga senang. Mungkin ini pertama kalinya aku merasa... benar-benar bisa bernapas.”
Anton tidak menjawab, tetapi caranya memandang Melati membuatnya merasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang benar-benar mengerti.
Malam itu, mereka duduk hingga larut, berbagi cerita dalam keheningan dan gemintang yang menjadi saksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
No FicciónDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing